Thread ini adalah hasil pengembangan dari thread sebelumnya, tentang perencanaan struktur baja dengan ETABS. Ini dipicu oleh pendapat sdr Ananto Satyabudi sebagai berikut:
Apakah untuk memodelkan bangunan bertingkat struktur baja, lebih aman jika pelat beton lantainya diabaikan. Hanya dianggap beban saja ?
Note : pertanyaan asli sengaja diedit, agar lebih enak (menurutku lho).
Pertanyaan hanya valid untuk pemodelan struktur 3D dengan ETABS. Untuk program lain yang tidak punya opsi sama, belum tentu cocok. Program ETABS sudah aku kenal 30 tahun lalu ketika bekerja di PT. Wiratman. Tentunya program tersebut sekarang semakin canggih. Saat dulu masih sering otak-atik program tersebut, opsi pemodelan lantai belum secanggih sekarang. Jadi thread sekaligus untuk mengkalibrasi pengetahuanku, apakah sudah perlu di up-dated.
Seberapa canggih ETABS dengan model 3D-nya tentunya bisa dilihat dari gambar-gambar model dan hasil analisisnya (di ambil dari website-nya), sebagai berikut.
Dengan data di atas, selanjutnya akan dianalisis berdasarkan pengetahuan, pemodelan struktur yang pernah aku tuliskan menjadi buku berjudul “Komputer Rekayasa Struktur (2013)“. Jika anda penasaran dengan isi buku tersebut, silahkan mengunjungi http://lumina-press.com. Masih ada stock koq.
Pemodelan struktur 3D ETABS di atas termasuk kategori pemodelan makro (detail menyeluruh secara global, tetapi tidak sampai detail di sambungan). Jika dianalogikan dengan program SAP2000 (saudara kandung ETABS) maka untuk memodelkan elemen garis (1D) dari kolom, balok atau bracing (elemen diagonal) maka akan digunakan Element Frame (nama formulasi matrix). Untuk memodelkan pelat lantai beton digunakan Element Shell (element bidang, yang terdiri dari element membran dan element plate).
Definisi di atas perlu saya buat sesuai dengan pengetahuan yang saya miliki. Jika dari situ saja tidak pas, tentu diuraian berikutnya juga tidak tepat. Pengetahuan dasar diperlukan agar bisa menanggapi diskusi tentang pemodelan pada ETABS. Ini penting , tidak sekedar berdasarkan pengalaman memakai program tersebut. Banyak insinyur kita yang merespons program komputer berdasarkan pengalaman memakainya. Jika hasil analisinya akhirnya berhasil dibangun dan tidak rubuh, amaka dikatakanlah telah menjadi ahli.
Jadi definisi suatu keahlian dianggap sama dengan banyaknya pengalaman. Ini sering aku baca di WA grup, mentang-mentang hidupnya di dalam proyek, sehingga diidentikan dengan banyaknya pengalaman. Adapun para akademisi, yang lebih banyak berkutat pada teori dibanding hidup di lapangan, akibatnya keahlian sang akademisi diragukan. Ini tentu menarik, seakan-akan kalau hanya berbekal teori maka dianggap belum tuntas. Analoginya seperti tukang kayu, dihargai jika pengalamannya banyak.
Pada awal-awal banyak “orang baja” juga tanya ke saya, proyek apa yang pernah dikerjakan. Ini ibarat tanya apakah saya pernah pasang baut sendiri di menara (sambil tunjuk tower baja tinggi 100 m). Tentu aku hanya angkat bahu saja. Sebaliknya, jika kutanya padanya, yang katanya orang baja, apakah pernah menulis tentang baja lebih dari 500 halaman. Hati-hati seorang penulis itu bisa meyakinkan atau mengarahkan orang akan sesuatu yang bisa saja tidak dilihat oleh penulisnya sendiri. Bayangkan jika si penulis itu juga menguasai teori. Itu tentunya akan mantab sekali hasilnya. bahkan tanpa perlu memiliki sertifikat keahlian. Ciri-ciri orang ahli itu adalah dicari oleh orang yang hampir putus asa, untuk mendapatkan solusi. Padahal solusinya bisa berupa hanya petunjuk saja. Meskipun demikian karena disusun dengan teori yang cukup rasional maka realistis untuk dikerjakan. Jadi jangan sepelekan itu teori. Tanpa teori yang dituliskan, maka suatu negeri tentu kesulitan untuk maju dan berkembang.
