Dalam berkehidupan ini, khususnya ketika kita telah berkeluarga maka mempunyai profesi dalam suatu pekerjaan tertentu kadang diperlukan. Tentu bukanlah suatu kebanggaan jika ditanya kerjanya adalah serabutan sana-sini, jikapun demikian adanya, maka agar statusnya dianggap ok, maka biasanya dianya akan menyebut profesinya sebagai WIRASWASTA. Sebutan tersebut akan terselamatkan jika memang duitnya ada. Meskipun itu mungkin karena warisan, atau bisa-bisa juga karena hasil kejahatan (merampok, korupsi dll). Jelaslah, dia kalau ditanya tetangga nggak mungkin bilang bahwa profesinya itu perampok atau koruptor.Betul khan.
Jadi menyebutkan suatu jenis profesi dalam pekerjaan seseorang adalah sangat penting. Bahkan itu dapat menjadi semacam status sosial, atau pembenaran akan kondisi orang tersebut. Ini ada contoh, teman saya cerita, di daerahnya ada tetangganya yang dari kehidupannya waktu itu terlihat kaya, punya mobil mewah, rumahnya juga besar, dikomplek elite. Sewaktu kumpul-kumpul dia mendapat tahu bahwa pekerjaan tetangganya tersebut profesinya adalah pendeta. Teman saya tersebut tanya : “pendeta koq bisa kaya ya“. Lho jangan dikira profesi tersebut kering, jadi pendeta itu kalau sudah terkenal maka jika dia berbicara maka duitnya bisa banyak lho, itu tanggapan dariku. Itu diberkati namanya. Waktu berjalan, setelah beberapa tahun kemudian, saya ketemu teman tadi. Omong punya omong, akhirnya dia cerita : “Ingat nggak pak Wir, tetanggaku yang pendeta tempo hari yang pernah aku ceritain. Eh ternyata dianya ditangkap polisi, dianya korupsi uang sumbangan jemaat-nya. Nggak nyangka lho.” Aku hanya bisa menjawab ” O o o , o , . . . . “. 😦
Itu menunjukkan bahwa menyandangkan orang dengan suatu profesi, maka seakan-akan secara otomatis dapat menunjukkan siapa orang itu. Tentu tidak akan ada yang menyangka seorang pendeta korupsi, betul khan. Itulah hebatnya image dari suatu profesi. Contoh lain khan bisa juga digambarkan, misalnya profesinya adalah anggota DPR, kita pasti akan menganggap wah hebat, bayangkan saja kemarin mendengar dari berita radio Sonora untuk pelantikannya saja negera meng-anggarkan sekitar 60 juta per orang. Apa nggak hebat itu. 🙂
Bagaimana dengan profesi sebagai DOSEN. Itu khan profesiku selama ini. Nggak terasa sudah lebih dari sepuluh tahun ini, aku dan keluargaku hidup dari profesi tersebut. Itu artinya profesi tersebut bisa menghidupi. Ini serius lho, dosen yang kumaksud tersebut adalah dosen full-time, yang selama lima hari kerja hidupnya hanya ada dikampus. Padahal banyak lho orang yang mempunyai pekerjaan dosen juga, tetapi profesi sesungguhnya adalah pegawai negeri, wiraswasta dan semacamnya itu. Jadi dianya menjadi dosen karena hobby, atau sebagai pekerjaan tambahan saja. Ada yang menyebut dia sebagai dosen sambilan, dosen tamu atau dosen luar biasa.
Lho, yang baik khan harus seperti itu pak. Jadi ada link and match dengan industri namanya. Jadi jangan hanya berteori saja, bisa mempraktekkan juga. Itu penting lho pak.
Pernyataan anda memang tidak salah. Itu juga yang selalu dijadikan alasan sehingga banyak perguruan tinggi kita mengadopsi dosen yang juga bekerja di industri. Tentang hal tersebut hasilnya ternyata tergantung dari motivasi si dosen itu sendiri. Biasanya yang sukses adalah yang motivasinya untuk berbagi ilmu, juga untuk mendapat penyegaran karena ketemu orang yang belajar. Tetapi banyak pula yang motivasinya lain, yaitu hanya sekedar menambah asap dapur. Kalau ini mah biasanya hasilnya hanya sekedarnya, minimalis begitu.
