memilih karir dan jurusan di perguruan tinggi


Menjadi orang tua yang anaknya sudah kelas 3 SMA seperti saya saat ini, tentu akan merasakan bagaimana dapat menjawab secara bijak pertanyaan anak, tentang rencana setelah lulus sekolah.  Jika SMK tentu sudah jelas, yaitu mendapatkan pekerjaan sesuai bidang yang ditekuninya selama ini. Adapun SMA, yang masih umum sifatnya sebagian besar tentu akan bertanya, perguruan tinggi dan jurusan apa yang harus dimasukinya.

Koq pusing sih pak Wir, yang penting masuk UI dulu. Jurusan apa saja deh, yang penting UI. Khan PTN terbaik di Jakarta. Iya khan pak ?!

Jangan salah, ada lho yang memang punya semangat seperti itu. Argumentasinya macam-macam, bisa saja berpikiran bahwa kalau dari SMA langsung cari kerja, maka paling jadi office-boy. Jadi intinya belum siap kerja. Oleh karena itu karena orang tua kerja dan dulunya juga sarjana maka harapannya anaknya juga perlu menyelesaikan sarjana  terlebih dahulu sebelum kerja. Oleh karena itu harus masuk perguruan tinggi. Meskipun saat ini perguruan tinggi negeri juga mahal, tetapi perguruan tinggi swasta yang baik juga mahal pula. Jadi kalau begitu, kalau sama-sama mahal, maka cari perguruan tinggi yang dianggap paling bereputasi. Jadi karena tinggal di Bekasi maka yang dianggap “wah” ya UI tadi.

Tapi koq jurusan apa saja, itu bagaimana pak. Apa bisa dibetulkan itu ?

Tergantung cara berpikirnya dik. Kalau itu untuk karir dari si anak, maka tentu tidak bisa seperti itu. Tetapi pikiran orang tua khan bisa berbeda, mungkin dalam hal ini anaknya seorang putri, juga tahu intelektualnya pas-pasan saja. Bahkan visi kedepannya juga general, seperti misalnya agar hidupnya dapat bahagia. Apapun pokoknya bahagia. Nah punya anak yang seperti itu, maka dari pada orang tua mikir bingung maka keputusannya itu tadi, kalau bisa UI, jurusan apa saja.

Koq bisa pak ?

Maksudnya begini, karena dari anaknya sendiri juga masih bingung, mau jadi apa, maka jika dia dapat bersekolah  di perguruan tinggi yang bereputasi maka harapannya dapat jodoh dari situ juga. Siapa tahu jodohnya orang teknik atau kedokteran. Kalau dari UI kan jaminan. Tul nggak !

O begitu pak. Apakah anak pak Wir juga seperti itu ?

Lain ladang, lain belalang. Setiap orang punya strategi masing-masing dalam mendidik anak. Dalam keluargaku, aku membiasakan untuk selalu dialog. Meskipun acara makan malam bersama setiap hari susah aku lakukan, maklum pulang kerja kadang tidak selalu sama, tetapi acara rutin tiap Minggu setelah dari gereja selalu aku gunakan untuk berdialog dengan anak-anak. Untuk itu umumnya harus keluar modal, maklum makan siang di restoran. 🙂

Dialog selalu aku jalankan sejak si anak sudah bisa diminta duduk mendengar dan berani bertanya, kalau nggak salah itu sudah bisa dilakukan sejak kelas 5 SD. Sejak itu sampai sekarang (SMA),  aku selalu menanamkan bahwa esensi kehidupan orang pada dasarnya adalah “ingin dianggap ada dan diperhatikan“. Tentu ini yang berkonotasi positip, dalam  hal  ini  adalah “menjadi pihak yang memberi daripada diberi“. Jika itu dapat dicapai, maka unsur kebahagiaan dapat mulai terwujud.

