Kelihatannya, mata kuliah tugas akhir atau skripsi (6 sks), masih menjadi momok bagi mahasiswa di perguruan tinggi. Padahal mata kuliah tersebut tidak ada yang mengajarkannya secara spesifik di depan kelas, seperti mata kuliah-mata kuliah yang lainnya.
Benar ya ?
Saya pribadi meng-amini, maklum punya kenalan yang bahkan sudah lulus semua mata-kuliah, tapi sampai sekarangpun tidak punya gelar kesarjanaan karena tugas akhir atau skripsi-nya tidak selesai. Pengalaman saya sendiri juga merasakan bahwa skripsi bikin penyelesaian waktu paling lama. Maklum, dulu menyelesaikannya (S1 dan S2), lebih dari satu semester.
Dengan latar belakang pemahaman seperti di atas, maka wajar jika ada yang kemudian memberikan usulan Pilihan Strategi Pelaksanaan Program Studi S1, khususnya di bidang teknik sipil, sebagaimana yang dimaksud di bawah ini:
Demi efisiensi, apakah kita perlu lebih fokus ke “pengembangan ilmiah” atau perlu lebih fokus kepada pengetahuan yang “application oriented”. Edaran Dikti terakhir rasanya sangat sukar dilaksanakan oleh mahasiswa tingkat S1 jurusan Sipil.
Dari pengalaman membimbing skripsi S1 di beberapa universitas, mahasiswa sangat berat membuat skripsi yang memenuhi kaidah ilmiah yang baik; sehingga jika dipakai standar yang agak tinggi, akan membebani waktu penyelesaian. Secara lebih ekstrim, mungkin bisa dipertanyakan apakah penulisan skripsi dalam arti ilmiah perlu untuk semua mahasiswa S1 sipil ?
Apakah studi literatur yang mengkompilasi penemuan/pendapat orang lain disertai evaluasi mahasiswanya tidak dapat diterima ?
Saya kira pemikiran di atas perlu dicermati dengan baik, apalagi bagi profesional yang bekerja di bidang tersebut.
Ide dan pertanyaan di atas disampaikan oleh pak Limasalle pada salah satu threat di blog ini. Juga sudah mendapat beberapa tanggapan dari pembaca, meskipun demikian karena latar belakang penulis ini adalah dosen, tentunya tidak mau kalah juga untuk sedikit menyumbang saran dan ide dengan permasalahan di atas.
Materi yang disampaikan pak Limasalle sendiri ternyata masih sama dengan threat yang telah ditulis sebelumnya, yaitu masih terkait dengan materi tentang “pengembangan ilmiah” dan “application oriented”. Penjelasan yang kusampaikan di sini , ternyata belum tuntas. Maklum memang tidak mengkaitkan dengan skripsi, dikiranya tentang silabus perkuliahan.
Dari usulan yang diajukan di atas, terlihat masalahnya bukan pada skripsinya sendiri. Tidak ada usulan untuk menghapus skripsi, hanya strategi pelaksanaannya saja yang perlu disesuaikan.
Tentang penghapusan skripsi, ada juga lho wacananya. Bahkan yang mengajukan usulannya adalah orang yang kemudian menjadi profesor, yaitu pada waktu rapat kerja penyesuaian kurikulum. Beliau mengusulkan untuk menghapus skripsi dan menggantikannya dengan dua atau tiga mata kuliah pengganti. Idenya mencontoh cara pendidikan di Amerika, untuk level bachelor yang memang nggak ada skripsi. Baru pada level master, hal itu ada.
Seru juga ya. Tapi untunglah, usulan tersebut tidak ditindak-lanjuti. Bayangkan saja, jika sampai dihapus, bagaimana itu jadinya. Bisa-bisa nggak beda jauh atau bahkan kalah dengan level pendidikan D4 di sekolah tinggi.
Pak Limasalle juga sepakat, skripsi masih diperlukan di level S1. Hanya saja strateginya perlu disesuaikan, agar tidak menjadi momok atau tidak sampai membebani mahasiswanya. Suatu usulan yang menarik, tetapi apakah itu perlu dilakukan ?