Nah oleh sebab itu, ketika ada yang meminta tolong untuk diberi solusi, dan kemudian bertemu para praktisi maka aku lebih senang menyebut diriku teoritis (merujuk tulisan di buku-bukuku). Lalu aku bilang, bila ada penjelasan yang kuomongkan dan ternyata tidak benar, beri tahu saya ya agar bisa saya koreksi. Nyatanya selama ini koreksi yang dimaksud hampir tidak pernah di dapat. Kalaupun ada koreksi, itu karena inisiatif sendiri.
O ya, menjelaskan kepada para praktisi itu lebih mudah lho dibandingkan harus memberi penjelasan pada para akademisi. Maklum sama-sama teoritis, kadang abstrak semua. Untung saja, aku mendapat gelar baru setahun yang lalu. Itu tentunya sangat membantu. Wkwkw !
Kepada para praktisi, mereka tidak terpengaruh gelar, kesannya bahkan agak sinis. Ah teori doang tuh, begitu pikirnya. Tetapi kalau disuguhkan fakta atau bukti maka baru mereka terpengaruh. Ini kasusnya seperti dukun. Jika ternyata apa yang diomongkan itu ternyata terbukti, mereka langsung percaya. Padahal bisa saja itu karena faktor kebetulan saja. Betul bukan.
Selama ini aku banyak menemukan bukti atau fakta empiris yang selaras dengan teori yang aku punyai. Jadi jujur, saya menikmati proses mengumpulkan teori dan sekaligus mencari ajang untuk membuktikannya. Salah satu cara menguji teori adalah dengan menuliskannya. Selanjutnya tinggal mengumpulkan respon, ditelaah sendiri apakah memang benar atau tidak. Akhirnya teori yang dikumpulkan adalah benar-benar teori dari suatu fenomena. Jadi teori ini bukan sekedar asal tetapi memang ilmu itu sendiri. Sesuatu uraian yang terbukti dapat direka-ulang, jika syaratnya memenuhi.
Ok kembali ke kasus pemodelan. Analogi dengan SAP2000 itu dimungkinkan karena ETABS dan SAP2000 itu satu keluarga. Sama-sama dibuat oleh CSI. Inti dalamnya sama, hanya interface ke engineer-nya yang berbeda-beda. Ini masalah bisnis, agar banyak dibeli.
Untuk program kompurwe yang berbeda-beda merk-pun jika scope analisisnya masih terbatas pada elastis-linier, tentu hasilnya akan sama. Umumnya untuk desain suatu elemen maka analisisnya cukup elastis linier. Nggak perlu harus push-over dan semacamnya. Jadi pemodelan pelat beton dan balok yang dibahas inipun juga masih dalam scope elastik-linier.
Memahami hal tersebut itulah yang membuat aku pede, meskipun sudah lama tidak memegang program ETABS tetapi aku berani membahas secara terbuka. Ini khan berbahaya, kalau salah tulis bisa kelihatan bloonnya. Bisa-bisa disebut profesor calculus, yang pelupa itu. Jadi apapun programnya, jika metode evaluasi yang digunakan sama, maka tentunya hasilnya akan sama. Mari kita uji apakah pengetahuanku beberapa puluh tahun lalu masih valid.
Cara kerja Element Frame dan Element Shell jika akan digunakan bersama maka akan sangat tergantung pada titik nodal yang menghubungkannya. Agar dapat dibayangkan hal yang dimaksud, ada baiknya diambil gambar yang mendukung. Ini saya dapat dari jurnal ASCE, sebagai berikut.

Gambar 2 sangat baik untuk dijadikan illustrasi. Dalam penyusunan formula Element Frame, karena deformasinya relatif sederhana dapat diformulasikan secara eksak. Untuk analysisnya, kalau sekedar menghitung gaya-gaya internal batang maka hasilnya cukup akurat memakai dua titik nodal saja, yaitu titik nodal ujung-ujung. Hanya ketika di tengah bentang ingin diketahui deformasi secara teliti, maka perlu ditambahkan titik nodal baru.
