Tentunya adalah suatu kehormatan, jika ada seorang senior di bidang rekayasa teknik sipil, berkenan mampir dan memberi komentar di blog ini. Oleh karena itulah, perlu dibuatkan thread khusus untuk menyambutnya.
Argumentasi yang mendasarinya adalah, bilamana seorang senior sampai-sampai mau meluangkan waktunya menulis komentar (di tengah-tengah kesibukannya), tentunya itu disertai pemikiran serius, yang bahkan dapat menjadi petunjuk tingkat senioritasnya. Jadi dengan menjawabnya secara serius pada thread khusus ini pula, sehingga dapat diungkap materi secara lebih mendalam (yang umumnya memerlukan banyak paragraf), maka secara tidak langsung dapat menempatkan penulisnya pada posisi tersebut. Bukankah itu suatu kehormatan.
Beliau yang mampir ini, cukup senior malang melintang di dunia persilatan eh, perteknik-sipilan, baik di wilayah bidang akademisi maupun praktisi. Jadi tentunya wajar pula jika dapat dianggap beliaunya selalu mempunyai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang ada. Jadi ketika masih menyisakan pertanyaan. Tentunya itu suatu hal yang menarik, yang tidak bisa dijawabnya sendiri, tentunya suatu pertanyaan yang menyangkut hal di luar dirinya, seperti yang menyangkut kepentingan komunitas profesional bidang rekayasa teknik sipil itu sendiri. Jika demikian, bukankah itu menyangkut kepentingan kita semua.
Tertarik, silahkan dibaca lebih lanjut.
Selamat datang bapak Ir. S.P. Limasalle, M.Sc dan terima kasih pula atas komentar yang disampaikan. Saya kutipkan lagi pertanyaannya, sbb :
S. P. Limasalle commented on penting bagi mahasiswa dan dosen
Yth pak Wir, dalam pengamatan saya yang terbatas, blog pak Wir yang paling ramai dikunjungi.
Selamat ya !
Sebagai orang yang mempunyai pengalaman kerja konsultan (nyata) dan pengalaman sebagai pendidik; saya tergelitik untuk menanyakan pendapat pak Wir tentang pendidikan sarjana teknik Sipil ; harus fokus pada pengembangan ilmiah atau malah sebaiknya lebih “application oriented” ?
Nyatanya mungkin mengharap lulusan Teknik Sipil diharap dapat berkarya nyata di masyarakat sebagai ahli teknik, bukan sebagai ilmuwan. Hanya perlu sebagian kecil sarjana teknik yang meneruskan sampai program doktor untuk mengembangkan ilmu dan memberi kuliah jenjang pendidikan yang tinggi.
Sekian ,
salam SP. Limasalle
Pertama-tama tentu saja diucapkan banyak terima kasih atas tanggapan positip Bapak terhadap blog ini. Sedikit banyak, apa yang menjadi visi dan misi blog ini dibuat, telah menunjukkan hasil. Minimal ada petunjuk bahwa blog ini diketahui dan dibaca juga oleh para senior.
Selanjutnya adalah tentang pendidikan teknik sipil. Sebaiknya fokus yang mana, pada “pengembangan ilmiah” atau “application oriented“.
Ada baiknya saya tidak akan menjawab secara langsung terlebih dahulu. Tapi perlu mempertanyakan “mengapa sampai keduanya dapat dibuat sebagai sebuah dikotomi atau pemisahan. Apa benar demikian adanya. Ini penting untuk dijawab terlebih dahulu, karena jika langsung dijawab, bukankah itu berarti saya mengamini atau memberi pembenaran bahwa keduanya adalah saling terpisah. Itu tentunya dimaksudkan untuk dunia rekayasa, yang tentunya tidak sama dengan dunia sain pada umumnya.
Bidang rekayasa adalah bidang usaha manusia, yang melalui ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dibuat suatu solusi bagi suatu masalah yang terkait dengan fisik atau alam, untuk kepentingan manusia itu sendiri. Karena kepentingannya adalah manusia itu sendiri, maka bilamana perlu ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut diciptakan atau dibuat terlebih dahulu.
Dari definisi ini saja, tanpa harus menjelaskan panjang lebar, sebenarnya pertanyaan dapat dijawab. Jika pendidikan teknik sipil di Indonesia ditujukan untuk mendidik calon-calon profesional di bidang rekayasa teknik sipil, maka tentunya mengikuti definisi di atas. Para lulusan nantinya diharapkan mampu membuat solusi terhadap permasalahan praktis melalui ilmu dan teknologi, baik yang sudah ada, maupun harus dikembangkan terlebih dahulu ilmunya dan dibuatkan teknologinya terlebih dahulu.