Kondisi tersebut dapat dimaklumi karena namanya saja orang bekerja, berprofesi. Mana yang utama dulu, jika yang utama adalah industri maka tentunya waktunya banyak di industri. Tahu sendiri khan kerjanya bahkan sampai lembur-lembur segala. Jadi kalau yang motivasinya hanya sekedar menambah asap dapur maka tentunya dia tidak akan punya waktu untuk mengembangkan materi perkuliahannya, dipakainya itu-itu saja. Kalaupun ada waktu kosong, maka dianya tentu akan mencari jam perkuliahan lain yang ada, maklum untuk menambah kocek sih motivasinya. Sedangkan yang motivasinya berbagi ilmu maka tentu saja lain.
Sebenarnya apa sih yang disebut link-and-match itu pak.
Tentang hal itu definisinya bisa-bisa berbeda antara satu dengan yang lain. Orang biasanya akan mengkaitkan bahwa jika kondisi tersebut diterapkan maka nanti setelah siswa lulus maka dapat langsung kerja. Sederhana bukan. Jadi kalau alumni suatu lembaga pendidikan dapat langsung diterima kerja, pokoknya kerja maka disebutlah bahwa kurikulum-nya adalah sudah link-and-match. Itu bahkan juga diberlakukan pada semua lembaga pendidikan, jadi rasanya tidak ada bedanya antara diploma (D3 atau D4) maupun universitas (S1).
Jadi yang terjadi khan seperti itu, padahal esensi dari misi lembaga pendidikan D4 dan S1 khan lain. Diploma khan kaitannya dengan trampil akan sesuatu, jadi maknanya adalah terapan atau praktek begitu. Karena praktek tentu pakai alat, pakai teknologi. Di sini makna link-and-match berlaku, jika prakteknya memakai alat-alat atau teknologi yang sama dengan industri maka tentunya ketika dianya lulus maka dapat langsung trampil bekerja. Ini cocok.
Sedangkan esensi pendidikan S1 adalah bukan pada ketrampilan, tetapi pada kemampuan berpikir (kreativitas). Karena pikiran maka jelas alat-alat atau teknologi yang dipakai tidak seheboh yang diploma, tetapi cukup buku-buku perpustakaan. Lha kalau sudah begini, bagaimana kaitannya dengan link-and-math dengan industri. Di industri khan tidak hanya pikiran saja bukan, tetapi produk, karena produk maka tentunya sifatnya massal, atau dengan kata lain rutinitas. Jadi mestinya produk universitas maka alumninya diharapkan siap belajar, jadi kalau bekerja nanti maka tentunya yang dikaitkan dengan kemampuan berpikir, yaitu bagaimana mengelola pabrik tersebut, atau semacamnya. Bahkan diharapkan dapat membuat atau memikirkan pabrik yang lebih baik, tidak hanya sekedar mempertahankan rutinitasnya saja.
Masalahnya khan sekarang, program Diploma perlu modal banyak (alat-alat dan investasi) teknologi, sedangkan Strata 1 yang hanya butuh tempat, dosen dan buku tetapi ujung-ujungnya jadi pimpinan, maka sekarang khan semuanya berbondong-bondong ingin jadi S1 atau menyamakan D4 adalah sama dengan S1. Membingungkan bukan. Adalah fakta juga lho, bahwa dari D4 bisa langsung mengambil S2. Itu kejadiannya adalah di Indonesia, yang menurut rektor salah satu perguruan tinggi di Yogya adalah lebih baik dibanding perguruan tinggi Malaysia.
Lho itu khan namanya terobosan pak, itulah maka disebutlah Indonesia lebih baik. Di Malaysia khan nggak bisa. Betulkan pak. Indonesia . . . .
Eh kita ini jadi nglantur, jadi ngomongin sistem pendidikan di negeri ini. Kita kembali ke profesi dosen lagi yukkk ..
Betul pak. Tadi kita omongin tentang dosen yang tidak full-time, yang maksudnya, sisi lainnya adalah berprofesi di industri. Itu khan namanya efisien pak, ngajarnya nggak setiap hari khan, jadi perguruan tinggi cukup membayar hanya waktu dianya datang saja, sehingga anggaran untuk dosen hemat (kecil), kemudian si dosen sendiri dapat gaji penuh dari kerjanya di dunia industri. Betul khan pak ?
