Sedih juga mendengar kabar rekan doktor dari ITB yang terbukti plagiat artikel sehingga ijazah S3-nya dicabut.
- Jumat, 23/04/2010 17:57 WIB
Plagiarisme Doktor ITB – Gelar Doktor Zuliansyah Resmi Dicabut
Tya Eka Yulianti – detikBandung. -
PLAGIARISME : ITB Cabut Gelar Doktor ZuliansyahKompas Cetak – Senin, 26 April 2010 | 03:33 WIB
Benar-benar nila setitik rusak susu sebelangga. Bayangkan sekolah untuk mendapatkan doktor itu tidak sederhana, umumnya perlu waktu yang lama, kalau tidak salah paling cepat adalah tiga (3) tahun, bahkan rata-rata lima (5) atau lebih.
Koq bisa ya pak ?
Itulah aku juga heran, menulis disertasi S3 itu jelas pasti lebih lama dibanding menulis makalah yang kemudian pada akhirnya dianggap plagiat tersebut.
Mungkin disertasinya juga dianggap plagiat juga pak ?
Ini yang sedang aku pikirkan. Kasusnya jelas berbeda dengan kasus plagiat yang menimpa seorang profesor tempo hari, itu terbukti lebih dari satu plagiat. Tujuannya jelas, yaitu dalam rangka kejar tayang, agar tetap populer.
Tapi yang doktor ITB ini khan berbeda. Pertama, plagiatnya yang terbukti baru satu. Bisa jadi ini karena keteledoran atau merasa bahwa materinya dianggap bagus. Buktinya sudah lolos uji para profesor di sekolahnya, sehingga meraih gelar doktor. Ok deh, ini harus kita beri sangsi, tetapi kalau kemudian merambat pada proses sekolah doktornya, yang perlu waktu lama tersebut tentu perlu dipertanyakan.
Ya bisa saja, doktornya itu juga plagiat pak ?
Yah, yah bisa saja kita menuduh seperti itu. Tapi ingat, menulis jurnal internasional khan berbeda dengan menulis disertasi.
Jika kita menulis jurnal internasional, bisa saja kita tidak berinteraksi dengan orang-orang lain disekitar kita yang dianggap ahli, cukup hanya berdasarkan jurnal-jurnal international yang kita punya. Itu berarti bisa bekerja hanya dalam satu pihak (diri sendiri), jadi ketika buahnya dibaca orang lain, maka bisa terjadi bahwa buah tersebut ternyata sama dengan yang pernah dibaca orang lain. Disebutlah itu plagiat. Saya bisa memahami hal tersebut.
Tetapi jika menulis disertasi, maka jelas itu tidak bisa sendiri. Pasti harus ada interaksi dengan penguji-pengujinya. Sebagai gambaran ketika saya menempuh ujian S3 saya kemarin di UNPAR, tahapan-tahapan yang harus saya lalui adalah :
- Pra-doktoral, selama minimum satu tahun (saya kemarin dua tahun). Selama itu calon mahasiswa diminta untuk mengambil mata kuliah yang dianggap mendukung riset disertasinya. Mata kuliah yang diambil adalah berdasarkan hasil konsultasi dengan dosen pembimbing. O ya, pada tahap ini ada perlu diambil mata kuliah SBK, yaitu seminar bidang kajian. Pada mata kuliah tersebut pada satu semester, mahasiswa diminta untuk berinteraksi dengan tiga dosen senior untuk membuat tiga makalah ilmiah terpisah untuk diuji. Di sini mahasiswa harus punya kompetensi menulis makalah ilmiah. Biasanya sih memang studi literatur, tetapi biasanya dosennya memberi muatan baru, sehingga jelas strategi copy-and-paste tidak akan berguna. Karena dosennya akan tanya makalah-makalah yang dijadikan rujukan dan bedanya makalah yang kita buat. Hasil dari proses pra-doktoral selanjutnya dievaluasi pada akhir tahun pertama atau selambat-lambatnya tahun kedua, jika telah memenuhi persyaratan maka disarankan untuk menempuh ujian kualifikasi.
