Sebagai orang awam, pemahaman tentang pilkada tentu hanya terbatas pada koran dan televisi belaka. Saya kira sebagian pembaca blog ini juga demikian, apalagi berita-berita yang ditampilkan selalu cenderung bernuansa buruk dibanding positipnya.

Sebagai contoh, cobalah simak tayangan Global TV tentang permasalahan pilkada di daerah (kalau tidak salah di Sulawesi). Sangat terlihat sekali bagaimana hal tersebut dapat menyulut tindakan anarki masyarakat yaitu dengan merusak kantor KPU yang ada. Pada tayangan juga terlihat, bagaimana polisi tidak berdaya mengantisipasi keadaan, dimana orang dengan seenaknya sendiri, yang katanya menyalurkan kebebasan berpendapat, melempar kursi, memecah pintu dan jendela.

Jadi, uang rakyat yang oleh pemerintah dialokasikan untuk yang namanya demokrasi, ternyata terbuang sia-sia. Padahal telah diketahui bahwa sebagian besar yang lain, rakyat juga sedang bingung bagaimana mencari bahan bakar untuk memasak, karena minyak tanah mulai sukar / hilang.

Dengan fakta-fakta seperti itu, maka pemahaman penulis tentang makna demokrasi untuk diterapkan di Indonesia menjadi semakin tidak baik. Tentu saja ini melawan pemikiran banyak kalangan intelektual yang pada umumnya ngotot dalam memperjuangkan masalah demokrasi tersebut, dan pasti banyak yang dengan entengnya mengatakan ‘demokrasi ya demokrasi’ kalau sampai ada anarki ya suruh saja polisi menangkapnya.

He, he,  teorinya memang kelihatannya gampang, saya usul agar orang-orang yang bisa mengatakan hal tersebut dengan gampang, perlu diangkat untuk menjadi ketua KPU di daerah yang bermasalah tersebut. Maksudnya apa, agar dianya tahu bagaimana masyarakat kecil itu mensikapi yang namanya demokrasi itu. He, he, tentunya itu dengan asumsi bahwa yang mengatakan itu adalah seorang pakar, atau yang dianggap seperti itu. Kalau tidak, khan nanti sembarang orang, karena pengangguran akan ngomong seperti itu.

Jika tidak demokrasi lalu apa ? Wah ini juga tidak gampang menjawabnya. Jelas “tidak demokrasi” juga tidak baik. Karena kalau tidak ada demokrasi, maka mana bisa saya mengungkapkan ini di media ini. Jadi bagaimana ? Yah, memang tidak sesederhana yang dapat dipikirkan. Tapi jelas memaknai Pancasila, saya kira sangat menarik.

Yah, membahas tentang pilkada dari kaca mata awam memang tidak ilmiah. Tetapi awam masih tetap berhak membahasnya, karena bagaimanapun kalau cuek (tidak peduli) lalu lewat daerah yang sedang konflik maka khan jadi konyol. Intinya kita meskipun tidak terkait langsung, tetapi agar aman maka tetap perlu mendengar berita-berita tentang pilkada tersebut.

Dengan pemahaman seperti itu, juga pengalaman kemarin jumat ketika pulang mendadak ke jogja karena ada lelayu maka mengingat kembali alur pembicaraan dengan teman penumpang di bis Lorena jurusan Rawamangun-Jogja rasanya cukup menarik.

Pengalaman di bis Lorena jurusan Jakarta-Jogja. Ketika itu di samping saya, duduk seorang wanita separoh baya, usia baru 51 tahunan, tetapi kedua anaknya katanya sudah lulus sarjana dan sudah bekerja. Ibu tersebut kelihatan sekali kalau workaholic, dia membesarkan anaknya sendirian karena bapak kandung anaknya sudah meninggal ketika mereka kecil. Yah, intinya dia ingin mengatakan bahwa materi adalah tidak menjadi masalah, sedangkan perkawinannya yang sekarang kelihatannya tidak bahagia, sehingga dia menyibukkan diri dengan tetap bekerja, bekerja dan bekerja.

