Dosen mengeluh, bolehkah ?
Mengeluh itu menyampaikan beban batin. Jadi ketika mengeluh, rasanya lega. Hanya saja dengan mengeluh, kondisinya belum tentu bertambah baik. Maklum, mengeluh itu bukan tindakan yang nyata. Akibat mengeluh, ada kesan bahwa yang mengeluh itu pasti orang yang merasa kecewa akan sesuatu. Kecewa adalah sesuatu yang tidak enak di hati. Itu membuat tidak bahagia. Oleh sebab itu, kalau mengeluh pilih-pilihlah kepada siapa orangnya, agar ada bantuan, minimal arahan yang lebih baik agar dapat dilakukan tindakan. Jangan sembarangan mengeluh pada orang. Jika salah, maka bukannya dapat empati, atau nasehat agar tuntas masalahnya, tetapi nyinyiran yang membuat tambah kecewa.
Kesimpulannya, sembarangan mengeluh pada orang akan membuat orang tidak bahagia. Itulah mengapa banyak nasehat mengatakan agar hidup itu selalu bersyukur.
Bapak mengeluh apa ?
Itu, saya koq sebel kalau membaca tulisan atau komentar yang ditulis di grup dosen, khususnya di Facebook. Sebagian besar isinya koq mengeluh. Saya berpikir, ini grup dosen atau grup buruh. Dosen itu jelas berbeda dari buruh. Menurut saya, menjadi dosen adalah pilihan profesi bebas dari seseorang yang mandiri dan istimewa, yang punya pikiran bebas dan merdeka dalam menentukan kehidupannya agar berbahagia. Berbeda dengan buruh, yang karena kebutuhan hidupnya maka harus cari pekerjaan (apa saja) agar bisa bertahan hidup.
Kalau dosen khan jelas tidak seperti itu. Untuk menjadi dosen pertama-tama tentu harus memilih bidang keilmuan yang akan digeluti, nggak sembarangan. Juga dalam penguasaan ilmu, tentu harus mempunyai rasa “lebih” dibanding lainnya, sehingga mampu mengajarkan dengan mantab. Oleh sebab itu, ketika memilih menjadi dosen, tentu harus menyesuaikan antara lowongan (yang membutuhkan) dengan kompetensi yang kita miliki. Kalau nggak pas, maka tentu tidak bisa dipaksa. Apalagi kalau alasannya karena kebutuhan hidup yang mendesak. Jika yang terakhir itu motivasinya menjadi dosen, maka tentu saja selanjutnya persis seperti buruh. Jadi jika nantinya kalau sampai organisasi dosen, berperilaku seperti organisasi buruh, maka kondisi kampus kita memprihatinkan.
Jujur saja, ketika saya masuk dulu jadi dosen di UPH (tahun 1998). Cara berpikir saya adalah seperti di atas. Saat muda dulu, ketika lulus dari Jurusan Teknik Sipil UGM, jujur nggak ada kepikiran untuk hidup menjadi dosen. Waktu mahasiswa dulu, merasa menjadi dosen itu gajinya kecil. Selain itu saya ini orangnya introvet, malu atau nggak menikmati berdiri di depan kelas, dihadapan orang banyak. Hanya saja memang, jiwa mengajar sudah ada. Mungkin karena orang tua yang juga suka mengajar sebagai hobby (maklum waktu itu beliau menjadi salah satu pejabat tinggi di perusahaan besar di Yogyakarta), bahkan kata beliau dianggap sebagai salah satu pendiri PTS di Yogyakarta. Dulu waktu dies natalis katanya sering diundang ke kampus dan foto beliau terpampang di salah satu ruang PTS tersebut.
Jujur, saya menikmati mengajar. Jadi ketika bekerja di PT. Wiratman (1989-1994) maka di waktu sore merangkap juga sebagai asisten dosen di Universitas Tarumanagara. Itu saya lakukan bukan karena kekurangan duit atau untuk mencari tambahan gaji. Itu karena senang karena bisa menjadi bagian kampus, bisa ke perpustakaan dan membaca buku. Maklum slip gaji yang didapat dari mengajar pada waktu itu relatif kecil, dan dikirimnya saja setiap semester. Tapi saya happy-happy saja waktu itu.