Itulah yang selama ini terjadi, paradigma seperti itulah yang melekat pada profesi dosen. Dosen gajinya kecil sehingga untuk hidup yang baik maka si dosen harus bergantung kerja pada industri. Itu terjadi karena dipikirnya bahwa dosen itu hanya sekedar mengajar. Padahal selama seminggu kerja tersebut, tidak setiap jam dianya ada didepan kelas. Seperti sekarang ini, di kampus aku bisa menulis blog ini karena nggak mengajar. Jadi dapat dimaklumi saja kalau ada orang yang heran bahwa akunya ini hanya hidup sebagai dosen saja.
Wah ketahuan ini, bapak korupsi waktu.
Begitulah yang terjadi, orang awam juga menganggap seperti itu. Bahkan dosen-dosen sendiri juga begitu, kalau sudah mengajar maka dianggapnya pekerjaan telah santai, ngobrol sana-sini. Padahal jika para dosen tersebut sadar, maka tugasnya sudah dideskripsi dengan baik, bahkan oleh pemerintah sendiri yang disebut sebagai TRI-DHARMA-PERGURUAN TINGGI. Di situlah dosen-dosen berkarya, bahwa selain di bidang pengajaran, maka ada dua bidang lain yang tidak kalah pentingnya yaitu bidang penelitian/publikasi dan bidang pengabdian pada masyarakat. Implementasi ke masyarakat di luar perguruan tingginya tersebut. Jadi mengajar hanya 1/3 bagian dari tugas dosen lho. Karena produk dosen adalah pada hasil wacana berpikir, maka tulisanku seperti inipun juga suatu hasil kerja, bahkan bisa-bisa dianggap sebagai bagian dari bidang pengabdian pada masyarakat, yaitu menyumbang pemikiran-pemikiran berbeda sehingga masyarakat dapat berpikir “apa benar demikian”. Bahkan bisa-bisa itu semua menjadi pengetahuan baru bagi mereka.
Jadi sumbangan bapak in-materiil dong.
Ah kamu itu, pendapatmu itu koq begitu jujur, benar-benar mewakili kebanyakan rakyat kita lho. Jadi menurut kamu, sumbangan yang baik adalah yang berbentuk materi khan. Sedangkan yang in-materiil dianggap tidak ada harganya. Jika demikian maka konglomerat dapat disebutlah lebih hebat dibanding hanya seorang dosen. Tul nggak.
Nggak bisa disalahin sih, karena yang berbentuk materi memang dapat secara cepat dicerna oleh indera kita. Langsung ada dampaknya, sedangkan yang in-materiil dampaknya tidak langsung. Tetapi kalau sebenarnya kita mau berpikir dengan jernih, kadang yang in-materiil itu dampaknya bisa luar biasa lho. Kamu pernah dengar nabi Sulaiman belum , atau disebut juga sebagai raja Solomo. Ketika dia minta pada Tuhan, dianya tidak minta yang materiil lho, tetapi yang in-materiil, ini buktinya.
. . . Berfirmanlah Allah: “Mintalah apa yang hendak Kuberikan kepadamu.” . . .
. . . Maka berikanlah kepada hamba-Mu ini hati yang paham menimbang perkara untuk menghakimi umat-Mu dengan membedakan antara yang baik dan yang jahat. . . .
[1 Raja-raja 3:5-8]
Coba kalau waktu itu raja Solomo minta yang materiil saja, maka bisa-bisa kita tidak pernah mendengar namanya disebutkan. Jadi jangan sepelekan hal-hal yang in-materiil tersebut. Bangsa yang besar pada umumnya bukan didasarkan oleh kekayaan alamnya, tetapi oleh kemajuan budaya orangnya. Kita di negeri ini sudah dikenal sebagai kepulauan yang kaya akan bahan mineral dan sebagainya, itu memang kita syukuri, tetapi kalau budaya bangsa ini belum maju maka ya seperti itu, kesejahteraan belum menyeluruh. Akhirnya kita bisa-bisa kalah oleh negeri yang luas wilayahnya jauh lebih kecil dari kita. Coba lihat itu Jerman, Jepang, Singapore, itu semuanya relatif kecil dibanding negeri ini, tetapi dunia mengakui mereka lebih maju dari kita.
Karena pengembangan pikiran merupakan wahana profesi guru dan dosen, maka dengan demikian peran mereka bagi kemajuan bangsa ini cukup signifikan. Jika guru menyiapkan fondasi berpikir dari siswa-siswa tingkat menengah, maka dosen bertanggung jawab untuk masuk pada kancah implementasinya di lapangan kerja. Untuk unggul maka kreativitas menjadi salah satu hal yang penting, dan untuk itulah maka kegiatan dosen di bidang penelitian/ publikasi tersebut itulah yang sangat mendukung mencapai hal tersebut.