Saya kurang jelas pembicaraannya, tetapi kelihatannya ibu ini memang ekstrovet, dipancing sedikit banyak ceritanya. Mula-mula pembicaraannya adalah masalah bis Lorena yang terlambat lama sekali, yaitu harusnya pk 17.00 sudah berangkat maka baru pukul 20.00 bisa jalan. Bicara tentang bis, tentang pengalamannya tentang berbagai macam jalur Bis ke jateng, dan juga rutinitasnya bahwa hampir tiap bulan pakai bis tersebut, akhirnya berbicara tentang pekerjaan yang ditekuninya.

Sebagai seorang pendengar yang baik, dan juga belajar sebagai analisis (he, he, atau pengamat) maka saya mencoba menduga bahwa ibu ini adalah seorang pedagang, yang memasok dagangan dari Jakarta ke daerah, sehingga harus bolak-balik pakai bis tentunya.

Dugaan saya ternyata salah, menurutnya pekerjaannya apa saja, yang penting ada duitnya. Jadi tidak hanya sekedar berdagang. Dalam menceritakan hal tersebut, dia mengungkapkan bahwa proyek yang sedang ditangani saat ini adalah pilkada.

Pilkada ? Proyek ? Wah, apa lagi ini. Seorang ibu, dengan tampang workaholic, dalam perjalanan Jakarta-Jateng hanya bawa tas kecil, bicara tentang proyek pilkada ! Wah menarik untuk didengarkan.

Ibu tersebut bercerita, bahwa berkaitan dng pilkada maka dia bertindak sebagai MEDIATOR, sebagai perantara seorang ‘penyandang dana’ dengan calon ‘pasangan pilkada’. Intinya, mediator ini menawarkan bantuan modal yang dapat dipergunakan untuk memenangkan pilkada tersebut. Dia sebutkan bahwa untuk tingkat Bupati bisa sampai 20M. Intinya adalah jika menang maka ikuti perjanjian yang telah disepakati sebelumnya, sedang jika kalah, ya udah, ilang.

Wah, hebat bener ini. Terus terang saya belum pernah mendengar ini  sebelumnya, bahkan dari koran sekalipun. Hanya memang, pernah aku baca hal seperti itu dari cerita tiongkok kuno, pasang gacoa di pemerintahan, kalau menang, maka akan ada dukungan untuk ngejalanin bisnisnya yang lain, sehingga bisa balik modal bahkan mungkin lebih banyak lagi. Untung-untungan juga sifatnya. Wong namanya bisnis. 😛

Dengan demikian, semakin tambahlah pemahamanku bahwa tujuan utama PILKADA adalah KEKUASAAN, dan bukanlah kesejahteraan rakyat.

Waktu aku omongkan hal tersebut, si ibu tersebut mengiyakan. “Wah nggak ada hubungannya dik !“. “Jangan terlalu berharap“, “mungkin memang ada sih yang begitu, tetapi sebagian besar koq nggak ya“.

**bingung, gimana gitu rakyat kecil, kasihan**

Akhirnya, ketika aku menanyakan mau kemana beliau sekarang, karena kelihatannya akan turun di sekitar kota Ambarawa. Jawabnya “begini dik, saya akan menghubungi seorang ‘romo’ atau orang pintar yang dapat menjanjikan kemenangan tersebut. Cukup hebat dik ‘romo’ ini, dana untuk rituilnya yang sekitar 900jt akan ditanggung dulu, jika berhasil baru dibayar 5 M cash. Lha sekarang saya akan mengikat janji dengan beliau (si romo tersebut)“.

Ok, dik, selamat jalan. Ikut coblos yang aku katakan tadi ya dik, jika menang khan dapet sabetannya. Bantu ya dik“, katanya sambil turun dari bis hanya menentang tas kecil. Santai sambil tersenyum lebar penuh percaya diri. 😛

**bengong**

Jadi, pantes ada orang-orang yang mau susah payah berperilaku seperti yang terlihat di tayangan televisi. Wong ternyata ada doku-nya. Jadi yang diperjuangkan sebenarnya bukan demokrasi seperti yang diharapkan oleh para pakar top yang mendukung tersebut, tetapi memang urusan ‘perut’ !

7 tanggapan untuk “pilkada, ibu workaholic dan orang pintar”

  1. baihaqi Avatar

    Sudah pernah diliput pak di koran ttg profesi2 baru dijaman demokrasi ala Indonesia. Lupa korannya (kayaknya jawa pos) . Salah satunya yang dibahas adalah profesi yang disebut penggalang dukungan (massa). Omzet nya besar lho!

