Ini adalah jenis korosi yang tidak mudah terdeteksi, tidak seperti korosi yang umumnya gampang terlihat secara visual. Baru terdeteksi setelah terjadi fraktur di bagian yang terdapat konsentrasi tegangan tinggi, dan umumnya diketahui setelah terjadi keruntuhan yang bersifat getas (brittle). Keberadaannya bersifat lokal pada sambungan atau bagian geometri dengan tegangan tinggi. Parameter yang berpengaruh adalah mutu bahan material, bentuk geometri, dan besarnya tegangan (tarik). Pada kondisi lingkungan tertentu, korosi menyebabkan degradasi mutu baja dan timbul fraktur (retak) yang memicu keruntuhan sistem struktur pada kondisi masih elastis.
Kasus stress corrosion terkenal sebagai penyebab keruntuhan jembatan gantung Silver, sungai Ohio, Amerika. Jembatan dengan bentang tengah 700 ft (±214 m) buatan tahun 1927-1928, tiba-tiba tanggal 15 Desember 1967 pukul 5 sore mengalami keruntuhan tanpa ada tanda-tanda sebelumnya. Keruntuhannya hanya perlu waktu 60 detik, jembatan yang telah berdiri kokoh selama 40 tahun akhirnya menjadi seonggok baja di dasar sungai, dengan korban 46 orang (Lichtenstein 1993). Tampak jembatan gantung Silver, sebelum dan sesudah mengalami keruntuhan (Witcher 2017).

Pada photo kiri terlihat dua jembatan bersebelahan. Sebelah kiri adalah jembatan gantung Silver dengan dua pilon utama di tengah sungai Ohio, disampingnya jembatan rangka baja bentang yang lebih pendek. Dari keduanya, jembatan Silver terkesan lebih langsing dan dianggap memanfaatkan material baja secara lebih efisien karena didominasi oleh batang tarik sebagai penggantungnya. Saat itu jembatan Silver dianggap sebagai keunggulan (volume baja yang lebih sedikit), sehingga ditiru pada jembatan Saint Mary, di atas sungai yang sama. Keunggulan jembatan Silver bertahan sampai 40 tahun, dimana pada akhirnya bulan Desember 1967 mengalami keruntuhan yang tiba-tiba. Foto kanan memperlihatkan puing-puing jembatan Silver. Tampak samping jembatan gantung Silver adalah sebagai berikut.

Keruntuhan jembatan gantung Silver (1967) adalah momentum penting perubahan kebijaksanaan pada prosedur pemeriksaan jembatan-jembatan di Amerika. Ini untuk mengantisipasi tragedi yang serupa.
Dalam berbagai penelitian dari keruntuhan tersebut, disepakati bahwa faktor penyebabnya, adalah kegagalan sambungan batang tarik penggantung yang berupa eyebar dan pin, sebagaimana terlihat pada illustrasi berikut.

Sistem penggantung jembatan Silver berupa rantai batang-batang baja yang disambung di ujungnya dengan pin. Ujung batang diperlebar untuk lubang (eyebar) yang dibuat dengan efek-pemanasan. Tiap segmen rantai terdiri dari dua batang baja paralel. Jumlahnya yang hanya dua ini juga diduga faktor penting penyebab keruntuhan. Maklum jembatan serupa yang dibangun sebelumnya (1924 – 1925) oleh DB. Steinman di Brazil, yaitu jembatan Florianopolis, memakai empat (4) batang paralel atau dua kali lipat lebih banyak dari jembatan Silver (Lichtenstein 1993).
Jumlah batang paralel yang lebih banyak dianggap meningkatkan faktor keamanan. Jika salah satu batang gagal, maka batang lainnya akan bekerja. Semakin banyak batang berarti tingkat redundansi lebih tinggi, yaitu adanya duplikasi jumlah elemen kritis yang lebih banyak. Detail sambungan pada ujung batang-batang tarik yang berupa eyebar dan pin terlihat berikut.

