Pertanyaan di atas menjadi pertanyaan klasik, khususnya bagi orang tua yang memperhatikan anak-anaknya yang sedang belajar di sekolahan. Selanjutnya pertanyaan tersebut dapat dikembangkan lagi, mana yang penting, IPA atau IPS ? Sosial atau teknik, dsb-nya.
Kembali ke masalah tadi, pelajaran matematika atau pelajaran bahasa, mana yang sebaiknya dikuasai sedini mungkin untuk anak-anak.
Lho koq anak-anak.
Ya betul, karena kebetulan aku udah punya anak yang menjelang gede, jadi aku harus mulai memilihkan. Ke dua-duanya, wah memang bagus kalau bisa semua. Tapi coba aku tengok jadwal anakku,dari pagi pk 6.00 sampai rumah pk 14.00 kegiatan rutin sekolah. Lho koq pagi banget, o karena pakai mobil jemputan yang memang sepagi itu, dan karena muter-muter dulu maka pantas sampai rumah lagi juga siang sekali. Itu memang jadwal rutin harian, yah mungkin typical anak jaman sekarang. Lalu sorenya. Ok, ku chek dulu jadwal sore harinya. Hari Senin sore kosong, Selasa sore les gitar, Rabu sore Tari Bali Saraswati, hari Kamis Renang, hari Jumat sore kosong, hari Sabtu sore Tari Bali lagi, hari minggu pagi ke Gereja dan sesekali tugas Putri Altar. Wah koq padat sekali, jadi kalau ambil pelajaran tadi di atas maka penuh sekali jadwalnya setiap hari. Pantas badannya kurus. Jadi sebaiknya nanti kalau anakku di SMP memilih satu aja les-nya, dengan catatan Tari dan Renang dan Musik tetap diteruskan, tanggung kalau putus ditengah jalan. Jadi apa yang sebaiknya di ambil MATEMATIK atau BAHASA ? Bingung lagi. Jadi sebaiknya apa ya ?
Dari latar belakang jadwal kegiatan yang aku sajikan di atas, maka ada tiga kemungkinan keputusan yang dapat diambil :
-
semuanya, asalkan fisiknya kuat ;
-
ambil salah satu saja dan fokus ke situ agar anak tidak kecapaian ;
-
nggak usah ambil les manapun istirahat di rumah agar tubuhnya bisa gemuk.
Apakah pelajaran sekolah sudah cukup.
Akhirnya aku memutuskan, dengan alasan bahwa aku belum puas dengan pelajaran yang diperoleh anakku disekolah. Bagiku itu hanya sekedar formalitas belaka, melatih disiplin dan belajar serta bersaing dengan rekan-rekan yang sebaya. Ilmunya, wah jangan ditanya, aku aja udah lupa. Menurutku harus ada kegiatan lain yang harus dipunyai (harus lebih sukses dari orang tuanya –> ego ayahnya kali). Selanjutnya aku memilih alasan kedua yaitu memilih satu kegiatan les aja, aku juga mengerti, hari-harinya sudah sibuk, kalau diberi kesibukan lagi apa fisiknya kuat. Lalu kegiatan les apa yang sebaiknya diambil, matematik atau bahasa.
Jika mengacu pada latar belakangku dulu, ada anggapan bahwa matematika lebih penting, matematika adalah dasar dari semuanya, itu kata ahli-ahli, selain itu matematika terkesan intelek, iptek dsb-nya. Jadi apakah aku memilih sama. Tetapi pengalaman hidup yang aku jalani menunjukkan lain.Ternyata kemampuan ber-bahasa adalah lebih penting dari matematika.
Saya yakin bahwa ada orang yang dapat hidup tanpa memahami matematika, tetapi orang akan susah hidup jika tidak bisa berbahasa. Berbahasa ibarat komunikasi, kemampuan berbahasa asing ibarat jendela dunia. Aku merasa bahwa jika aku mampu berbahasa asing dengan lebih baik maka banyak kesempatan baik yang dapat aku raih, tentu aku akan lebih baik dari sekarang. Untunglah aku menyadari bahwa bahasaku lemah sehingga aku terus berupaya, minimal reading bagiku tidak ada masalah, speaking ya dipaksa bisalah tapi masih blum “pd”, apalagi writing masih lemah. Coba kalau aku fasih maka bukuku bisa mendunia. Tapi aku bersyukur, adanya kesempatan ke Stuttgart membuka wawasanku untuk mampu menulis. Ternyata dengan kemampuan berbahasa tadi (menulis) aku merasa lebih “pd” untuk mengarungi dunia. Jadi hal itulah yang ingin aku tulari ke anak-anakku.
