Menjadi dosen di era saat ini memang berbeda dari jamanku dulu ketika kuliah. Saat sekarang ini sudah tidak aneh lagi ada sebutan dosen profesional, yaitu dosen yang mempunyai sertifikasi pendidik yang dikeluarkan oleh DIKTI. Jamanku dulu jelas sebutan seperti itu tidak ada. Memang, di dalam satu kampus, tidak semua dosen mempunyai sertifikasi pendidik seperti yang aku maksud. Mengapa, karena quota-nya ditentukan oleh pemerintah.
Jadi istilah dosen profesional di atas jelas berbeda dengan istilah insinyur profesional, yang saat ini juga sedang ramai dibicarakan.
Jika insinyur profesional diperoleh dari kerja keras sarjana teknik yang ingin meraihnya, yaitu dengan harapan agar mendapatkan selembar pengakuan dari keanggotaan profesi akan kompetensinya. Tentu dimaksudkan agar sang insinyur profesional ini akan mendapatkan gaji yang sepadan. Maka kalau dosen profesional adalah tidak demikian, bahkan sebaliknya. Itu diberikan dari pemerintah kepada perguruan tinggi, untuk diberikan kepada dosen yang oleh pihak perguruan tinggi dianggap berkontribusi pada kualitas institusinya. Oleh sebab itu, quota dosen profesional diberikan kepada dosen dengan “pangkat akademik” yang paling tinggi, terus ke bawah, dan jumlah atau quotanya dibatasi.
Pembatasan quota itu terkait dengan tunjangan pemerintah yang akan diberikan.
Wah enak ya pak, kalau begitu gajinya ganda. Dapat dari kampus dan dapat dari pemerintah (DIKTI).
Itulah yang aku bilang berbeda dengan insinyur profesional. Tetapi perlu juga diperhatikan bahwa pepatah “tidak ada makan siang gratis” ternyata juga berlaku. Dosen-dosen yang “beruntung” mendapatkan jatah “dosen profesional” tersebut setiap semester dituntut untuk melaporkan kegiatannya sebagai dosen profesional, yaitu “tridharma perguruan tinggi : [1] pendidikan & pengajaran; [2] penelitian & publikasi ilmiah; [3] pengabdian masyarakat.
O ya, jatah dosen profesional hanya diberikan pada dosen tetap di kampus saja. Jadi jaman sekarang, menjadi dosen tidak tetap, yaitu mengajar di mana-mana, sudah tidak menguntungkan lagi. Apalagi di Jakarta, yang lalu-lintasnya amburadul. Bisa tekor. Nah dosen yang seperti aku, yang hanya menetap di kampus, full-time, dengan kebijakan seperti itu tentu saja menguntungkan. Aku bilang menguntungkan karena ketiga kegiatan dari tridharma perguruan tinggi itu memang selama ini aku jalani, yaitu dalam rangka memuaskan hobby-ku dalam tulis menulis khan.
Emangnya ada juga dosen yang merasa tidak diuntungkan pak ?
Ada juga lho, biasanya itu dosen-dosen yang senangnya hanya mengajar saja, waktu lain mereka gunakan untuk “bisnis”. Jadi ketika dibandingkan antara tunjangan yang diterima dari pemerintah (konsekuensi sebagai dosen profesional) yang harus diimbangi dengan kewajiban tridharma perguruan tinggi, sehingga waktunya tidak bisa lagi untuk berbisnis maka mereka bilang “rugi”. Maklum, karena tidak bisa dalam hal penelitian dan penulisan ilmiah, maka mereka merasa effort yang dilakukan tidak “cucug” dengan pendapatan yang diperoleh dari tunjangan tersebut. Bahkan ada juga yang karena merasa keberatan untuk memikirkan tentang penelitian, maka ada dosen yang merasa lebih baik tidak menerima tunjangan tersebut. Aneh juga ya.
Artinya, adanya tunjangan bagi dosen juga telah memicu upaya pengembangan diri dosen tidak sekedar mendidik dan mengajar saja. Lebih baik khan.