Karena senang mengajar, dan menggeluti bidang ilmu. Alasan yang terakhir itu bukan agar IP-nya bagus, tetapi karena sewaktu bekerja di konsultan dulu, kalau punya ilmu maka bisa dapat side-job. Orderan pekerjaan perencanaan (nambah uang saku). Jadi ilmu-ilmu yang saya pelajari dari dulu adalah ilmu-ilmu yang “laku”. Termasuk juga motivasi mengambil S2 di tahun (1994-1998), yaitu agar bertambah ilmunya dan bisa mandiri buka konsultan sendiri (waktu itu).
Untung tidak dapat diraih, malang tidak dapat ditolak. Saat lulus S2, yaitu tahun 1998 terjadilah krisis. dan perusahaan konsultan tempat bekerja kena imbas. Hanya saja pada waktu itu secara keilmuan, saya sudah merasa pada tingkat pede. Waktu itu baru saja sukses merencanakan dan membantu pelaksanaan PT. L&M untuk proyek silo PT. Semen Cibinong, silo clinker bentang 60 m dengan atap kerucut baja tanpa kolom. Waktu itu, contohnya mengambil dari PT. Semen Nusantara di Cilacap yang didesain konsultan luar. Hanya saja nggak tahu kenapa, saya nggak mau contek persis. Saya ambil ide saya sendiri yang dikonsultasikan dengan konsultan owner (orang jepang). Akhirnya sukses, dan ternyata dapat kabar bahwa desain yang di Cilacap tidak berhasil mencopot tumpuan sementara waktu konstruksinya. Jadinya yang bebas kolom hanya yang di Cibinong, desain saya. Bayangkan, pada masa muda dulu jelas ilmu struktur baja yang saya miliki masih terbatas, tetapi ternyata mampu juga. Karena memang pada waktu itu rasanya sudah berilmu tinggi. << terlalu pede >>
Dengan kepedean itulah maka ketika ada krisis, dan mendengar bahwa jurusan teknik sipil UPH membutuhkan dosen (maklum akibat kritis, dosen-dosennya pada pindah ke luar negeri), maka saya bersemangat dan berani melamar jadi dosen. Apalagi melihat bidang mata kuliah yang dibutuhkan, ternyata pas. Jadilah saya bekerja dan bertumbuh di situ, sampai menjadi GB seperti sekarang ini.
Jadi tentunya bisa dipahami mengapa saya hanya memegang mata kuliah praktis, seperti : mekanika teknik, analisa struktur, struktur beton (jadi asisten Prof Harianto Hardja), struktur baja, komputer rekayasa struktur, bahasa pemrograman, struktur kayu.
O ya selama bekerja di kampus, jabatan tertinggi birokrasi hanyalah sampai sekretaris program S2. Kerjaan utama adalah menghubungi dosen baru dan promosi. Itupun rasanya tidak ada yang bisa dibanggakan. Saya merasa pekerjaan birokrasi bukan bidang saya. Itu ada dipikiran saya sejak lama. Jadi ketika ada pilihan untuk masuk birokrasi, saya cenderung menolak. Waktu itu ditanya juga oleh istri. Saya jawab, itu nggak cocok dengan karakter saya yang introvet, yang nggak suka ketemu orang. Saya lebih senang ngulik sendiri. Lho koq berani mengajar.
Ini memang kontraversi. Satu sisi sudah senang mengajar, tetapi satu sisi kalau berdiri di atas panggung, “dredeg / takut / keringatan”. Itu masalah ketika muda dulu, saat baru merasa jadi dosen. Itu adalah beban masalah saat muda. Jika dulu sudah ada grup FB, maka itu keluhan saya jika bisa dituliskan. Tetapi bukan gaji lho.