Itulah benang merah hubungan antara kondisi negeri kita sekarang ini dengan tidak berkembangnya budaya penelitian / publikasi dosen di lingkungan perguruan tinggi.
Gimana lagi, orientasi perguruan tinggi kita di sini, sebagian besar bukankah hanya sekedar berfokus pada bidang pengajaran dan berusaha dapat menerbitkan ijazah yang dapat dianggap legal oleh DIKTI. Selanjutnya adalah tindakan berpromosi untuk mendapatkan murid sebanyak-banyaknya. Banyak murid berarti banyak pendapatan, itu artinya perguruan tinggi dapat survive. Titik.
Memang nggak ada yang menyalahkan sih. Tapi kalau demikian, itu khan baru memberdayakan 1/3 kemampuan dosen. Tetapi jika itu terjadi terus menerus, maka akan menjadi budaya bagi dosen itu sendiri, bahwa memang profesi tersebut adalah identik dengan mengajar.
Ah yang bener pak ?
Lho bener, seperti diketahui setiap dosen dalam mengajar khan disuruh bikin SAP (Satuan Acara Perkuliahan), kemudian perinciannya per sesi pertemuan. Dalam suatu rapat bahkan pernah diinstruksikan bahwa dosen harus menyiapkan modul pembelajaran yang lebih terperinci dalam setiap pertemuan. Detail. Waktu ditanya maksudnya bagaimana, maka dijelaskan, jika hal tersebut sudah dipegang institusi copy-nya, maka jika dosennya berhalangan, maka bisa saja itu dikasihkan dosen pengganti lainnya. Jadi yang penting modul pembelajarannya ok, dosennya mah bisa diganti-ganti.
Aku mendengar penjelasan seperti itu bengong. Ini mah kejadiannya seperti guru di level pendidikan dasar (tapi ini nggak semua lho), yang penting paket bukunya. Gurunya bisa siapa saja, bahkan apapun latar belakang pendidikannya yang penting sudah S1. 😦
Jelas kondisi seperti itu aku tidak setuju, profesi guru tidak mempunyai apa yang disebut Tri Dharma Perguruan Tinggi, berbeda dengan dosen yang mempunyai juga tanggung jawab untuk mewujudkan tugasnya sebagai peneliti dan penulis publikasi. Bahkan itu semua menyebabkan ada pepatah barat yaitu “publish or perish”, yang intinya kalau mau jadi dosen maka buatlah publikasi. Ini ada penjelasan tetang istilah itu dari Wikipedia.
Adanya kebutuhan untuk membuat penelitian dan publikasi tentu memerlukan perhatian khusus pada bidang yang ditelitinya, bahkan untuk dapat membuat sesuatu yang baru biasanya perlu ketekunan, dan pengamatan yang memerlukan waktu lama pada bidang tersebut. Itu khan menunjukkan pada sisi pengalaman dosen bukan. Artinya nggak sembarang dosen dapat menggantinya khan. Kalaupun diperlukan maka dosen penggantinya, jika ingin bobotnya sama maka tentunya yang track record pada bidang tersebut juga sudah ada.
Adanya pemahaman seperti diatas maka ketika melihat ada seorang dosen yang dapat menerima semua bidang mata kuliah yang dibutuhkan, jadi terasa heran. Wah hebat benar, ini memang mempunyai kompetensi atau bahkan tidak berkompetensi sama sekali. Ketika hal tersebut aku tanyakan kepada yang bersangkuta, bagaimana caranya koq bisa seperti itu, yaitu serba bisa. Dianya menjawab dengan ringan: “O itu gampang pak, tinggal kita lihat materi pembelajaran tahun lalu, jika sudah maka itu yang kita berikan ke anak-anak”.
O begitu, aku jadi maklum, kalau begitu kasusnya seperti guru di level pendidikan dasar. Jika buku modul-nya kepegang, ya sudah itu yang diajarkan. ** mode bengong**
Jadi meskipun profesinya sama yaitu dosen, tetapi cara memandang pekerjaan antara dosen yang serba bisa tersebut dengan saya (yang nggak serba bisa) ternyata berbeda. Kadang-kadang aku berpikir, apakah aku ini terlalu milih-milih. Terus terang, aku hanya mau mengajar pada bidang-bidan yang memang aku merasa bisa, biasanya bidang yang dimaksud adalah ilmu rekayasa terapan. Bidang yang ngulik, seperti matematis dan semacamnya aku akan bilang, aku tidak kompeten.