Perkembangan lebih lanjut, perubahan strategi pengajaran di pendidikan tinggi ternyata tidak hanya mempengaruhi dari sisi pengajarnya. Pemerintah saat ini telah mengeluarkan standar yang lebih ketat dan berat lagi, yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri No. 49 tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Jika belum pernah membacanya, silahkan download di sini (PDF 312 kb).
Salah satu ketetapan yang mempengaruhi dosen adalah untuk bisa mengajar di level S1 maka harus punya ijazah magister (S2) dan pengalaman tidak diutamakan. Nah kasihan ini, dosen-dosen yang masih bergelar S1 pasti akan kelabakan.
Kecuali hal itu, lama waktu studi S1 dan jumlah sks pada level S2 dan S3 mengalami perubahan. Lama waktu S1 saat ini tidak boleh kurang dari 4 tahun. Nah lho, yang ingin cepat-cepat lulus, nggak bisa lho. Ini kalau ingin melihat detailnya, di halaman 11 sbb:
Jumlah SKS untuk level S1 tidak ada perubahan, hanya waktu belajar tidak boleh kurang dari 4 tahun. Juga ada penambahan waktu untuk S2, yaitu dari 1.5 tahun (minimum) sampai 4 tahun.
Mengacu pada pengalamanku selama ini, maka adanya ketentuan jumlah SKS dari level S2 yang ditingkatkan tentu saja aku rasakan sebagai penambahan beban. Maklum, aku dulu mengambil pendidikan S2 adalah dari sisa-sisa aku bekerja. Jamanku dulu jumlah SKS untuk S2 adalah 36 sks, jadi saat ini ada penambahan hampir dua kali lipat. Padahal tahu sendiri khan, bisa sekolah itu ditentukan dari jumlah sks yang diambil. Jadi dengan waktu yang lebih lama dan jumlah sks yang lebih banyak, maka biayanya jadi bengkak. Kesimpulan yang aku berikan dengan adanya peraturan menteri tersebut adalah menambah beban rakyat.
Lho pak Wir, tapi mutu lulusannya akan meningkat lho. Apalagi sekarang ada ketentuan IP kelulusan ditingkatkan. Untuk level S1 lulus jika IP 2.75 dan untuk S2 minimal IP 3.00. Negara kita akan lebih maju. Ini lihat pak ketentuannya.
Memang, kalau melihat hal di atas seakan-akan terlihat ada peningkatan mutu. Tetapi aku yakin sekali kasusnya seperti nilai uang 1000 di jamanku dan di jaman sekarang. Kelihatannya angka nominalnya sama, tetapi jelas nilainya berbeda. Akan terjadi devaluasi nilai IPK.
IPK khan penting pak. Kualitas seseorang khan dapat terlihat dari IPK-nya tersebut.
Bagi awam mungkin begitu. Tetapi menurutku IPK bukan segala-galanya. Ada yang lebih penting dari itu. Sebagai gambaran, IPK waktu aku kuliah dulu jelas kurang dari 2.75. Di jamanku dulu, batasan S1 agar dapat lulus adalah IPK 2.00 itu berarti jauh dari batas yang ditetapkan sekarang.
Menurutku yang membuat pendidikan di jaman sekarang ini mutunya menurun adalah adanya pendapat bahwa guru yang memberi nilai rendah maka yang salah adalah gurunya, bukan siswanya. Contoh simpel, semua sekolah diharapkan memberi nilai kelulusan 100%, karena jika ada yang tidak lulus yang disalahkan adalah gurunya. Jadi karena guru takut disalahkan, maka ya sudah diberi nilai yang membuat lulus. Kasus seperti ini, pernah aku alami. Ada orang tua yang datang ketika anaknya aku nilai tidak lulus.
Ok, rasanya cukup panjang. Yang jelas adanya ketentuan baru dari DIKTI di atas perlu dicermati secara serius bagi kita semua. Ini berkah atau musibah bagi kita, silahkan berbagi pendapat. << serius mode ON>>









Tinggalkan Balasan ke Yoseph Hendrik Batalkan balasan