Jumlah batang paralel yang hanya dua (2) kemungkinan juga akibat penggunaan tegangan ijin baja yang lebih tinggi. American Bridge Company, kontraktor jembatan Silver memakai tegangan ijin sebesar 345 MPa (50,000 psi), sedangkan D.B Steinman memakai tegangan ijin yang lebih rendah, yaitu 321 MPa (46,500 psi). Meskipun berbeda sekitar ±7.5%, tentunya cukup signifikan terkait keruntuhan. Selain tegangan ijin yang lebih tinggi, bagian batang dan sambungan eyebar jembatan Silver mempunyai ketebalan konstan (tidak ada penebalan). Adapun desain D.B Steinman untuk batang tariknya di bagian eyebar memiliki penebalan ± 3 mm di banding bagian lainnya.
Pembuatan eyebar yang dilakukan dengan cara-pemanasan ternyata khusus, bahkan didaftarkan sebagai patent oleh pihak kontraktor (American Bridge Company). Berarti karakter dari eyebar jembatan Silver tersebut tidak diketahui secara umum pada masa pelaksanaannya dahulu. Sebab itu tentunya tidak ada review dari pihak lain terkait keandalannya. Terbukti setelah 40 tahun sukses, baru terlihat kelemahannya ketika setelah runtuh. Diketahui juga bahwa pemasangan batang tarik, kontraktor membuat elongasi lobang ke arah horizontal sebesar 3 mm. Hal itu diperkirakan bisa membuat udara masuk pada celah atau rongga tersebut dan memicu korosi. Padahal inspeksi ke permukaan pin di bagian dalam sambungan adalah sulit, kecuali harus dibongkar terlebih dahulu.
Adanya degradasi material akibat stress corrosion juga didukung fakta bahwa pembebanan pada saat jembatan runtuh, hanya menyebabkan gaya di bagian eyebar sekitar 85% dari beban rencana. Jika kondisinya normal tentu tidak terjadi keruntuhan. Degradasi bagian eyebar, akibat stress corrosion baru terlihat setelah terjadi fraktur atau retak. Itu yang menyebabkan sambungan putus secara tiba-tiba. Ketika elemen penggantung hilang kekuatan, terjadilah keruntuhan secara total.

Gambar atas adalah jembatan Saint Mary (dibangun 1928) yang merupakan turunan jembatan Silver. Akibat runtuhnya jembatan Silver, menyebabkan jembatan Saint. Mary yang memakai sistem sama, diragukan kinerjanya. Padahal pada saat itu tidak ada permasalahan apa-apa, atau bekerja dengan baik. Masalahnya adalah bahwa degradasi akibat stress corrosion pada bagian sambungan yang bertegangan tinggi tidak mudah dievaluasi, kecuali ketika telah terjadi fraktur. Padahal ketika fraktur terbentuk, maka risiko terjadinya putus yang non-daktail (tiba-tiba) adalah sangat besar.
Titik-titik yang dianggap mungkin untuk terjadi stress corrosion berada pada sambungan batang penggantung jembatan, dan jumlahnya tidak hanya satu atau dua. Padahal untuk mengevaluasi satu titik saja perlu membongkar terlebih dahulu sambungan. Jadi dengan begitu banyaknya titik-titik sambungan yang diragukan kinerjanya, maka pada akhirnya tahun 1971 jembatan Saint Mary dibongkar (diruntuhkan) dan digantikan sistem struktur jembatan lain yang dianggap lebih andal. Dari internet diperoleh dokumentasi pembongkaran jembatan seperti pada gambar berikut.