Dalam perjalanan waktu, akhirnya permasalahannya teratasi. Menarik juga kalau menceritakan tentang mengatasi masalah “dredeg / takut / kringetan” itu. Karena jika hal tersebut tidak teratasi, maka jelas jabatan GB tidak bisa terkejar. Nggak bisa membayangkan seorang GB dredeg ketika di atas panggung.
Pada masa itu (ketika muda), dan mempunyai masalah dredeg / takut / kringetan, tentunya menarik untuk mencari tahu bagaimana cara mengatasinya. Maklum itu penyakit kepribadian. Setelah merenung, ikut berbagai acara pengembangan diri dan motivasi. Membaca banyak buku non-teknis. Akhirnya dari diri sendiri dapat mengetahui bahwa itu semua pada dasarnya adalah akibat minder atau tidak percaya diri. Pantas kalau ada acara-acara ketemu dengan dosen pada waktu itu, tidaklah terlalu menikmati. Nggak pede. Sekarang juga kadang masih terjadi, khususnya jika ketemu dosen di luar bidang keilmuan atau ketertarikannya.
Bayangkan saja, saya itu lulusan SMA favorit di Jogja (sampai sekarang juga masih lho), juga kuliahnya di UGM (the best-nya Jogja), juga alumnni kantor konsultan besar di Indonesia, dan terbukti bisa mandiri pegang proyek ketika pindah ke konsultan lain yang lebih kecil. Tetapi ketika masuk menjadi dosen muda di UPH (sekitar tahun 1998-2000), ternyata masih saja tidak pede. Masih minder. Saat itu merasakan, bahwa ada sesuatu yang perlu diatasi. Adanya kesadasaran seperti itu ternyata sangat penting. Itu bisa terjadi dengan m udah karena saya seorang introvet (seorang penyendiri dan pemikir). Pada satu titik tertentu, karakter yang saya punyai itu, ternyata sangat membantu. Jika ekstrovet, hapy-hapy saja maka tentu tidak ada perubahan yang perlu saya lakukan. Tetapi karena merasa ada hal yang bermasalah, maka dimulailah dari situ. Ini yang disebut timbulnya kesadaran diri. Perasaan seperti itu tentunya juga dialami oleh banyak anak muda dalam rangka mencari jati diri. Ada yang kebetulan langsung dapat, ada yang tidak mendapatkan karena tidak tahu apa yang akan dicari dan macam-macam.
Ini tidak tentang dapat gaji besar dapat beli rumah atau mobil. Bukan itu lho. Banyak orang yang terjebak bahwa tujuan hidup adalah hal itu. Itu hanya sarana, bukan tujuan.
Dalam perjalanan mencari jati diri, atau secara praktis adalah menemukan solusi terhadap permasalahan “dredeg / panik / ketakutan”. Saya mendapatkan pengetahuan atau pemahaman tentang “alam bawah sadar” dan “alam sadar” dari sebuah buku terjemahan berbahasa Indonesia. Yang menyatakan hahwa hal itu sangat berperan sekali dalam menentukan kesukesan seseorang., termasuk seseorang menjadi minder atau tidak, menjadikan seseorang percaya diri atau tidak. Tentu saja itu hal baru bagiku. Maklum selama pendidikan formal, pemahaman tentang hal itu, aku tidak pernah dapat. Diceritakan juga bahwa pembentukan tentang alam bawah sadar dan kemampuan mengaksesnya (secara tidak sadar) banyak dipengaruhi oleh interaksi informal personal. Saya yang orang introvet, yang tidak senang ketemu orang, tentu tidak mendapatkan banyak manfaat. Itu pula jawaban mengapa seseorang yang aktif berorganisasi pada waktu muda, maka jarang mendapatkan permasalahan yang aku hadapi.
