Kadang-kadang membaca komentar pembaca, dahi jadi berkerinyit. Ini misalnya :
Luya // 14 Maret 2010 pada 16:32 | Balas (sunting)
saya mau menulis skripsi,tapi saya masih binggung apakah penelitian atau novel. Menurut saya lebih mudah novel tapi kurang menggigit.tolong sarannya.
Itu pertanyaannya salah, atau memang sayanya yang belum tahu, yaitu ada skripsi yang berbentuk novel.
Terus terang selama bekerja sebagai dosen, dengan hobby membaca dan juga menulis, maka rasa-rasanya saya belum pernah membaca atau mengetahui bahwa novel dapat juga dijadikan skripsi. Itu tentu cukup menarik, yaitu tentang bagaimana cara mengevaluasinya.
Memang sih, skripsi dan novel dapat dikategorikan sama-sama sebagai suatu bentuk karya tulis, yang dapat digunakan untuk mengetahui bagaimana lihainya penulisnya berpikir, dengan melihat caranya berlogika, bernalar dan beradu argumentasi di dalam tulisannya.
Jadi mestinya bisa juga ya pak digunakan sebagai suatu bentuk skripsi, untuk meluluskan gelar kesarjanaan ?
Kalau hanya melihat alasan di atas maka rasanya bisa juga. Masalahnya adalah mengevaluasinya. Seperti diketahui bahwa novel adalah bentuk karya tulis fiksi, dimana penulisnya dapat memasukkan pendapat atau angan-angannya sendiri tanpa perlu membuktikan dengan data-data bahwa apa yang ditulisnya adalah benar adanya.
Kalau begitu nggak bisa dipercaya dong pak ?
O bukan masalah dapat dipercaya atau tidak, kalau soal tersebut tergantung dari seberapa besar angan-angan yang dituliskan pada novel tersebut. Kadang-kadang penulis novel dapat juga melakukan penelitian pada fakta sejarah yang ada, kemudian menambahi sedikit yang secara nalar dan logis sesuai dengan waktu kejadian paparan yang diceritakan. Jadi bisa-bisa bagi orang yang tidak tahu, maka tulisan tersebut dianggap sebagai fakta adanya. Kalau nggak percaya, itu lho seperti buku-buku karangannya Dan Brown, kalau di Jawa tengah ada pengarang SH. Mintardjo (alm) dengan novel cerita silat jawanya yang dianggap oleh sebagian besar orang jawa tengah bahwa itu adalah benar-benar ada di jaman dulu.
Karena fiksi, maka sifatnya juga subyektif. Jika demikian tentu saja sangat susah untuk mendapatkan kesamaan penilaian. Jadi kalau hal tersebut dijadikan proses evaluasi pembelajaran di perguruan tinggi maka tentu cara evaluasinya menjadi tidak gampang. Subyektif, jika dosen yang satu senang, nilainya bagus, tetapi jika dosen satu tidak senang maka nilainya menjadi jelek.
Koq bisa begitu pak.
Ya memang begitu sifat novel. Ada banyak orang yang senang dengan suatu novel, tetapi ada juga sedikit orang yang tidak senang. Meskipun hanya sedikit tetapi kebetulan punya kuasa maka bisa-bisa novel yang dimaksud dibrendel, sehingga tidak bisa lagi dibaca oleh orang lain.
Hal itu dimungkinkan karena dalam novel bisa memasukkan unsur emosi kepada pembacanya. Jadi bisa saja ceritanya bukan kejadian sunggguh-sungguh, tetapi cara pemaparannya bernalar, logis dan menyentuh emosi pembacanya maka dapat saja itu digandrungi atau dibenci pembacanya.
Jadi jika kondisi tersebut terjadi pada saat proses evaluasi karya tulis berbentuk novel tersebut maka tentu menjadi suatu masalah yang merepotkan.
Tadi bapak menyatakan bahwa penelitian juga dapat dikerjakan pada saat menulis novel. Jadi yang ditulis saudari Luya bahwa yang dipilih penelitian atau novel, itu salah ya pak.
Yang dimaksud dengan penelitian yang disampaikan sdri Luya perlu diperjelas dahulu. Apa itu ?
Jika penelitian yang dimaksud adalah melakukan pengamatan pada data-data atau sesuatu yang berkaitan dengan topik yang akan ditulis, sehingga penulisnya bisa punya argumentasi yang kuat berdasarkan data-data tadi , maka itu bisa diaplikasikan pada tulisan fiksi (novel) maupun non-fiksi (karya tulis ilmiah).
Mengapa skripsi kebanyakan (kalau tidak mau dikatakan semua) memilih bentuk karya tulis non-fiksi, adalah karena kebenarannya dapat dibuktikan secara meyakinkan, baik dengan bukti-bukti empiris yang dikerjakan maupun berdasarkan fakta-fakta yang tercatat pada pustaka terdahulu. Dengan demikian nilai yang diberikan dapat bersifat obyektif.
Moga-moga ini bisa menjawab pertanyaan sdri Luya.







Tinggalkan Balasan ke Petrus Ambarita Batalkan balasan