Semakin hari semakin terasa, bahwa pendidikan level S1 adalah tidak mencukupi, khususnya yang mempunyai rencana hidup menjadi guru atau dosen. Semakin tinggi level pendidikan yang anda raih, semakin menguntungkan posisi anda yang bekerja di sektor pendidikan. Itu jelas sudah terbukti ! Beberapa rekan yang saya kenal, setelah lulus S3 maka dengan santainya, jabatan eksklusif, yang dicari-cari banyak orang, ternyata sudah menunggu dengan sabar. Ada yang jadi dekan, jadi ketua program magister, jadi ketua jurusan, dan bahkan ada yang bisa meraih kursi jabatan rektor.
Jika anda saat ini mendapat gaji dari institusi pendidikan, belum S3 dan belum genap berumur 40-an. Maka pikirkan dengan matang untuk segera ambil program tersebut, peluang masa depan anda akan terbentang lebar. Kalau anda punya alasan lain, ingat alasan yang anda pakai tersebut, jika ternyata anda tetap di dunia pendidikan, saya yakin pada umur 50-an, anda pasti akan menyesal jika belum meraih gelar tersebut. Menyesal, ketika ada anak muda, dengan umur jauh dari anda, tapi punya gelar lebih tinggi lalu menggantikan saudara. Mungkin saat ini anda tidak merasakan. Kalau nggak percaya silahkan ingat dan buktikan sendiri.
Penyesalan itu akan terbukti khususnya jika dunia pendidikan memang menjadi karir anda, kecuali kalau hanya sekedar mencari status, mungkin sebagai istri, daripada nganggur atau bagaimana gitu.
Jaman sekarang, rasanya tidak afdol kalau jadi dosen tidak bergelar S3. Itu saya rasakan dengan jelas ketika kemarin mampir ke salah satu lab di salah satu institusi pendidikan tinggi, dimana pada dinding depannya terpampang gambar staf-staf dosen pada bidang keahliannya. Melihat foto-foto yang terpampang di sana, saya merasakan bahwa gelar memegang peran penting untuk melihat keahlian dosen-dosen tersebut. Gimana lagi, dengan punya gelar S3, maka dengan melihat disertasinya akan secara mudah mengetahui bidang yang ditelitinya secara spesifik, yang menjadi keahliannya. Jika tidak punya gelar itu, apalagi nggak pernah nulis di jurnal atau media ilmiah lain maka jelas saya tidak tahu apa keahlian beliau. Tahunya, o, ini dosen tua, bukannya o ini dosen senior. Lain khan. 😦
Pengalaman ambil S3, ternyata tidak sesederhana yang kuduga, meskipun sudah lama menikmati dunia konsultan ternyata itu tidak cukup untuk secara mudah menyesuaiakan diri dengan dunia pendidikan. Gimana lagi, kita biasanya sudah sangat spesifik, padahal didunia pendidikan harus mulai terbuka, selain itu harus selalu menyesuaikan dengan kompetensi dosen-dosennya. Biasa kita ke kiri, sedangkan dosennya biasa ke kanan. Walaupun sama-sama benar akhirnya, tetapi toh kita nggak bisa dinilai karena nggak ketemu. Itu faktor non-teknis yang umum dijumpai. Pengalaman menunjukkan, meskipun pernah nulis buku-buku tentang fem dan pemakaiannya, prakteknya, bikin pemrograman dan lainnya, tetapi karena cara memandangnya berbeda maka untuk mata kuliah fem hanya dapat nilai C. Mungkin juga terlalu mandiri, atau istilah nggak enaknya berbeda, maka khusus untuk dosen yang sama nilai mata kuliah yang lain juga dapetnya C juga. Jadi meskipun semuanya yang lain dapet A, tetapi dua matakuliah yang dosennya orangnya sama aku dapet C. Wah kesel juga. Hal-hal seperti itulah yang kadang-kadang diterima dalam pendidikan yang ditempuh.
Hal-hal yang lain, rasanya mulus-mulus saja. Seperti mengambil mata kuliah seminar yaitu membikin makalah penelitian dimana satu semester ada tiga topik yang harus diambil. Ternyata mulus-mulus, juga mengenai seminar kemarin.
Setelah saya teliti lebih lanjut, ternyata itu semua berkat kebiasaanku menulis. Itu ternyata sangat membantu sekali. Jadi jika anda menyukai menulis dan ingin ambil S3 maka berarti anda sudah punya modal kuat untuk menyelesaikannya. Saya yakin itu.
Bagaimana pendapat teman-teman lain yang sudah berhasil ambil S3 atau sedang, apakah kemampuan menulis anda sangat membantu, atau bagaimana ? Sharing dong.
Tinggalkan komentar