Penggunaan Element Frame umum dikenal pada analisa struktur dengan metode matrik. Materi tersebut diajarkan di level S1 (dasar-dasarnya tentu saja). Buku pemrograman Visual Basic karangan saya (terbit 2003) memuat program analisa struktur rangka batang dengan metoda matrik, lengkap dengan grafik vektor struktur sebelum dan sesudah berdeformasi. Meskipun relatif sederhana, tetapi rasanya saya belum pernah membaca buku serupa berbahasa Indonesia yang diterbitkan. Jadi kalau sekedar analisa struktur rangka batang 2D, saya bisa pakai program buatan saya sendiri dan tidak perlu SAP2000. Hasilnya sama koq. Hal-hal seperti itulah yang membuat saya tidak terlalu silau dengan insinyur yang pakai program terkenal. Saya akan lihat dulu kasusnya.
Hal berbeda pada waktu formulasi Element Shell, yang ternyata cukup kompleks dan berbeda sama sekali dengan metode matrik. Formulasi element bidang perlu diselesaikan dengan cara pendekatan. Ahli formulasi element SHELL ini di Indonesia adalah Prof Irwan KATILI, dosen pembimbing saya sewaktu studi S2 di UI. Jika melihat paper-paper beliau di jurnal international Q1 dan topiknya selalu konsisten sejak dulu, maka kelihatannya beliau tidak ada lawan. Paling TOP.
Ilmu yang saya gali dari beliau adalah tentang analisa struktur non-linier geometri dan pembuatan programnya dengan FEAP. Setahu saya pada saat ambil ke beliau, tidak ada orang sebelumnya yang mengambil topik tersebut. Proses penyusunan tesisnya cukup lama, maklum nggak gampang tanya orang solusinya (karena nggak ada yang sudah bikin di Indonesia saat itu). Prof Katili saat itu masih fokus di shell element.
Untunglah, kerja keras di S2 terbayarkan. Itu sangat membantu sekali ketika studi lanjut S3. Kadang saya itu berpikir, meskipun pendidikan saya lokal, tetapi guru-guru yang membimbing saya itu hebat-hebat dan kelasnya tidak kalah dengan yang level international. Itulah yang membuat saya pede-pede aja ketika didapuk gelar jabatan tertinggi di bidang pendidikan sebagai GB. Memang sudah sewajarnya, sudah waktunya untuk berbagi . Jadi ini bukan masalah berani atau tidak, ini sudah menjadi kewajiban setelah diberi (ilmu) yaitu dibagikan lagi.
Element Shell yang memakai cara pendekatan, maka agar hasil analisisnya teliti perlu banyak titik nodal. Ini ibarat gambar bitmap, dari dekat kasar atau hanya noktah, tetapi kalau ukurannya bervariasi dan banyak maka dari jauh akan kelihatan halus. Nah kalau dalam pemodelan dengan sheel, penambahan titik-titik nodal dengan cara membagi element shell menjadi kecil-kecil, bahasa teknisnya disebut meshing.

Meshing tentu menjadi bagian opsi program. Jika dilakukan manual, bisa-bisa sangat menyulitkan pemakai dari segi waktu dan ketelitian. Itu makanya analisa numerik dengan element Shell di jaman dulu hanya dilakukan oleh para peneliti dari kampus atau lembaga riset, jarang dipakai insinyur sipil. Lebih banyak insinyur mesin atau semacamnya, yang terobati karena dapat dihasilkan desain yang paling optimal untuk diproduksi secara massal.
Meshing element Shell untuk memodelkan pelat di Gambar 2 berupa element-element kecil yang membentuk grid. Pada setiap titik simpul grid itulah titik nodal diperlukan agar dapat mengakses deformasi secara detail. Semakin banyak titik nodal, atau meshing semakin kecil dan rapat maka hasil analisis dengan element Shell akan semakin teliti. Lihat saja Gambar 3. bagaimana model kiri tentu kalah teliti dibanding model paling kanan.
Sampai di sini diketahui bahwa memakai dua element (Frame dan Shell) adalah tidak sederhana. Maklum karakter keduanya itu berbeda dalam bekerjanya. Element Frame tidak perlu meshing, cukup titik nodal ujung-ujung, tetapi Element Shell perlu meshing agar teliti.