Di jaman sekarang ini, seorang bergelar akademik sedikit dan bisa memanfaatkan teknologi yang sudah ada (terlihat canggih) sudah disebutlah sebagai seorang insinyur. Padahal di jaman dulu, dengan ketrampilan yang sama, cukup disebut sebagai Tukang Kelas Satu.
Sedangkan pendapat saya, yang pantas mendapatkan sebutan insinyur adalah orang yang mampu mencari solusi masalah tanpa dibatasi oleh ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada saja. Karena jika ternyata belum ada , maka perlu diciptakan terlebih dahulu ilmu pengetahuan dan teknologinya. Nah itu baru pantas disebut insinyur.
Untuk membantu memahami ide apa yang saya sampaikan di atas, ada baiknya membaca biografi insinyur-insinyur terkenal berikut :
- John A. Roebling, dengan jembatan Brooklyn di New York.
- Robert Maillart, dengan jembatan Salginatobel di Swiss.
- Fritz Leonhardt, dengan tower TV Stuttgart, di Jerman.
- Sedijatmo, dengan konstruksi Cakar Ayam-nya, di Indonesia.
- Tjokorda Raka Sukawati , dengan teknik Sosrobahu, di Indonesia.
Insinyur-insinyur di atas menjadi terkenal, bukan karena keterlibatannya pada proyek-proyek yang besar saja, tetapi lebih kepada sumbangan ide dan pemikirannya bagi pengembangan ilmu pengetahuan baru yang dibuatnya, yang ternyata terbukti sukses menjadi solusi permasalahan pada proyek-proyek konstruksi yang ditanganinya.
Jadi dengan demikian dapatlah dijawab atau dijelaskan pertanyaan bapak SP. Limasalle bahwa, jika pendidikan teknik sipil di Indonesia mau menghasilkan insinyur-insinyur seperti contoh di atas, maka jelas saja dikotomi atau pemisahan antara “pengembangan ilmiah” dan “berorientasi praktis”, tidak boleh diberikan. Keduanya perlu menjadi satu kesatuan yang utuh agar dapat saling bersinerji.
Dalam pelaksanaannya, tentu saja tidak boleh meninggalkan prinsip kerja seorang insinyur, yaitu praktis dan tepat guna. Jika dengan ilmu yang ada, sudah dapat dibuat solusinya, maka mengapa harus mengembangkan ilmu baru. Pakai saja yang sudah ada, yang penting tujuannya tercapai secara cepat dan praktis, meskipun mungkin level ketrampilan Tukang Kelas Satu yang digunakan. Nggak apa-apa, ingat ilmu dan teknologi hanya sekedar alat mencapai tujuan.
Betul khan pak.
Jika saya seorang Tukang Kelas I, maka tulisan ini akan berhenti sampai di sini. Maklum, bukankah sudah dijawab apa yang menjadi pertanyaan pak Limasalle. Tetapi karena terlanjur mengaku diri sebagai gurunya calon insinyur, tentu perlu diungkap lebih jauh, mengapa sampai timbul dikotomi antara “pengembangan ilmiah” atau “application oriented“. Ini yang perlu diungkap permasalahannya.
Baik, mari kita menelusurinya secara cermat. Sebagai pimpinan juga di dunia praktisi, wajar saja jika pak Limasalle sering bertemu sarjana teknik baru, alumni pendidikan teknik sipil Indonesia, untuk bersama-sama menangani proyek-proyek konstruksi. Nah dari situ diduga ada pengalaman-pengalaman disana yang menunjukkan kompetensi para sarjana teknik baru ini di bidang “application oriented” dianggap tidak memuaskan. Padahal bisa saja, pak Limasalle sebagai pimpinan telah memilih mereka berdasarkan asal sekolah maupun catatan indeks prestasi (IP) yang baik pula. Ada dugaan pula, pengalaman beliau menemukan sarjana yang seperti itu, tidak satu atau dua kali saja, tetapi mungkin telah berkali-kali. Sehingga menimbulkan kesan merata pada semua lulusan,yang dianggap “baik” tadi.
Tentu saja ini dugaan, yaitu adanya ketidak-puasan terhadap kompetensi sarjana-sarjana teknik sipil yang baru-baru tersebut. Istilah kasarnya adalah tidak siap pakai, begitu. Tentu saja ketidak puasan tersebut bisa saja tidak secara nyata, seperti ketidak percayaan untuk melepasnya secara mandiri, sehingga dengan demikian pimpinannya masih harus terlibat secara langsung.