    Suka

  2. Vavai Avatar

    Memang hopeless pak.

    Saya juga termasuk yang hanya senyum kalau bicara soal demokrasi. Demokrasi lebih banyak sekedar jargon. Intinya adalah untung atau nggak.

    Pilkada cuma gagah-gagahan orang Indonesia yang ingin semua serba demokrasi yang justru malah melupakan esensi upaya memberikan kesejahteraan bagi rakyat.

    Suka

  3. jalansutera.com Avatar

    saya kadang juga sedih melihat aneka demo yang dilakukan oleh ‘wong cilik’. kita lihat di televisi, misalnya, sekumpulan orang yang melakukan demo terkait pemekaran wilayah. ada juga demo pilkada.

    kadang saya berpikir: apa sih yang didapat wong cilik itu dari pemekaran wilayah ? apa sih yang didapat orang kecil dari pilkada ? jawabannya: nyaris tidak ada. mereka saya pikir hanya orang yang dibayar utk demo alias orang bayaran. daripada demo, saya pikir lebih baik bekerja, bukan?

    menyedihkan ya kalo mikir hal yang seperti ini terjadi di negara kita. tapi mau gimana lagi?

    Suka

  4. Santanu Avatar
    Santanu

    @Wir

    Tapi jelas memaknai Pancasila, saya kira sangat menarik.

    Setelah membaca tulisan diatas, saya tergugah untuk membaca buku P4 dan Sejarah Pancasila. Dulu saya malas dan kabur dari P4, tapi saat ini, saya baca kembali buku 20 tahun yang lalu tsb.

    Pancasila, itu dibuat oleh para pendiri bangsa ini dengan harapan dan niat baik. Dan Pancasila itu sangat dipengaruhi sosialisme, tentu bukan sosialisme gaya Soviet, Cina ataupun Yugoslavia, tetapi sosialisme Indonesia. Sedang demokrasi yang dianut adalah Musyawarah untuk mufakat, bukan voting. Sangat jelas para pendiri bangsa ini menginginkan sosialisme gaya Indonesia dan Demokrasi musyawarah untuk mufakat (tidak ada supremasi mayoritas).

    Yang berkembang di era reformasi saat ini jelas-jelas Kapitalisme dan Demokrasi Liberal, jauh dari roh yang diinginkan para pendiri bangsa ini. Jadi berbanggalah para penggemar reformasi, anda2 telah membawa masyarakat semua ke era kapitalistik demokrasi liberal, yang jelas yang kaya akan makin kaya dan yang kurang beruntung cari untungnya sendiri. Demokrasi yang berkembang adalah demokrasi liberal supremasi mayoritas (yang paling banyak pasti menang).

    Jadi tidak heran era reformasi menjadi era antrian minyak goreng,minyak tanah,gas,premium,beras, karena udah gak ada untungnya ngurus sembako. Jadi apa yang diperjuangkan ????.

    20 Trilyun untuk Pemilu itu setara 20 tahun pembangunan untuk suatu Kabupaten Yang APBDnya 1 Trilyun/pertahun. Itupun tidak banyak Kabupaten yang punya APBD sebesar itu. Pemilu tinggal 12 bulan, jadi siapa yang ngurusin rakyat??, partai politik?? pemerintah?? DPR??.

    So buat yang kurang beruntung dan jengkel apa yang harus dilakukan???.

    Suka

  5. sahabat88 Avatar
    sahabat88

    kenapa pemerintah yg sehat harus dipakemkan ke demokrasi??
    kan sudah terbukti demokrasi hanya menjadikan rakyat semakin tidak sehat scr rohani n jasmani.

    indonesia hancur belur gara2 demokrasi, lihat tuh lebih banyak karya kriminalitas drpd karya ilmiah..
    tapi tenang mass. kita maju bersama..😀

    Suka

  6. Cecep Avatar

    betul, jangan terlalu berharap sama yang namanya demokrasi di negeri ini.

    seperti kata aa nata, kita tidak butuh demokrasi, tapi kita butuh tirani yang kompeten. wakaka

    Suka

  7. MuMu Avatar
    MuMu

    Membaca artikel ini mengingatkan saya kala Pemilu 2004. Saat itu saya terlibat sebagai Pemantau Pemilu di daerah Surabaya. Kapasitas saya bukan sebagai perwakilan Parpol, murni independen (Forum Rektor Indonesia).