Pembongkaran jembatan adalah pekerjaan berisiko tinggi, pada kondisi tertentu bahkan bisa lebih berbahaya daripada saat pembangunannya. Maklum gaya-gaya pada jembatan yang sudah terpasang akan langsung dipikul oleh elemen-elemen jembatan itu sendiri. Sedangkan untuk pelaksanaan jembatan baru, maka bisa saja ada sistem perancah sementara yang membantu terlebih dahulu, sehingga jembatan bisa berdiri aman . Oleh sebab itu disarankan, pembongkaran hanya boleh dikerjakan oleh ahli yang pernah mengerjakan sistem jembatan serupa. Langkah-langkah pembongkaran yang dilakukan adalah kebalikan dari langkah-langkah pembuatan jembatan baru. Pada dokumentasi di atas terlihat deck jembatan dibongkar terlebih dahulu. Itu berarti deck jembatan adalah struktur sekunder. Struktur utamanya adalah sistem batang penggantung (eyebar & pin) dan tower. Jika yang dipotong adalah elemen yang merupakan struktur utama, maka pastilah akan runtuh total semua, seperti kegagalan sambungan yang terjadi pada jembatan Silver.
Ralph Trepal, salah satu insinyur yang terlibat pembongkaran jembatan Saint Mary tahun 1971, mengungkapkan kondisi jembatan ketika sudah dirobohkan sebagai berikut:
“Prior to demolition many professionals were skeptical if the bridge would really function as a true eye bar chain. When the bridge was down I was able to examine the pins in the eye bars. They were all shiny; they had been moving and working which was essentially the shortcoming of the technology that encouraged the cracking of the eye bar at the pin.”
Ref. https://www.bridgemeister.com/pic.php?pid=1659 (akses 17 September 2021)
Ini menarik, alasan pembongkaran jembatan Saint Mary (1971) telah diketahui, yaitu diragukannya kinerja sambungan batang tarik (eyebar & pin) bila terjadi corrosion stress. Setelah dibongkar, para insinyurnya antusias melihat bagian yang diragukan. Ternyata tidak ditemukan bukti telah terjadi corrosion stress, karena kondisi bagian pin terlihat ”bersinar” atau bersih tanpa retak. Meskipun tidak ditemukan bukti fisik, tidak ada ungkapan penyesalan terhadap pembongkaran jembatan. Ini jika dinilai uang, tentunya tidak kecil. Pembongkaran diperlukan sebagai upaya rasional untuk antisipasi risiko, yang bila tidak dilakukan bisa berdampak fatal bagi keselamatan publik, sesuatu yang tidak ternilai harganya. Mereka memutuskan pembongkaran bukan akibat temuan fisik, tetapi berdasarkan suatu keyakinan rasional pada ilmu pengetahuan.
Terkait redudansi pada jumlah batang setiap segmen tarik. Tidak ada code yang mengatur bahwa jumlah batang setiap segmen tarik adalah dua atau harus lebih. Kebetulan saja, jembatan Silver yang tiap segmennya terdiri dua batang ternyata mengalami keruntuhan, adapun jembatan Florianopolis yang memiliki empat batang tiap segmen ternyata bisa berfungsi sampai sekarang. Ini tentunya tidak sekedar jumlah, juga bentuk geometri, dan mutu bahan materialnya. Meskipun hanya dua batang tiap segmen, jika dimensinya lebih besar sehingga tegangannya lebih kecil, tentu keruntuhan tidak akan terjadi. Hal yang penting di sini, bahwa perencana harus memahami risiko perencanaan bagian yang kritis dari suatu sistem struktur dan hal-hal penting yang mungkin terjadi.
Referensi :
- Lichtenstein (1993). “The Silver Bridge Collapse Recounted”, Journal of Performance of Constructed Facilities ASCE, Vol. 7, No. 4, November, 1993
- Witcher (2017) From Disaster to Prevention: The Silver Bridge, Civil Engineering ASCE
Terima kasih pak, tulisan tulisan Pak Wir sangat bermanfaat.
Semoga terus bisa menulis pak terkait civil engineering.
Terima kasih atas ilmu ilmu bermanfaat yang telah dibagikan melalui blog ini.
SukaSuka
Sama-sama mas Habibie. Sehat selalu. GBU
SukaSuka