Ini adalah fakta yang menarik. Jika mau jujur, tidak banyak orang yang mau memikirkan tentang skripsi dan semacamnya. Kecuali memang orang tersebut atau anaknya sedang menulis skripsi atau semacamnya, dan menemukan hambatan. Banyak lho yang nggak peduli, atau tepatnya banyak yang merasa bahwa apa yang orang kerjakan dengan skripsi sekarang ini, telah betul adanya. So what gitu lho ?
Proses pelaksanaan skripsi, dianggapnya sudah fine-fine saja. Ngapain perlu di otak-atik lagi. Bahkan selevel Dirjen Dikti-pun ketika memberikan sesuatu yang baru tentang skripsi, banyak yang protes. Tidak tanggung-tanggung seorang Magnis Suseno-pun juga menanggapi surat Dirjen Dikti secara sinis (di harian Kompas). Intinya, beliau tidak setuju dengan isi surat Dirjen Dikti terkait dengan pelaksanaan skripsi tersebut.
Ada apa sih pak Wir. Ada masalahkan dengan pelaksanaan skripsi ?
Itulah yang mungkin mau disampaikan oleh pak Limasalle. Dari dialog yang disampaikan, sebenarnya dapat diketahui bahwa mahasiswa mendapat masalah dengan standar skripsi yang diberikan pak Limasalle. Bagaimana dengan dosen yang lain. Bisa ada yang menyebutnya masalah, tetapi banyak juga yang merasa sebenarnya tidak masalah yang dimaksud.
Mengapa itu bisa terjadi.
Bisa saja. Persoalan tentang skripsi sebenarnya persoalan lokal. Setempat, tergantung dari kepedulian institusi atau dosennya saja. Tidak ada kontrol yang bersifat menyeluruh, kecuali jika diketemukan plagiat dan di ekspos. Baru itu jadi masalah.
Jadi apakah ada jaminan, bahwa materi skripsi yang telah selesaipun mengandung muatan ilmiah yang dapat dipertanggung-jawabkan sama antara satu institusi pendidikan dan satu institusi pendidikan lainnya. Bagaimana kontrol mutunya ?
Nggak ada !
Itu ditentukan oleh dosen pembimbing dan dosen pengujinya saja. Juga mungkin oleh ketua jurusan (jika masih mau menyediakan waktunya).
Padahal, kriteria mutu antara satu dosen dengan dosen yang lain, bisa saja berbeda-beda di dalam satu institusi pendidikan. Apalagi beda institusi.
Jadi kalau mau jujur, pelaksanaan penulisan skripsi adalah suka-suka. Sesuka dosen pembimbingnya. Ada yang bermutu sekali di satu sisi, tetapi banyak lain yang mutunya dipertanyakan.
Atas dasar itulah, maka saya bisa memaklumi cara berpikir Dirjen Dikti, mengapa sampai ada surat yang mengharuskan mengharapkan calon sarjana membuat tulisan di jurnal ilmiah. Dengan adanya tulisan di jurnal ilmiah tersebut maka tentunya mutu buah pikiran sarjana-sarjana dapat dievaluasi secara terbuka, karena dapat diakses oleh siapa saja. Sedangkan jika hanya tulisan skripsi, yang bersifat lokal, bagaimana orang bisa tahu kualitasnya. Kecuali memang bagi orang yang memang ngotot ingin melihat hasilnya, misalnya ada kecurigaan penggunaan ijazah palsu oleh salah satu konstituen pilkada. Jadi sebenarnya surat Dirjen Dikti itu merupakan suatu terobosan besar bagi peningkatan mutu kualitas skripsi di Indonesia. Sedangkan yang menolak, saya tidak tahu motivasinya. Kalau dari sisi mahasiswa yang menolak, saya memahami. Maklum, menulis skripsi bermutu memang tidak gampang. Tetapi jika yang menolak adalah seorang yang bergelar guru besar, heran juga. Sebagai guru besar, mestinya dia tahu bukankah penulisan ilmiah yang menyebabkannya dia diangkat jadi guru besar. Jadi ketika ada orang lain dituntut untuk mempunyai kemampuan ilmiah juga, mengapa dia tidak mendukung. Apakah dia ingin status quo permasalahan skripsi ini berlanjut terus. Heran saya. 😦
Kembali ke pokok masalah, ke usulan yang disampaikan pak Limasalle. Saya tertarik dengan usulan beliau : “Secara lebih ekstrim, mungkin bisa dipertanyakan apakah penulisan skripsi dalam arti ilmiah perlu untuk semua mahasiswa S1 sipil ?”