Apa nggak malu pak dibilang nggak kompeten.
Gimana ya, mungkin karena adanya pertanyaan itula yang mendasari si dosen serba bisa menerima tawaran mengajar sembarang bidang ilmu. Aku pikir dia memilih itu dengan asumsi agar dianggap serba kompeten. Takut diberi pertanyaan seperti itu, aku rasa.
Bagi aku sendiri, terhadap pertanyaan seperti itu nggak masalah. Aku menyadari, bahwa meskipun aku telah lama jadi dosen, bahkan telah paripurna melaksanakan pendidikan lanjut, aku masih belum bisa menguasai semua ilmu yang ada dibidang rekayasa teknik sipil. Aku nggak tahu apakah itu karena keterbatasanku, atau apa. Karena bidang yang kekuasai hanya bidang relatif sempit, dari ilmu rekayasa terapan itu, yaitu bidang struktur, seperti misalnya analisa struktur, struktur beton, atau struktur baja dan sebangsanya itu. Kecuali itu, karena hobby saja maka aku punya sedikit kompetensi di bidang pemrograman. Di luar bidang itu maka aku perlu memikir dua atau tiga kali, dan jika dirasa tidak pede, maka aku lebih baik menolak saja.
Wah menolak, berarti nggak dapat honor dong pak.
Yah gimana lagi, aku kasihan ke murid, kalau dosennya aja tidak pede, maka bagaimana dengan mereka.
Kalau begitu bapak pede dong dengan materi yang bapak ajarkan di kampus.
Tentu dong. Untuk hal seperti itu, maka biasanya aku promosikan juga ke luar kampusku. Buktinya adalah buku-buku yang kutulis, sebagian besar didasarkan pada materi mata kuliah yang aku ampu. Dengan kutulis pada buku tersebut aku ingin menunjukkan bahwa ini lho kemampuanku sebagai dosen terhadap bidang yang diajarkannya.
Salut untuk pak wiryanto… full time dosen
SukaSuka
saya pengen loh pak, jadi dosen..
tapi sayang, belum rizki kaya’nya
SukaSuka
Ping-balik: mempunyai profesi sebagai dosen
Secara pribadi saya salut kepada semua pihak yang mempunyai keinginan tulus untuk memajukan pendidikan, khusunya di PT, dengan metode atau cara masing-masing. Khusus untuk Pak Wir, semoga bisa meneruskan aplikasi TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI nya, sharing pengetahuan dan pengalaman pada masyarakat.
SukaSuka
Dosen bisa mata kuliah apa saja ??
Ini kejadian di saya pak. Sempat protes ke sekretaris jurusan. Tapi katanya kan saya sudah pernah kuliah di sipil, lagipula kan ada SAP-nya. Ini kejadian kalau dosen yang mengampu sebelumnya tidak memenuhi standard kuantitas pengajaran. Terbayang kan pak, persiapan saya ya pasti amburadul. Kapan mau mendalami dan memperluas mata kuliah. Padahal, sang sekjur pernah kuliah di Swiss loh.
Yang lebih lucu lagi, semua dosen harus menulis buku ajar, supaya memenuhi standard ISO. Isi bukunya, wah jangan ditanya pak ? Istilahnya yang penting tertulis di sampul “Buku Ajar”.
Sistem pendidikan di internal saja sudah bikin pusing kepala.
Salut buat bapak, yang melihat dosen sebagai panggilan. Nggak semua loh pak, yang punya iman dan integritas seperti Bapak. Banyak dosen senior di tempat saya, tak bisa menghidupi panggilan itu yang katanya profesinya tak bisa menghidupi. Tapi sebenarnya kalau ditilik tak bisa menyesuaikan diri antara gaya hidup dan pendapatan.
Ok deh Pak. Tuhan Yesus memberkati
SukaSuka
Guru dan dosen adalah samudra sempit lautan teduh
tempat kita mencuci kebodohan pada diri …
namun sayang …
pada dasar-a guru adalah pahlawan tanpa pamrih
tp sekarang pahlawan harap pamrih
SukaSuka