Tahap ini kita menjadi tahu hubungannya pertanyaan sdr Ananto dan hasil analisis. Jika memodelkan pelat beton lantai, tentu perlu pakai Element Shell atau bisa juga nama lain di ETABS. Apapun itu dipastikan mirip-mirip karakternya dengan apa yang telah kita bahas. Itu juga berarti perlu teknik meshing yang tepat. Jika tidak, maka hasilnya belum tentu bisa lebih baik. Bisa-bisa lebih buruk. Itu juga berarti lebih aman tidak memodelkan pelat beton. Itulah mengapa sdr Ananto memberikan komentar pada thread saya. Logis khan pertanyaannya. Tanpa dasar pengetahuan ini tentu seorang awam akan berpendapat bahwa model seperti di Gambar 1 adalah yang terbaik. Gambarnya saja elok. Betul nggak.
Untuk mendaptkan hasil yang baik tentu perlu strategi dalam pemodelannya. Untuk itu tentunya harus disesuaikan dengan opsi yang disediakan ETABS. Jika tidak, maka kasusnya bisa kembali seperti di jaman dulu, yaitu menjadi tidak praktis, makan waktu dan hasilnya belum tentu signifikan. Jika hanya beda sedikit, tetapi effort yang dikeluarkan banyak maka lebih baik ditinggalkan saja.
Agar lantai (Shell) dan balok (Frame) bisa menyatu, seperti kondisi real, maka di sepanjang balok harus ditambahkan titik-titik nodal baru yang berkesesuaian dengan elemen Shell (lantai). Jika tidak, maka keduanya meskipun sama-sama terhubung di kolom yang sama, akan bekerja sendiri-sendiri. Artinya jika ada beban ke pelat, maka beban tersebut tidak tersalur ke balok, tetapi langsung ke kolom. Ini adalah mekanisme tradisionil pemodelan dengan element Frame dan Shell. Untuk menambahkan titik-titik nodal ini jika tidak didukung opsi otomatis program ETABS tentu merepotkan insinyurnya. Ini harus dipahami benar, jika tidak maka hasilnya akan berbeda dari harapan. Harapannya khan agar beban pelat disalurkan ke balok, dan baru setelah itu dialirkan ke kolom.
Harapan diatas hanya berlaku untuk balok yang kaku sekali (tinggi) dan pelat yang kurang kaku (tipis). Strategi ini biasa dipilih oleh insinyur struktur dulu. Karena dianggap pelat tidak kaku, dan seluruh beban dari pelat dialirkan ke balok, maka asumsi bahwa pelat hanya beban saja ke balok adalah valid.
Jika pelat dan balok akan dimodelkan sekaligus, dan telah dimeshing sehingga menyatu maka itu berarti keduanya bekerja sama memikul beban. Tidak lagi tepat dianggap pelat hanya beban, tetapi pelat juga bekerja mengalihkan beban ke kolom. Berapa prosentasi distribusi beban ke kolom adalah proporsional dengan kekakuan balok dan kekakuan pelat. Itu akan dihitung otomatis oleh program. Jadi kalau keberadaan pelat diabaikan, dengan mengganggapnya sebagai beban ke balok. Itu berarti semua beban dipikul balok. Konservatif, tetapi aman, jika penulangan pelat didesain terpisah sebagai panel terisolasi. Oleh sebab itu akan berbahaya jika pelat dan balok dimodelkan bersama, tetapi dalam praktik desain pelat terpisah. Nggak konsisten !
Argumentasi lain dengan banyaknya titik nodal (mehing) agar analisis dengan element Shell lebih teliti, menyebabkan langkah proses bertambah banyak. Jaman dulu, ketika program komputer belum secanggih sekarang, maka prosesnya bisa sangat lama. Selain itu, hasil analisis element shell memberikan output berupa tegangan atau gaya (kalau di SAP2000) yang lebih banyak. Alih-alih bikin mudah, banyaknya output yang dihasilkan bisa membuat bingung. Kerjaan lebih banyak termasuk interprestasinya menjadi lebih sulit. Jadi kalau sekarang pemodelan dengan pelat menjadi pilihan maka tentunya ETABS menyedikan opsi yang menarik bagi pengguna. Ini tentu menjadi keunggulan program tersebut (jadi banyak yang beli).
Dulu pemakaian model pelat lantai dengan element Shell tidak sederhana, ribet. Perlunya shell untuk menghasilkan efek diagframa saat gempa akhirnya bisa diatasi dengan dibuatnya opsi constraint diagframa di SAP2000 maupun ETABS. Jika demikian mengapa harus pakai element Shell yang bikin pusing tersebut.