Kesadaran tentang hal itu, baru aku dapat ketika berumur sekitar 35 tahun, setelah lulus S1(UGM) dan S2 (UI). Aneh memang, tetapi faktanya adalah seperti itu. Salah satu terapi bawah sadar untuk hal-hal yang positip adalah berpikirlah positip. Ini khan suatu petunjuk yang umum, yang banyak orang mendengung-dengungkan sesuatu. Hindari berpikir negatif. Ini khan sudah jelas, dampak dari positip adalah jangan berpikir negatif. Bagaimana caranya, adalah dengan memilih kata-kata positip. Maklum kata-kata atau tulisan adalah dampak pikiran. Oleh sebab itu mulailah hal itu. Penjelasan ini khan jelas sudah diajarkan oleh orang tua kita dulu. Ini pula yang kadang membuat prihatin ketika membaca komentar di media. Banyak sekali orang yang berkata-kata atau berkomentar negatif. Itu menunjukkan isi pikiran mereka.
Salah satu petunjuk terapi bawah sadar itu dengan berpikir positip itu adalah mengelola keyakinan. Dikatakan dengan keyakinan itulah maka alam bawah sadar kita itu akan bekerja dengan baik.
O ya, bahwa pada saat menemukan kesadaran di atas, saya masih S2 lho. Pada waktu itu nggak pede untuk ambil sekolah S3, berat rasanya. Jadi dalam mempraktikkan pengelolaan bawah sadar itu, mulailah dengan mengelola keyakinan, membayangkan apa yang diharapkan nantinya. Tentang yang saya bayangkan, lucu juga. Karena saya dibesarkan dengan budaya Jawa yang dekat dengan dunia pewayangan, apalagi nama belakang saya adalah nama kecil resi Bisma, yaitu Dewabrata. Karena a untuk orang jawa kurang mantap maka diganti Dewobroto. Saya membayangkan menikmati jadi pendita guru, seorang wasis di puncak gunung, petapa sakti yang penuh dengan kearifan dan dihormati orang. Itu bayangan saya saat muda dulu. Untung bukan bayangan 72 bidadari ya. Gawat itu.
Bayangan itu tentunya abstrak. Langkah yang real pada waktu itu, karena saya masih S2 adalah berani ambil S3. Belum tahu mau kemana waktu itu. Jadi saya ingat sekali, saya bilang ke istri, bahwa saya mau menerapkan strategi mengelola alam bawah sadar itu dengan tujuan untuk meraih atau mencapai gelar doktor. Memang sih, waktunya tidak cepat. Tetapi yang jelas sebelum 40 tahun saya sudah masuk program doktor di UNPAR. Bayangkan lima tahun sebelumnya nggak kebayang ambil program tersebut, dan masih takut, ternyata dengan mengelola pikiran, akhirnya berani juga. Strategi itu pula yang saya gunakan untuk menulis buku dan juga meraih GB.
Jadi kalau hanya mengeluh saja, maka tentunya itu semua tidak tercapai. Kita dosen itu tidak perlu bekerja ramai-ramai, kita bukan buruh. Kita itu mandiri, kita bisa rubah dunia berdasarkan pemikiran kita. Jika kita punya pikiran besar yang bermanfaat tentu orang akan terpengaruh .
Kata kuncinya, adalah kelola pikiran agar punya kepercayaan diri. Jika itu diperoleh maka raihlah ilmu setinggi-tingginya. Agar ilmu yang diraih berdampak positip, maka ujilah ilmu tersebut ke masyarakat. Jika bermanfaat simpan, jika tidak buang saja dan ganti dengan ilmu lain yang bermanfaat. Itu semua dapat dengan mudah dilakukan jika kita seorang dosen. Jadi kalau masih jadi dosen dan mengeluh gajinya sedikit, maka mulailah berpikir untuk ganti profesi yang lebih baik. Jika tidak berani, karena takut nggak dapat gaji lebih baik, maka sadarlah bahwa anda itu hanya seorang buruh. Buruh mengajar, bukan seorang guru dalam arti “digugu dan ditiru”. Titik.
Terimakasih ilmunya Bapak….sangat menginspirasi
SukaSuka