    Kami sudah memulai pemantauan sejak awal masa kampanye. Dari awal hingga akhir, uang benar-benar menjadi alat kampanye yang paling “menjanjikan”..
    Mulai dari Paket Kaos + Nasi Bungkus + Rp 20ribu per orang hingga paket-paket lain.

    Sekedar intermezo, harga kaos sekitar 20 ribu. Kemarin tetangga saya dapat pesanan 5 ribu kaos pemilu dari seorang bupati incumbent di kalimantan, dibayar cash-langsung-tunai-kontan Rp 100 juta! Alasannya biar didahulukan karena butuh cepat.. Gila!

    Kembali ke topik..
    Uang-uang “paket” itu nanti terakumulasi lagi untuk para pengumpul 10 orang, 50 orang, 100 orang, dst.. Lalu terakumulasi lagi untuk pengumpul dari para pengumpul itu (semoga tidak bingung, bahasa kerennya koordinator massa). 😛

    Bisa bayangkan berapa “honor” mereka dalam satu event kampanye (maksud saya acara yang melibatkan massa) ?

    Seringkali saat pemantauan dari satu kampanye ke kampanye lain saya bertemu dengan orang-orang yang sama. Baik peserta kampanye maupun pengumpul massa. Hahaha.. Sungguh masa kampanye adalah masa tambang uang bagi mereka-mereka itu. Bisa bayangkan berapa “biaya/beban” satu event kampanye ? Lalu silahkan bayangkan berapa “biaya/beban” keseluruhan yang ditanggung Calon Eksekutif / Legislatif dalam satu masa kampanye.

    Tapi apa yang dapat saya lakukan sebagai pemantau kala itu ? Sebatas memantau, nothing else! Hanya dapat mengelus dada (dan mendokumentasikan) karena hukum (saat itu) belum mengatur secara jelas tentang aturan kampanye.

    Perkembangan terakhir tentang Panitia Pengawas Pemilu / Panwaslu pun (berganti nama menjadi Bawaslu, kini Panwaslu adalah organ Bawaslu untuk tingkat daerah), UU 22/2007 dan UU 10/2008 masih memberikan celah dalam pengawasan dana kampanye.

    Lalu.. Bagaimana selanjutnya?

    Timbullah Lingkaran Setan..

    Kampanye yang menghabiskan uang secara fantastis tentu membuat pemenang Pemilu menginginkan “balik modal”.

    Pemilu dianggap investasi yang memakai modal sendiri + modal pinjaman untuk nantinya mengejar BEP dan tentu margin keuntungan dari investasi tersebut.

    Hebatnya, “Investor” ini tidak perlu repot-repot memikirkan IRR investasinya.
    Pasti untung!

    Yah.. Kalau tidak keburu ketangkap KPK. Hehehe..

    Lalu bagaimana dengan modal pinjaman (seperti artikel di atas)?
    Dibayar dengan membuat kebijakan “titipan” ! (Kebetulan tadi pagi ada berita suap 3 Milyar pada Anggota DPR untuk meng-gol-kan kebijakan kehutanan “titipan”)

    Maka.. terus berputar.. berputar.. tanpa henti..
    Dalam suatu lingkaran setan..

    Saya tahu ini terasa mengeneralisasi seakan-akan semua Pemilu seperti ini. Seakan-akan tidak menghargai segelintir orang yang jujur dalam Pemilu. Tapi adakah yang jujur?

    Saya berdoa bahwa segelintir orang itu ada dan akan terus ada..

    Demikian fakta dan opini dari saya.

    @ Pak Wir
    Maaf jika terlalu panjang.

    Regards,
    Arthur Malonda

    Suka

Tinggalkan komentar

I’m Wiryanto Dewobroto

Seseorang yang mendalami ilmu teknik sipil, khususnya rekayasa struktur. Aktif sebagai guru besar sejak 2019 dari salah satu perguruan tinggi swasta di Tangerang. Juga aktif sebagai pakar di PUPR khususnya di Komite Keselamatan Konstruksi sejak 2018. Hobby menulis semenjak awal studi S3. Ada beberapa buku yang telah diterbitkan dan bisa diperoleh di http://lumina-press.com