Ini menarik, bahkan dapat diungkap hal baru tentang penulisan skripsi yang dianggap berat karena harus memenuhi persyaratan ilmiah.
Jadi agar tidak memberatkan mahasiswa, maka boleh dilakukan penulisan skripsi secara tidak ilmiah. Betul, begitu ?
Padahal apa sih yang dimaksud dengan ilmiah. Ini tentu yang perlu mendapatkan kesamaan pengertian terlebih dahulu. Kalau ada orang yang berbicara, lalu disebutkan bahwa penjelasannya tidak ilmiah. Apa maksudnya itu.
Jadi kalau orang ngomong tidak ilmiah saja kemudian dipertanyakan. Tidak mendapatkan respons positip, maka apa yang terjadi jika itu juga diaplikasikan pada penulisan skripsi. Apa kata dunia nantinya. Betul khan.
Itu bisa dimaklumi, karena ilmiah ada kaitannya dengan sifat-sifat masuk akal. Dianggap masuk akal karena ada konsistensi pemikiran kita dengan susunan pengetahuan sebelumnya. Dimana susunan pengetahuan tersebut dibuat mengandalkan cara pemikiran rasional dan juga dukungan data empiris yang ada sebagai pembenarannya.
Jika ilmiah adalah seperti di atas penjelasannya, maka yang tidak ilmiah tentu adalah yang kebalikannya, yaitu pemikiran-pemikiran yang tidak harus sesuai dengan pengetahuan sebelumnya, termasuk juga pemikiran yang tidak masuk di akal. Itulah pemikiran-pemikiran non-ilmiah. Pemikiran yang hanya mengikuti kebebasan imajinasi seseorang. Jika menarik perhatian orang, maka disebutnya sebagai tulisan fiksi.
Apakah kita memperboleh hal itu dijadikan pijakan untuk penulisan skripsi ?
Saya kira, kita semua bisa menjawabnya bukan. Bahkan dapat dengan mantap menjawabnya, bahwa penulisan skripsi harus didasari oleh pemikiran ilmiah, agar masuk akal maka perlu menggunakan rasio dengan baik. Juga agar sesuai dengan pengetahuan-pengetahuan sebelumnya maka sebaiknya dapat dibuktikan dengan data-data empiris yang ada. Itulah esensi penulisan yang didasari pemikiran ilmiah.
Ingat, tulisan ilmiah tidak harus dipenuhi oleh rumus-rumus matematik yang njlimet (rigorous), atau data-data untuk pengolahan statistik yang bertumpuk. Bukan itu esensinya. Jadi sebenarnya, bisa juga dibuat suatu tulisan ilmiah yang relatif sederhana. Nah, tentang sederhana atau tidak, tentu tergantung dari pribadi masing-masing, yang jelas hampir semua tulisan ilmiah yang saya buat tidak pernah berisi rumus-rumus matematik yang njlimet, maupun data-data statistik. Itu terjadi karena memang itu tidak diperlukan.
Bagaimana dengan “studi literatur yang mengkompilasi penemuan/pendapat orang lain disertai evaluasi mahasiswanya”.
Ini tentu hati-hati untuk menjawabnya. Yang jelas, studi literatur yang mengkompilasi penemuan / pendapat orang lain disertai evaluasi mahasiswa dapat menjadi salah satu tahapan dalam penulisan ilmiah. Tetapi kalau hanya sekedar itu, maka jelas itu tidak termasuk tulisan ilmiah. Itu hanya sekedar kumpulan informasi tentang penemuan dan sebagainya.
