LIBURAN minggu lalu cukup mengasyikkan. Seperti biasa, jika ada liburan panjang kusempatkan menengok kota kelahiranku, Jogja ! Mumpung kakek dan nenek dari anak-anakku masih lengkap semua. Jadi, jika ada kesempatan seperti itu, tentunya akan aku gunakan dengan sebaik-baiknya.
Maklum, usia orang tuaku sudah 66 (ibu) dan 70 (bapak), bahkan ayah mertuaku tahun ini sudah menginjak 79, adapun ibu mertua masih seusia ibuku. Yah, semuanya sudah menjelang senja. Meskipun demikian, aku bersyukur kepada Tuhan Bapa di Surga, bahwa mereka semua masih dikaruniai kesehatan yang baik, bahkan masih mampu berkarya, untuk memberi uang saku cucu-cucunya. Jadi, dengan membawa anak-anakku berliburan ke sana, adalah juga untuk menunjukkan bahwa mereka-mereka semua adalah teladan yang baik. Patut didengar petuah maupun pituturnya.
Hai anakku, peliharalah perintah ayahmu, dan janganlah menyia-nyiakan ajaran ibumu.
[Amsal 6:20]
Jadi liburan bersama ke Jogja kemarin, juga menjadi semacam pendidikan nilai-nilai keluarga. Harapannya, agar anak-anakku melestarikan pemahaman tentang hal tersebut, minimal dapat mencontoh kami atau bahkan lebih baik lagi. Tahu sendiri khan, bahwa pendidikan tidak bisa hanya mengandalkan sekolah, karena nilai-nilai keluarga merupakan suatu yang mutlak perlu, yang dapat menjadi tulang punggung penyangga dan penghiburan dalam kehidupan di dunia ini.
Bercerita tentang KELUARGA. Pengalamanku selama 40 tahun dalam karir dan keluarga, aku dapat menyimpulkan bahwa keduanya adalah saling mengisi, dan tidak perlu dipertentangkan satu dengan yang lainnya, apalagi saling menggerogoti. Bahkan aku ingat, selama lebih dari 20 tahun, semenjak lulus sarjana, sejak lepas dari orang tua, aku sudah merasakan berpindah atau berganti pekerjaan sebanyak lima sampai enam kali. Sedangkan dengan keluarga, ya tetap itu-itu saja.
Berkaitan dengan hal tersebut, aku bersyukur telah dilahirkan dalam keluarga besar yang beragama Katolik, yang hanya mengenal satu perkawinan untuk seumur hidup, yang menganggap bahwa ‘berkeluarga’ adalah disatukan oleh Allah Bapa di surga sendiri, sehingga untuk itu tidak ada istilah tentang cerai, kecuali oleh kematian.
Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.
[Matius 19:6]
Adanya pemahaman seperti itu, tidak setiap orang dapat melihatnya sebagai anugrah yang disyukuri. Bahkan banyak yang menganggapnya sebagai beban, halangan kebebasan atau menjadi penjara kehidupannya. Tetapi yang jelas sampai hari ini aku tidak menganggapnya seperti itu, tetapi merasakan sebagai anugrah yang perlu disyukuri. Untuk itu, aku terus berdoa “semoga Bapa juga terus menyertai perjalanan keluarga kami seperti itu sampai nanti ajal menjemput“. Semoga Tuhan berkenan.
Istrimu akan menjadi seperti pohon anggur yang subur di dalam rumahmu; anak-anakmu seperti tunas pohon zaitun sekeliling mejamu !
[Mazmur 128:3]
Dalam menyikapi konsep seperti di atas, tentu semuanya tidak akan terjadi dengan sendirinya, perlu komitmen bersama, juga perjuangan maupun pengorbanan dari masing-masing anggota keluarga agar berkeluarga dapat menjadi suatu sumber kebahagiaan. Memang tidak mudah untuk itu, apalagi sebagai manusia biasa yang mempunyai ego masing-masing yang tinggi. Aku tidak tahu, apakah dengan pengalamanku membentuk keluarga sendiri selama 17 tahun ini, sudah dapat dikatakan on the track atau belum. Tetapi yang jelas, telah berbagai badai di negeri ini telah berhasil kami lalui, juga untuk kami berdua selaku pasangan suami-istri khususnya dalam berkarir juga telah kami lewati dan dapat tetap dijalani dengan rasa syukur, dan kelihatannya tidak ada sesuatu yang perlu disesali.
Bersukacitalah senantiasa. Tetaplah berdoa. Mengucap syukurlah dalam segala hal.
[1 Tesalonika 5:16-18]
Itu semua yang menyebabkan mengapa “keluarga” bagiku dapat menjadi suatu investasi yang berharga, seperti halnya belajar atau pendidikan atau kekayaan begitu, bahkan lebih dari itu.