Kelihatannya ETABS baru sudah memahami permasalahan tersebut. Interface yang diterima oleh para insinyur kelihatannya juga disukai. Itu terbukti dengan banyak dipilihnya opsi memodelkan pelat beton. Karena dengan memodelkan pelat lantai sekaligus maka diperoleh keuntungan sebagai berikut :
- Mudah untuk menempatkan pembebanan lantai. Ini jadi ingat di jaman dulu, bagaimana harus mendefinisikan beban amplop ke setiap balok. Untuk balok-balok dengan pelat berbentuk persegi tentu gampang, kalau pelatnya tidak beraturan bentuknya maka itu tentu bikin pusing.
- Pemodelan efek diagframa pada lantai akan menjadi lebih realistis. Ini sangat penting untuk konfigurasi lantai yang tidak beraturan.
Bagi pemakai program, pembuatan titik-titik nodal baru atau meshing bisa saja tidak terlihat. Maklum program bisa bekerja membuat meshing secara otomatis . Konsep otomatis ini terlihat pada pemodelan dengan SAP2000 yang memakai objek. Awam melihatnya sebagai satu kesatuan (tanpa nodal) tetapi nanti akan dilakukan meshing otomatis oleh komputer sebelum analisis. Saya yakin prinsip-prinsip itu masih juga berlaku.

Problem penggabungan antara element Frame (balok) yang merupakan elemen 1 dimensi (garis), dengan element Shell (pelat beton) yang merupakan elemen 2 dimensi (bidang). Tentu tidak mudah. Lihat Gambar 4. JIka levelnya sama tentu seperti memasang pelat di tengah-tengah balok, bukan di bagian atasnya. Maklum lantai posisinya di atas as dari balok. Jadi yang benar element Shell harus berada di atas as balok, itu bisa terjadi jika program memiliki fasilitas offset. Ini tentu perlu dicheck bagaimana Etabs memodelkan hal tersebut. Apakah itu dilakukan secara otomatis atau perlu mendefinisikan offset secara manual.

Konsep penggabungan antara element Frame (balok) dengan element Shell (lantai) ini penting. Kalau as-nya sama-sama di elevasi yang sama atau tanpa offset maka keberadaan lantai (shell) terhadap kekakuan balok (frames) tentu tidak terlalu signifikan karena ada di garis netral balok. Padahal ketika pelat dipindahkan ke bagian atas balok, maka akan terjadi perubahan kekakuan secara signifikan. Ini menentukan distribusi gaya secara elastis.
Ok anggaplah posisinya bisa seperti kondisi real, yaitu element shell pada posisi di atas as balok. Dengan menyatu, maka keberadaan element shell akan menambah kekakuan balok. Keduanya menjadi seperti balok komposit. Dengan model seperti itu maka berarti terhadap beban gravitasi, ada porsi yang diterima balok, dan ada porsi yang diterima oleh pelat lantai. Awam akan melihat bahwa pemodelan seperti itu, maka gaya-gaya internal yang diterima balok akan lebih kecil, dibanding yang tidak memperhitungkan pelat lantai. Itu terjadi karena pelat menyumbang kekakuan sehingga memikul beban saja.
Itu juga berarti pemodelan dengan memasukkan pelat lantai adalah tidak konservatif. Jika demikian benar juga pendapat mas Ananto Setyabudi bahwa mengabaikan model lantai akan membuat desain balok menjadi lebih aman atau konservatif.
Nah jawaban tepat tentu perlu dibuktikan dengan program ETABS. Anggap saja ini semua adalah hipotesis untuk dibuktikan dengan penelitian numerik. Ada yang mau ?
Sangat tepat uraian Prof.,
Ini suatu pertanyaan yg akhirnya terjawab berdasarkan konsep teori.
Trimakasih,…uraian2 prof dlm block ini sangat mendukung hipotesa2 kami selama ini dlm menghadapi kasus2 tersebut.
SukaDisukai oleh 1 orang
Terima kasih Laode Azan atas feedback yang diberikan. Ini penting untuk mengoreksi memori dibenakku, mana yang perlu up-dated dan mana yang sudah on the right track dan tinggal diperdalam lagi. Ini cara sederhana sebenarnya untuk link-and-match materi kampus dengan dunia real. GBU
SukaSuka
kalo program Staad pro gmn pak Wir?
SukaSuka