Bagaimana, apakah itu adalah latar belakang terjadinya dikotomi tersebut. Kalau saya sih, yakin-yakin saja, lihat saja jika kompetensi para sarjana-sarjana teknik sipil baru tersebut memuaskan, dan bisa bertindak seperti insinyur-insinyur yang diungkapkan di atas itu, maka dapat dipastikan tidak ada pertanyaan seperti yang diajukan pak Limasalle tersebut.
Sedangkan yang dimaksud kata “pengembangan ilmiah“, rasanya juga tidak relevan. Boro-boro sampai pada tahap pengembangan, memahami ilmu pengetahuan ilmiah yang sudah adapun, tentu masih perlu dipertanyakan. Maklum yang namanya bidang rekayasa, ilmunya khan didasarkan pada permasalahan real. Jadi kalau “application oriented” pun diragukan, maka jelas penguasaan ilmu-ilmu yang terkait dengan itu juga akan diragukan adanya.
Terus terang saya meragukan juga jika “pengembangan ilmiah” merupakan fokus pendidikan teknik sipil kita. Karena jika itu yang merupakan fokus pendidikan teknik sipil di Indonesia, maka tentunya dapat dikaitkan dengan produktivitas karya ilmiah bermutu yang dihasilkannya. Padahal tahu sendiri, ketika Dirjen Dikti menetapkan wajib publikasi di jurnal ilmiah, banyak yang heboh lho, menyatakan tidak setuju. Bahkan, kebanyakan mereka yang mengaku diri profesor. Kondisi itu tentu saja dapat menjadi petunjuk bahwa lulusan sarjana di sini memang tidak diarahkan pada pengembangan ilmiah itu sendiri. Kelihatannya, istilah “pengembangan ilmiah” lebih banyak ditujukan pada hal-hal yang menyangkut teoritis saja.
Ini fakta lho.
Nah karena pertanyaan tersebut diajukan kepada saya yang berlatar belakang perguruan tinggi, maka kelihatannya suatu bentuk hiperbolis saja. Jadi jika diubah jadi pertanyaan to the point, bisa saja jadi begini: “Pak Wir, saya menemukan banyak sarjana tidak siap pakai pada proyek real. Apakah bisa materi pembelajaran di perguruan tinggi diberikan yang berorientasi praktis, agar sesuai kebutuhan di industri. Jadi ada link-and-match”
Wah menarik, ada kata link-and-match. Jika tidak sadar, pasti akan manthuk-manthuk. Kesannya pas. Dulu saya juga berpikir seperti itu, maklum dianggapnya lulusannya akan dapat langsung cepat diterima kerja. Ini khan tujuan banyak orang ingin bersekolah khan.
Padahal menurutku, itu tidak cukup. Harus lebih dari itu. Seseorang yang mengikuti pendidikan di perguruan tinggi, tidak hanya sekedar trampil tetapi perlu terjadi perubahan dalam pola dan cara berpikirnya. Bahkan kalau disuruh mana yang lebih penting, ketrampilan langsung atau perubahan pola dan cara pikirnya, maka yang terakhir inilah yang lebih diutamakan di tingkat perguruan tinggi.
Dengan dipilihnya itu, ada dampaknya juga. Pada tahap awal bekerja, para lulusan tersebut bisa saja tertinggal dengan ketrampilan yang dimilikinya dibanding ketrampilan dari para lulusan diploma, yang memang dididik untuk trampil dan langsung siap kerja. Meskipun demikian, jika pola dan cara berpikirnya sudah berbeda (peningkatan), maka mestinya yang lulusan perguruan tinggi dapat dengan mudah untuk belajar dan mengatasinya. Kedepannya tentu akan lebih baik. Tapi ingat, pernyataan ini benar jika pekerjaan yang dimaksud memang lebih mengandalkan pada kerja otak, seperti perencanaan, manajemen atau kepemimpinan dan sebagainya. Jika pekerjaannya mengandalkan kerja fisik, ya tidak ada gunanya hasil pendidikan di level perguruan tinggi.
Selanjutnya mungkin ada dikotomi, tentang perlunya dosen pada pendidikan teknik sipil yang berlatar belakang praktisi, yaitu agar ada link-and-match tersebut. Jadi jangan hanya mengandalkan dosen bergelar doktor, yang dianggapnya hanya tahu soal teoritis saja.
Nah ini juga pertanyaan yang seru. Dikotomi itu terjadi karena dianggapnya atau tepatnya banyak yang mengakui bahwa memang berbeda jika yang ngajar praktisi dan doktor tetapi di kampus saja hidupnya.
