nonton Soegija ?


Adanya kebebasan berpendapat dalam era demokrasi yang didukung oleh undang-undang, juga kemudahan serta ketersediaan teknologi informasi di era global seperti sekarang ini, ternyata masih ada kesenjangan dalam memaknainya.

Bayangkan saja, pada satu sisi bagi orang-orang yang melek teknologi informasi, maka mau mencari tahu informasi tentang apa-apa saja, mulai dari bom, tempe, jembatan sangat-sangat panjang, atau bangunan mega-tinggi termasuk orang-orang di dalamnya, baik yang memakai pakaian “brukut” maupun “nudis” (tak berpakaian sama sekali), adalah seperti membalikkan telapak tangan. Mudah sekali. Tetapi di sisi lain, ketika ada seorang pelantun lagu asing yang mau datang, tetapi yang katanya suka berpakaian “wah”, artinya khan masih berpakaian, eh ternyata kena cekal. Dianggapnya itu nanti akan dapat merusak moral anak-anak muda penerus bangsa ini. Tidak sesuai dengan moral “kita“.

Memang susah kalau berkaitan dengan keyakinan. Meskipun rambut sama-sama hitam, tetapi pendapat bisa berlain-lainan. Itu sebenarnya syah-syah saja. Hanya sayang, jika itu dikembangkan dengan sikap represif, dengan mengatas namakan dukungan massa. Itu memperlihatkan bahwa yang namanya kebebasan berpendapat yang ada, sebenarnya semu.

Di sisi lain, diperlukannya dukungan massa untuk meng-goal-khan pendapatnya, menunjukkan bahwa pendapat yang dimaksudkan tersebut adalah lemah. Tidak kuat. Atau bisa juga, yang punya pendapat tersebut sebenarnya diragukan legitimasinya, khususnya dalam kancah yang lebih luas daripada golongannya saja.

Maksudnya bagaimana pak ?

Begini nak. Seorang tua tentunya berkeinginan kuat agar anak-anaknya berbahagia. Oleh karena itu, mereka cenderung memberi nasehat dan petuah yang baik bagi anak-anaknya tersebut. Pihak-pihak yang tidak suka dengan kedatangan pelantun asing tersebut juga bertindak dalam rangka seperti itu. Tidak dapat disangkal lagi, motivasi seperti ini yang akan disampaikan kepada publik (meskipun juga tidak menutup kemungkinan motivasi yang lain).

Tetapi orang tua yang baik, yang masih dihormati anak-anaknya, maka dalam menyampaikan nasehat dan petuah itu tentu cukup dilakukannya sendiri. Nggak perlu melibat-libatkan pihak ke-3. Jika perlu melibatkan pihak ke-3, itu menunjukkan bahwa legitimasi orang tua di mata anak-anaknya itu tentu sudah tidak kuat lagi, bahkan ada yang sampai sudah tidak ada. Dalam hal ini tentu perlu dipertanyakan, apakah pihak-pihak yang menolak tersebut memang punya legitimasi. Ini perlu diungkapkan karena kalau memang ini adalah era kebebasan berpendapat, maka peristiwa-peristiwa seperti kedatangan pelantun asing tadi tentu tidak akan berhenti sampai di situ. Pasti akan ada lagi, baik yang terinformasi baik ke publik maupun yang tidak. Apakah itu harus selalu disikapi secara represif dan heboh. Tentu tidak khan.

Maklum pak, kita khan butuh hiburan, butuh sesuatu yang baru. Sinetron-sinetron yang berseliweran saat ini khan sangat monoton, banyak yang nggak mendidik. Apakah pak Wir punya usulan film atau apa kek yang patut ditonton ?

O kamu perlu hiburan, mau nonton film ?

Betul pak, tapi yang bermutu, yang dapat menjadi suatu penambah wawasan dalam menjalani kehidupan ini nantinya. Kita butuh figur !

Wah, kalimatmu penuh hikmat. Jika memang motivasimu seperti itu, maka aku mengusulkan film “Soegija” karya Garin Nugroho yang sebentar lagi akan diputar di bioskop-bioskop 21 di Jakarta. Ini posternya.