Itu akan menjadi suatu penelitian ilmiah jika dimulai dari permasalahan. Coba saja diajukan pertanyaan, mengapa anda perlu melakukan studi literatur tersebut. Jika itu diperlukan untuk melihat perkembangan suatu rumus dan membandingkannya dengan data empiris yang ada, sehingga dapat diketahui seberapa telitinya rumus-rumus tersebut, maka itu bisa termasuk penelitian. Tapi jika studi literatur tersebut dibuat sekedar memenuhi persyaratan skripsi, maka jelas itu tidak benar. Yang terakhir ini, tentu tidak bisa disetujui untuk disebut tulisan ilmiah.
Jadi kalau mau jujur, untuk disebut ilmiah atau tidak, itu tergantung dari argumentasi yang mendasarinya. Bagaimana orang memberi makna pada suatu masalah. Masalahnya sendiri bisa apa saja, itu hanya sekedar objeknya. Karena memang seperti itulah yang ingin diharapkan dengan adanya mata kuliah skripsi tersebut.
Konsep seperti ini, mungkin belum tentu mendapat persetujuan yang sama dengan dosen yang lain. Untuk mengatasi hal itu, maka aku cenderung untuk menjadikannya sebagai makalah ilmiah, pada seminar atau jurnal yang ada. Tidak sekedar berhenti pada ujian sidang sarjana saja, yang mengevaluasinya hanya segelintir orang, bersifat lokal tersebut. Jadi ketika bisa di publikasikan secara luas, maka orang-orang dapat menilai sendiri, seberapa ilmiah-nya tulisan tersebut.
Saya kira itu pendapat yang bisa disampaikan, berkaitan dengan usulan tentang skripsi di atas.
Salam semua.
Masalah ga setuju itu kalau menurut saya lebih ke cara Dikti yg terkesan memaksakan hanya demi gengsi bukan untuk kualitas pendidikan di Indonesia. Saya setuju skripsi tetap ada.
SukaSuka
Ah masa pak. Saya kira itu tergantung cara memandang saja pak. Untuk yang namanya mutu itu perlu pembanding atau benchmark begitu lho. Jadi dalam hal ini Dikti mengambil benchmark-nya adalah Malaysia. Ini dapat dimaklumi karena dianggap serumpun, yaitu bangsa Melayu. Juga sebenarnya kita ini punya level jauh dibanding mereka, dalam hal kekayaan alam dan jumlah penduduk, tetapi mengapa dalam hal publikasi ilmiah di jurnal international koq kalah. Padahal itu dianggap sebagai kriteria mutu pendidikan secara universal. Maklum, bangsa kita ini khan kadang masih punya mental bangsa terjajah, jadi kalau hanya sekedar dihimbau pasti tidak akan ada yang melaksanakannya. Oleh karena itu dibuat surat (pemaksaan).
Tetapi ternyata melempem juga khan. Maklum ternyata tidak hanya mahasiswanya yang melempem. Pihak dosen, bahkan para profesornya pada menolak juga. Gimana lagi. Ya sudahlah, skripsi-skripsian saja seperti sekarangi ini. Mutunya tergantung individu-individu di institusi tertentu saja yang bisa mempertahankan mutu skripsi tersebut. Yah, status quo sajalah.
SukaSuka
Saya setuju skripsi itu ada pada jenjang S1,disitulah baru tahu kemampuan kognitif mahasiswa dalam menempuh perkuliahan dari semester 1 s/d akhir.Seperti kita ketahui mahasiswa sekarang maunya minta instans.Padahal kita percaya, kalau mahasiswa yang mau berusaha dengan keras dan cerdas dalam bertindak pasti sukses.Kata kuncinya “mahasiswa manja”.
SukaSuka
Waduh saya blum kuliah mas,perlu ga yah 😀
SukaSuka
Menurut saya skripsi itu sangat penting….. kita harapkan jangan sampai suatu sasat di hilangkan….. walaupun sebenarnya saya juga baru mau nyusun skripsinya….. tetapi karena manfaatnya besar, ya tetap harus di dukung……
SukaSuka
thanks mas buat info nya, mungkin boleh juga saya belajar bikin skripsi, salam kenal
SukaSuka
yang kurang di perbaiki,
yang baik di tingkatkan,
semua untuk kualitas, kenapa harus di perdebatkan,?
anda tidak mau maju? Tutup mulut dan lihat kami!
Hidup Mahasiswa!!
#SalutPak
SukaSuka