Juga dalam setiap ketemu, aku selalu mengatakan kepada anak-anak bahwa  mereka bersekolah tersebut adalah  untuk  dirinya sendiri, bukan untuk orang tua. Untuk apa sekolah, yaitu untuk mengusahakan agar anak-anak  tersebut  dapat dianggap ada nantinya. Jadi sekolah itu adalah bekal yang sangat bernilai yang dapat diberikan orang tua kepada anak-anaknya.

Pada proses pendidikan dasar, apa kriteria keberhasilan sekolah bagi anak, pak Wir ?

Menurut kamu bagaimana ?

Dapat peringkat kelas dan lulus UN pak Wir. Begitu khan pak !

Itu memang petunjuk kuantitas. Tidak salah. Itu pula yang dijadikan kriteria kesuksesan di sekolah-sekolah pada umumnya. Tetapi aku punya petunjuk atau tepatnya kriteria lain, yaitu dengan melihat sikapnya sehari-hari. Cara ini memang perlu kedekatan secara pribadi antara anak dan orang tua.

Sikap yang bagaimana pak ?

Perhatikan, adakah sikap yang optimis, dapat menganggap hal-hal baru yang dijumpai sebagai sesuatu yang “seru”, dan tidak mempunyai ketakutan terhadap sesuatu yang baru tersebut. Kalaupun ada ketakutan dapat diatasi secara mandiri, seperti misalnya takut dapat nilai buruk, dapat  diatasi dengan belajar lebih rajin atau kalau perlu ikut bimbingan belajar lagi. Jika hal-hal kecil seperti itu ada, maka bersyukurlah punya anak seperti itu, meskipun untuk nilai kelas belum termasuk 5 besar. Apalagi jika punya unsur, nggak mau kalah dan mau berkompetisi.

Jadi langkah penting pada pendidikan dasar adalah menanamkan kepercayaan diri untuk tidak takut menghadapi sesuatu yang baru dengan cara mau bekerja keras untuk mengatasinya. Untuk itulah maka aku dalam pendidikan dasar membekalinya juga dengan pendidikan ekstra kurikuler, bisa ambil tarian daerah, bisa olahraga renang, juga bisa dengan latihan main musik (organ). Ketrampilan-ketrampilan seperti itu akan membekalinya untuk lebih percaya diri dibanding teman-temannya.

Selanjutnya jika sudah punya keberanian dan optimisme dalam menghadapi kehidupan ini, lalu aku coba kenalkan orang-orang sukses yang ada untuk dijadikan idola. Dalam hal ini kadang perlu yang membumi, yaitu saudara-saudara yang dianggap sukses. Lalu aku bilang: “kamu mau seperti itu ?“.

Cara yang sama juga aku kenalkan pada saudara atau  kenalan atau  orang yang dikenal, yang dianggap tidak sukses, seperti misalnya masih menjadi beban keluarga meskipun sudah tua dan sebagainya. Lalu aku ulangi lagi  pertanyaan  di atas: “kamu mau seperti itu juga ?“.

Dengan cara-cara seperti itu, si anak ketika SMP saja kadang sudah punya wawasan. Aku kalau besar ingin jadi itu lho pak.

Jika orang tua mendapatkan pertanyaan seperti itu, maka tugasnya adalah membukakan wawasan atau tepatnya resiko atau konsekuensi yang mungkin dihadapi jika berkeinginan seperti itu. Sebaiknya dalam  memberikan nasehat dapat diberikan contoh real.

Jika itu terjadi berulang-ulang pada anak, akhirnya tidak terasa pasti ada kemantapan, ingin jadi apa nanti. Jika demikian maka dalam bersekolahpun akan terjadi penyesuaian. Misal ingin jadi insinyur seperti bapaknya, maka ketika di SMA harus mengambil jurusan IPA dan bukan IPS dan sebagainya.

Ketika langkah-langkah tersebut diterapkan maka ketika akan lulus, si anak akan sudah tahu jurusan apa di perguruan tinggi yang sebaiknya diambil untuk mewujudkan cita-citanya. Jika demikian maka jelas tidak akan ada pernyataan seperti di atas, yaitu yang penting UI adapun jurusannya apa saja deh.