Ini film yang mungkin agak berbeda dari film-film yang biasa. Meskipun terkesan ada unsur peperangan, tapi ini bukan film perang. Meskipun ada kesan, bahwa di film ini juga menampilkan sosok uskup Katolik Indonesia yang pertama, tapi ini bukan film tentang agama.

Lalu kalau begitu ini film tentang apa pak Wir. Bukankah poster-posternya juga di sebar di tiap-tiap gereja-gereja Katolik di Jakarta ini. Kemarin sewaktu misa, aku mendapatkannya. So . . . .

Yah, seperti itulah yang terjadi. Meskipun katanya kita ini di era kebebasan berpendapat, tetapi kalau pendapat itu sedikit menyinggung nama agama tertentu, langsung kupingnya mengeras.

Begini dik. Tadi adik mau suatu film yang dapat memberi wawasan, yang berguna bagi perkembangan karir dan kehidupan adik sendiri. Apa artinya itu.  Artinya, jika karir dan kehidupan adik berkembang, maka adik minimal dapat mandiri. Jika berkembang lagi, maka adik dan keluarganya nanti bisa mandiri juga. Jika terus berkembang, maka tidak hanya adik dan keluarga adik juga, tetapi bahkan dapat membuat mandiri lingkungan di sekitar adik, jika terus dikembangkan maka mestinya akan memberi berkat bagi masyarakat luas dan akhirnya bangsa ini. Itulah esensi pengembangan diri, yaitu menjadi berkat.

Untuk menjadi seperti itu, bagi orang picik banyak saja alasan yang menyangsikannya, seperti maklum IQ-ku hanya 105 nggak seperti ibu Sri Mulyani yang ber-IQ 140. Beliau khan super. Juga ada yang pesimis, coba aku orang Inggris, pasti deh bahasa Inggrisku baik, nggak seperti sekarang ini dilahirkan di Jawa, jadi bahasa Inggrisku acang-adhut.

Adanya pikiran-pikiran seperti itulah yang membuat orang sulit berkembang, bukan faktor luar, tetapi dari dalam diri sendiri.

Nah dalam film Soegijo nanti akan dapat dilihat, bagaimana sosok tersebut bertindak dan bersikap dalam era masa-masa awal kemerdekaan. Bayangkan saja, si Soegijo ini khan sebenarnya orang dalam kelompok minoritas (Katolik), tetapi di satu sisi dia sudah punya kuasa, minimal dalam kelompok minoritas tersebut, yaitu jadi Uskup. Jadi kalau dia berpikir untuk diri sendiri saja, maka sebenarnya jika dia tidak bersikap apa-apa, itu akan lebih aman. Banyak khan orang saat ini yang memilih sikap ini. Cari aman.

Tetapi yang anehnya, si Soegijo waktu itu memilih prinsip “100% orang Katolik dan 100% orang Jawa“, dengan sikap seperti itu maka dia yang orang Jawa tulen, memilih dan mendukung republik ini, dan bukan bangsa Belanda. Padahal, kalau milih Belanda dengan Katolik-nya itu maka tentu akan dihormati pula dia, artinya nggak masalah, lebih aman pada waktu itu (masa awal Republik ini).

Lho emangnya dia punya peran pada Republik ini pak Wir ?

Nah itulah yang perlu kamu tahu. Si Soegija tersebut, yang memang jelas tidak bisa mengandalkan senjata seperti para pejuang kemerdekaan pada umumnya, ternyata oleh Bung Karno, dia dianugerahkan Pahlawan Nasional RI, berdasarkan SK Presiden RI no 152 tahun 1963 tertanggal 26 Juli 1963.

Itulah yang aku maksud luar biasa. Nonton sajalah, siapa tahu nanti kamu akan jadi pahlawan juga, minimal di keluargamu. Tuhan memberkati.

Informasi lain tentang Soegija :

7 pemikiran pada “nonton Soegija ?

  1. Sepertinya tidak banyak yg tahu tentang pahlawan kita yg satu ini Pak. Bagus juga ada yg menjadikannya film. Semoga tidak ada yg keberatan apalagi sampai mencekalnya.

    Suka

  2. Nando Purba

    Saya sering mengikuti posting-postingan bapak.
    Sangat inovatif, kreatif dan membangun.

    Menurut saya, bapak mampu menjelaskan situasi publik yang terjadi saat ini dengan bijaksana. 🙂

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s