Ada yang pernah dengar pepatah jawa berikut : “krambil sajanjang mesti wae ana sing gabug“, artinya bahwa dari satu tundun kelapa (yang terlihat bagus dari luarnya), wajar saja jika ada satu kelapa yang kosong / nggak ada isinya (nggak berguna). Saya mencoba mencari di internet (google) tetapi koq nggak ketemu. Jadi saya mencoba membahasnya di sini, siapa tahu ada yang pernah mendengarkannya.
Pepatah itu aku dengar disampaikan oleh seorang sesepuh yang dihormati, beliau pada saat menyampaikan itu sudah berusia di atas 80 tahun. Kehidupan beliau sampai usia tersebut patut dijadikan teladan, secara fisik masih sehat bahkan bekerja dan menghasilkan uang, tidak kekurangan sesuatu materipun, dapat disebut keluarga sukses, dan patut diteladani. Peribahasa yang beliau sampaikan itu untuk memberi gambaran akan kehidupan seseorang, bahwa dalam suatu keluarga besar yang orang tuanya sukses pun, maka bisa saja terjadi kehidupan anak-anaknya ternyata tidak sesukses bapaknya. Bahkan bisa-bisa ada yang disebut gagal, tidak mandiri dan menjadi beban keluarga.
Dalam menyampaikan hal itu, bahwa beliau menyakini bahwa biasanya dalam suatu keluarga besar (yang orang lain menganggap sukses) maka pasti mempunyai anggota keluarga yang bermasalah. Saya tertarik dengan pernyataan beliau akan kata pasti di atas. Pada satu titik tertentu, saya merasa nggak terima akan hal itu. Kata pasti mestinya sekedar untuk menunjukkan sifat mayoritas, 90 prosen lebih, begitu maksudnya.
Pernyataan beliau itu aku jadikan hipotesis (dugaan) dan selanjutnya aku coba aplikasikan pada keluarga-keluarga yang aku kenal. Nyatanya, ada-ada saja anggota keluarga yang dapat dianggap “tidak mandiri” alias menjadi beban atau pemikiran keluarga. Padahal dari latar belakang keluarga yang diamati itu jelas secara finansial tidak kekurangan.
Tidak hanya itu saja, hipotesis itu aku sampaikan juga ke mahasiswa yang kebetulan berinteraksi empat mata. Pertama aku sampaikan hipotesis di atas, selanjutnya apakah itu juga berlaku pada anggota keluarga besarmu. Ternyata banyak yang mengamini.
Selanjutnya aku mencoba mengamati, anggota-anggota keluarga yang dianggap tidak sukses tersebut. Penyebabnya bukan karena tidak sekolah tinggi, bukan itu. Ada yang selama ini dianggap tidak mandiri ternyata adalah sarjana PTN. Jadi faktor sekolah bukan menjadi penyebab. Hanya saja ada kesamaan yang aku dapat, yaitu karakter yang tidak percaya diri, mudah tersinggung jika diberi tahu tidak sesuai hatinya, bahkan cenderung bandel tidak memperhatikan nasehat orang lain. Mau menang sendiri dan semacamnya. Jadi kelihatannya masalah karakter yang menyebabkan ketidak-suksesan tersebut.
Apakah pepatah di atas juga berlaku di tempat saudara ?
Pak Wiryanto, bagaimana cara membagi waktu antara keluarga (istri dan anak2) dengan menulis buku tebal2, mengajar, riset, desain struktur, dll pak? Saya masih lajang tapi sudah keteteran membagi waktu untuk belajar, riset, dan mengurus pacar. hehehe. Mohon nasehatnya dr sesepuh. Matur nuwun Pak.
SukaSuka
Itu sebenarnya sederhana, kata kuncinya adalah pada pasangan hidup anda.
Jika anda mendapatkan pasangan hidup, yang mempunyai kapasitas atau tepatnya kapabilitas yang lebih tinggi atau minimal sama dengan anda. Seseorang yang pada dasarnya adalah mandiri dan memutuskan berkeluarga, bukan karena sekedar untuk menopang hidup, tetapi adalah untuk suatu kebersamaan untuk menggapai cita dan cinta masing-masing.
Akibatnya, berkeluarga itu adalah saling mengisi, sebagaimana terjadi pada sepasang kaki dan tangan yang sedang menaiki tangga. Jadi ketika kaki yang satu diangkat (tidak ada dudukan) akan dibantu oleh kaki satunya yang menampak tangga. Hidup menjadi terasa ringan, ketika waktu berlalu tidak terasa anda akan mencapai puncak.
SukaSuka