Dengan cara berpikir seperti itulah mengapa kami sekeluarga, ketika melihat ada hari kejepit nasional, langsung berangkat berlibur ke Jogja. Bagi kami jarak Bekasi-Jogja relatif dekat, karena minimal dapat dikendarai cukup seharian aja. Untunglah sejak kecil aku hobby menyetir sendiri, jadi perjalanan seperti itu merupakan hiburan belaka. Apalagi mobil istriku baru. 😛
**ok perjalanannya tidak perlu diceritakan, pokoknya dapat tiba selamat sampai di Jogja **
Untuk mempererat nilai-nilai kekeluargaan, maka makan bersama-sama adalah salah satu sarananya, mungkin kelihatannya sederhana, tetapi cukup efektif. Oleh karena itu, ketika pagi-pagi pada hari libur tersebut ibuku mengajak makan bersama-sama. Wah menarik nih.
Ibuku bercerita, info kuliner kali ini berasal dari ibu-ibu arisan, teman-teman beliau. Kita sekarang cari “makanan rumahan” yok, tempatnya bu Yanti, Muntilan.
Warung makan tersebut cukup terkenal, di kalangan teman-teman ibuku tentu saja. Oleh karena itu, setelah nyamperin dan mengajak keluarga adikku yang paling kecil, berangkatlah kami ke sana. Kota Muntilan relatif dekat, biasanya yang terkenal di kota tersebut adalah tape ketan. Juga di kota tersebut, bagi umat Katolik maka umumnya mengenal pemakaman Romo Sanjaya. Jadi kita ke kota tersebut bukan untuk itu kali ini, tetapi untuk mencoba KULINER-nya.
Meskipun saya mengatakan itu kota, tetapi jangan bayangkan seperti perjalanan luar kota begitu, jika Jogja-Magelang berjarak sekitar 30 km, maka kota Muntilan ada di tengah-tengahnya. Nggak terlalu jauh khan. Kalau lamanya ya antara 15 sampai 30 menit gitu, Jogja khan nggak macet seperti Bekasi gitu.
Warung makan yang dimaksud, adalah RM. Bu Santi terletak di JL. KH. Dahlan No.69 Pucung Rejo, Muntilan telpon (0293) 586677. Jika kita berkendaraan dari arah Jogja menuju Magelang, setelah masuk kota Muntilan, setelah jembatan di pinggir kota, sebelum toko tape ketan, ada jalan ke kiri, yaitu belokan ke dua setelah jembatan tersebut. Jadi posisi warung tersebut tidak dipinggir jalan besar Jogja-Magelang. Tapi masih di dalam kota Muntilan tersebut. Jika bingung lebih baik tanya aja ya, khan udah ada alamat lengkap. Pasti ketemu, kotanya kecil koq.
Sampai di sana, ini suasananya, masih sepi. Maklum masih pagi sih.
Jangan kaget lihat warungnya koq seperti itu, adapun rumah yang berwarna kuning (dua lantai), yang tukang parkirnya sedang duduk adalah rumah tempat tinggal keluarga pemilik warung tersebut. Kata beliau memang bentuk warungnya dipertahankan seperti aslinya, katanya kalau di ubah takut nggak laris lagi. 🙂
Jadi karena kami yang baru datang, maka jadi penglaris nih.
Warung tersebut tidak terlalu besar, jadi kalau pas penuh, wah bisa repot itu. Mungkin paling baik jika datang tidak pas jam makan, jadi pengunjung lokal belum begitu banyak. Gambar di atas diambil pas datang, jadi masih kosong, yaitu sekitar pukul 10.00 pagi. Kami memilih di ujung, itu kelihatan si Kanya ponakan, putri adikku yang paling kecil.
Pada waktu makanan datang, menu yang kami pilih adalah daging empal, dengan ‘paitan’ (sayur pepaya ?!) di tambah kuah ‘areh’ (kuah kental daging dengan santan). Kami langsung makan, sayang karena perut jadi lupa ambil fotonya. 😛
Jadi tipe makanan yang ada, tipenya rasa manis-manis, khas jawa-tengahan, ya semacam gudeg gitu manisnya. Kebanyakan juga jerohan, jadi hati-hati jangan terlalu banyak. Kolesterol. 😦
Baru setelah kenyang, kami sadar, wah makanannya belum di dokumentasikan. Kalau begitu saya tampilkan bu Santinya saja ya, ketika sedang meracik makanan yang kami pesan untuk dibawa pulang.
Itu di atas, gambar bu Santi sedang menyiapkan pesanan untuk dibawa pulang, yaitu untuk tiga keluarga. Kami semua yang makan di situ ada 8 orang, ditambah yang dibawa pulang (3 bungkusan). Habisnya semua sekitar Rp 140 rb.
Lumayan khan, yang jelas pokoknya mak nyuss . Suasana lain , gitu lho.
Hati yang gembira adalah obat yang manjur, …
[Amsal 17:22]
Kok gak dijelasin, menu favorit andalannya Pak?
SukaSuka
Pak, yang tentang kuliner ditaruh di satu tempat saja. Jadi bisa jadi semacam referensi gitu (dan di-update secara berkala).
Thanks
SukaSuka
wah.. asyik ya…
salam dari: http://simpanglima.wordpress.com/
SukaSuka