Jadi setelah dapat menetapkan ingin jadi apa nantinya, maka langkah ke dua adalah memilih jurusan yang mendukung dan perguruan tinggi – perguruan tinggi mana yang memiliki jurusan tersebut.

Jadi kalau begitu yang penting jurusan dulu, baru perguruan tingginya ya pak ?

Betul. Jadi kalau kamu nanti mau berkarir di dunia pembangunan fisik, membangun jembatan selat sunda misalnya, maka langkah pertama adalah dapat menjadi insinyur teknik sipil. Untuk itu maka jurusan yang perlu dipilih adalah jurusan teknik sipil, dan ingat nggak harus UI (misalnya). UPH juga bisa koq, he, he, :).

Jadi kalau begitu jurusan sangat penting, sedangkan perguruan tinggi tidak penting ya pak ?

Siapa bilang seperti itu. Bukan begitu maksudku. Perguruan tinggi juga sangat penting. Itu menyangkut lingkungan pergaulan yang akan kamu peroleh. Carilah yang bereputasi, maka kamupun akan ikut bereputasi pula nantinya.

Apakah perlu melihat dari kemampuan anak juga pak ?

Yah tentunya sangat perlu. Tahap ini sebenarnya dapat dievaluasi selama pendidikan dasar. Jadi kalau baru diputuskan pada saat menjelang ujian masuk perguruan tinggi, hanya karena trend teman-temannya saja maka akan gawat. Sebagai contoh, kemampuan visualisasi ruang antara anak satu dengan anak yang lain adalah berbeda. Ini benar-benar bawaan lahir. Biasanya ini dapat dilihat dari test psikologi. Jadi dengan begitu ketika anak dengan visualisasi ruang yang kuat dapat memilih jurusan misalnya arsitektur atau teknik.  Jadi dalam memilih jurusan di perguruan tinggi adalah penting untuk melihat apa yang kuat di dalam diri ini, juga minatnya, yang tentu saja itu semua dihasilkan dari pertimbangan-pertimbangan yang sebaiknya sudah dimulai sejak awal di level SMA. Minimal telah menjadi bahan pertimbangan.

Hal-hal di atas penting adanya, karena sekali memilih jurusan maka sebagian besar waktunya nanti juga umumnya tidak jauh dari jurusan yang dipilih tersebut. Meskipun kadang apa yang direncanakan waktu muda, tidak mesti sama di kemudian hari. Contohnya, ya si penulis ini. Maklum dulu nggak kebayang jadi guru, pikirnya jadi insinyur top seperti Prof. Rooseno. Eh ternyata jadi guru. Begitulah hidup !

5 pemikiran pada “memilih karir dan jurusan di perguruan tinggi

  1. Saya setuju dengan yang penting jurusannya, sesuai dengan minat, walaupun perguruan tingginya juga perlu dipertimbangkan juga. Saya dulu malah gak jelas pas akhir kelas 3, kurang motivasi & kurang minat ke “jurusan favorit”. Untung orangtua saya membebaskan pilihan jurusan, asal jelas motivasinya, yang penting kuliah.

    Suka

  2. Bravo Pak Wir! Seharusnya tulisan ini disebarluaskan ke para orang tua yang masih memiliki anak di bangku sekolah dasar, atau bila perlu diseminarkan. Sebab saya masih sering ketemu pemagang ataupun peserta kerja praktek yang menurut saya kurang maksimal performance-nya karena usut punya usut yang bersangkutan memang tidak berminat di bidang itu. Rata – rata beralasan “karena disuruh orang tua” atau “karena ikut teman – teman saja”.

    Suka

  3. Ping-balik: Jurusan Teknik Sipil di Indonesia dengan Peringkat A (versi BAN-PT) | The works of Wiryanto Dewobroto

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s