Padahal meskipun mengandalkan fakta empiris, jika hal di atas terjadi, sebenarnya tetap saja tidak bisa dibenarkan dikotomi yang dimaksud. Seorang dosen yang benar-benar bisa menerapkan konsep Tri Dharma Perguruan Tinggi, rasanya bisa juga menghasilkan link-and-match. Itu semua dimungkinkan khususnya jika dosen tersebut bergelar Doktor. Maklum, gelar tersebut juga menunjukkan kapasitas dia sebagai seorang peneliti.
Pada dasarnya kompetensi dosen dan praktisi di bidang teknik sipil tidak perlu diragukan, khususnya jika dikaitkan dengan kedalaman ilmu yang dapat diberikan jika dianggap punya level keilmuan yang sama. Hanya saja, fokus yang diarahkan antara seorang dosen dan praktisi, pada dasarnya memang berbeda. Seorang dosen lebih difokuskan pada proses, yaitu kemampuannya menjelaskan atau menerangkan, bagaimana suatu proses rekayasa dihasilkan untuk mememenuhi suatu target tertentu. Sedangkan praktisi, kadang tidak perlu pusing soal proses, atau metode atau caranya, yang penting hasilnya memenuhi kriteria yang diinginkan.
Jadi seorang dosen lebih ditekankan pada produk pikiran yang dihasilkan, sedangkan praktisi pada produk nyata (fisik) yang dibuat.
Nah disinilah mulai terjadinya distorsi pada pendidikan itu sendiri, bahwa mahasiswa-mahasiswa sekarang maunya yang mudah, tidak mau bersusah-payah atau tidak berorientasi pada proses, tetapi hanya pada hasilnya. Cari ijazahnya doang. Bahkan untuk itu, kalau perlu membeli bocoran soal, mencontek dsb-nya. Juga dari sisi manajemen pendidikan itu sendiri, bahwa kesuksesan bersekolah adalah dapat dihasilkan jumlah kelulusan yang banyak. Tanpa peduli, proses yang dikerjakannya. Bahkan ada wacana kalau bisa skripsi dihapus, digantikan dengan beberapa mata kuliah pilihan. Maklum kalau ada skripsi khan bikin lama lulusnya.
Itu tadi di sisi mahasiswa, di sisi dosen juga bisa terjadi. Karena orientasinya memang pada proses berpikir, maka kadang untuk menunjukkan bahwa materinya berbobot, materinya sendiri dibuat muter-muter. Konsep praktis yang dianut para insinyur diabaikan. Tentang hal ini, saya jadi ingat pendapat seseorang, bahwa pintar atau tidaknya seorang dosen dapat dilihat dari bagaimana piawainya dia dalam menjelaskan masalah kompleks menjadi suatu kalimat sederhana, yang dapat dengan mudah dipahami murid-muridnya.
Sebagai misalnya: lihat saja, ada dosen yang begitu bangga menunjukkan begitu banyaknya metode dan cara yang diajarkannya untuk analisa struktur. Padahal kalau mau jujur, mata kuliah analisa struktur yang diperlukan di tingkat pendidikan tinggi saya kira cukup yang mendasar saja, sekadar memahami parameter-parameter yang menentukan untuk mengetahui perilaku struktur yang ditinjau.
Ketika ditanya, mengapa harus belajar banyak, biasanya dosennya akan berkilah bahwa itu dulu yang dia pelajari (koleksi) ketika sekolah di manca negara, di luar sana. Jadi agar murid-muridnya hebat nantinya, maka perlu belajar itu semua. Saya sih mendengarnya manggut-manggut. Maklum setua ini rasa-rasanya untuk perlu tahu “apa itu yang namanya perilaku struktur”, rasa-rasanya tidak perlu harus tahu sebanyak itu metode dan caranya.
Ketika hal itu (yang banyak itu) dipaksakan diberikan kepada mahasiswanya, maka bisa-bisa ketika nantinya mau pakai, jadi bingung. Pertama, metode atau cara mana yang sebaiknya dipakai. Ke dua, karena banyaknya materi, maka biasanya nggak mendalam. Jadi ketika ketemu masalah sebenarnya, jadi kelihatan kalau nggak kompeten. Jaman sekarang ini, dengan menguasai prinsip-prinsip dasar, dan tool program komputer berbasis finite-element, khan sudah beres. Nah, dosen-dosen yang seperti inilah yang memang perlu diganti oleh praktisi (yang praktis sukanya).
Hal-hal itulah yang mungkin menyebabkan mengapa IP bagi lulusan kadang tidak ada artinya, dan akhirnya bermuara pada pertanyaan yang diajukan di atas.
Salam.







Tinggalkan komentar