- Ujian kualifikasi. Di sini Universitas membentuk team penguji, biasanya yang dianggap paling kompeten dibidangnya. Bisa-bisa pengujinya tidak hanya dari universitas itu sendiri tetapi juga bisa meminta bantuan dari universitas tetangga yang dianggap senior. Waktu saya dulu yang menguji, empat dari UNPAR dan satu profesor senior dari ITB. Mahasiswa yang diuji pertama-tama diberi soal ujian tertulis, yang dikerjakan di rumah selama seminggu, dengan pernyataan harus dikerjakan sendiri. Bayangkan mengerjakan soal selama seminggu, kayak apa itu. Ini juga saya kira tidak bisa copy-and -paste. Gimana lagi, soalnya dibikin oleh pengujinya sendiri dan belum pernah dipublikasikan, atau kalau ada hanya mirip dan telah dimodifikasi. Selanjutnya hasilnya diuji secara terbuka oleh lima penguji tersebut secara oral didepan . Dari cara pengujian ini jelas cara-cara copy and paste pasti tidak bisa diaplikasikan. Di depan sidang penguji yang sudah berpengalaman, maka hanya bermodalkan hapalan pasti akan rontok, mahasiswa harus mengerti benar karena pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sifatnya interkatif dinamik, alurnya bisa tidak terduga. Jika lulus maka mahasiswa tersebut dianggap mampu untuk menulis disertasi, pada tahap ini dapat disebutlah sebagai kadindat doktor.
- Seminar judul : tahap ini diubek-ubek literatur yang digunakan dan apa bedanya dengan penelitian yang dilakukan.
- Evaluasi judul : diuji tentang masalah yang akan dijadikan penelitian, argumentasi mengapa jadi masalah, dan juga dukungan literatur yang ada, juga hipotesis, serta kebaruan dari penelitian yang lain. Faktor kejujuran dan keluasan wawasan / pengetahuan penguji menjadi penting. Inilah perlunya dosen senior, sekaligus diuji kompetensinya sebagai filter penyaring.
- SKP-I : seminar kemajuan penelitian pertama
- SKP-II: seminar kemajuan penelitian kedua
- Ujian tertutup. Dari tema penguji yang ada selanjutnya ditambah dengan dosen penguji baru dari diambil universitas lain, yang dianggap pakar dibidangkanya dan sebelumnya belum pernah dilibatkan. Dosen ini diharapkan dapat memberi pertanyaan baru bagi kandindat doktor (ada filter yang baru).
- Ujian terbuka.
Melihat proses yang bertahap-tahap seperti di atas, dan juga biasanya promotor dan kopromotor selalu memberi masukkan baru atau terjadi interaktif dinamis terhadap kandindat doktor maka jelas strategi copy-and-paste yang dapat dilakukan secara mudah ketika membuat makalah international, menjadi tidak berlaku.
Keputusan ITB yang mencabut gelar doktor tersebut adalah bukti bahwa penelitian yang dilakukan oleh doktor lulusannya tersebut adalah terkait dengan plagiat.
Jika itu benar, maka itu juga merupakan suatu bukti bahwa tahapan-tahapan ketika menempuh doktor dulu di ITB ternyata tidak efektif menyaring materi penelitian si calon doktor, yang ternyata plagiat tersebut. Atau mungkin lebih banyak dipicu oleh faktor EGO dosen-dosen pengambil keputusan tersebut ya. 🙂
Jadi pernyataan bahwa ITB mencabut gelar doktor yang ternyata plagiat, juga menjadi bukti bahwa ahli-ahli yang dikelola oleh ITB dulu dengan membentuk team penguji proses disertasi si doktor tersebut ternyata tidak bisa menjadi filter. Tidak tahu apakah yang berperan di sini adalah tidak adanya kejujuran si calon doktor atau atau tidak luasnya kompetensi dan pengetahuan yang menjadi penguji. Ini tentu patut dipertanyakan.
Mengapa itu bisa terjadi ?
Padahal itu di PTN paling top di negeri ini. Jadi bagaimana dengan universitas yang lain, yang dosen ahlinya saja hanya datang kalau akan menguji atau memberi kuliah saja (nggak ada ikatan batin / dosen pacokan).
Itulah sisi lain pendidikan di negeri ini. Jadi tambah prihatin. 😦







Tinggalkan komentar