Aku mengharapkan anak-anakku mempunyai kemampuan berbahasa asing, bahasa inggris adalah bahasa yang tidak boleh ditawar-tawar lagi. Harus bisa ! Agar istimewa sebaiknya mengambil satu bahasa asing yang lain, dan aku mengusulkan jerman. Bahkan aku bilang kepadanya, memberi pengertian, jika kamu menguasai tari, olahraga renang, satu alat musik dan fasih berbahasa asing inggris dan satu lagi jerman misalnya maka hari tuamu akan sukses terlepas dari bidang formal yang kamu geluti.
He, he, he , mimpi orang tua ke anak-anaknya. Boleh khan.
Anda punya mimpi ?
Ok se7, bahasa lebih diperlukan, saya juga seneng anak saya lebih menyukai bahasa juga, tapi untung mama-nya guru matematika, sehingga keduanya beriringan.
Tapi sebagai orang tua sepertinya hanya sebatas itu, pilihan tetep ditangan mereka, kita hanya bisa memaparkan, mereka yg memutuskan.
SukaSuka
Mas Petruk, selamat pagi mas,
He, he ini ada yang berbeda mas.
Sebagai orang tua, kita mempunyai kewajiban mendidik anak-anak kita.
Kita tidak bisa memberi kebebasan kepada mereka. Bagaimana bisa memberi kebebasan, wong namanya anak-anak, wawasan dan pengalaman mereka khan masih terbatas. Kita beri mereka uang yang lebih dan kebebasan (tanpa bimbingan atau arahan dari orang-tua). Apa hasilnya, bisa-bisa hancurlah masa depannya.
Tugas kita sebagai orang tua adalah untuk mengarahkan bagaimana anak-anak kita, mendidik mereka. Kalau perlu dengan disiplin yang keras.
Tapi ingat semua itu harus dalam “kasih”.
Ini yang susah.
Wah, ini alam demokrasi pak ! Nggak bisa begitu !
Ya boleh-boleh aja ngomong begitu. Demokrasi bisa berjalan jika pelakunya sederajat, baik dalam ilmu maupun wawasan (juga perut). Jika tidak, kacau itu ! Sudah banyak bukti itu (ah nggak perlu disebutlah).
Saya termasuk penganut bahwa demokrasi itu tidak identik dengan kebebasan dimana-mana.
Selanjutnya yang penting atau perlu digaris bawahi adalah bagaimana cara mengarahkan anak. Ini nggak gampang. Perlu komunikasi dan dialog. Itu seni-nya.
Aku juga sedang belajar soal itu.
Ingat mengarahkan itu tidak sama dengan memaksa lho. Beda !.
Sebagai contoh, anakku dulu yang pertama, waktu masih kelas satu sd aku “paksa” untuk belajar nari bali. Malas berangkat, aku paksa untuk berangkat. Ya jadinya berangkat karena takut. (wah kejam nih). Tapi sekarang nih, setelah smp, setelah sering pentas (bahkan disekolahnya) dan di kenal oleh teman-temannya (dapat pujian). Ya sekarang pasti rajin, bahkan berangkat sendiri ke pure bekasi untuk belajar nari. Dia merasa lebih pd dibanding temen-temennya karena punya kelebihan. Coba kalau dulu dia diberi kebebasan, lebih baik tidur aja dirumah. Khan beda!
SukaSuka
Salam kenal ya…Pak !
Pak Wir, setuju atau tidak bahwa sistem pendidikan di Indonesia lebih mementingkan pengembangan otak kiri ketimbang otak kanan (seni, imajinasi, dll).
Anak saya di sekolah negeri yg sangat standar, karena saya tidak mampu menyekolahkan di sekolah2 plus yg mahal itu. Dan dia sering ngeluh kalau talenta seninya (lukis & musik) tidak mendapat perhatian yg memadai dari sekolahnya, seperti sekedarnya saja.
Rasanya pendidikan yg baik adalah pendidikan dengan pendekatan personal ….??
Kemarin anak saya tsb ikut test masuk ITB jurusan Arsitektur. Dia heran koq pelajaran biologi dan kimia ikut diuji, apa relevansinya ?
Lalu dia ber-andai2, apa tidak lebih baik pelajaran2 yg diuji itu diganti dg membaca not balok ???? Pasti peluang saya lebih besar untuk diterima …………
SukaSuka
Salam kenal juga mas Indrayana,
Masih mending mementingkan pengembangan otak kiri. Bagaimana kalau : ngembang syukur, nggak ngembang juga nggak apa-apa, yang penting khan ada ijazahnya, lulus UNAS lagi.
Adanya UNAS, itu khan menunjukkan bahwa guru-guru yang mengajar tidak dipercaya. Pekerjaan mereka mengajar khan diragukan. Untuk itulah diberlakukan UNAS. Jadi kalau lulus UNAS artinya ‘bermutu’. Kalau gurunya nggak diberi kepercayaan, bagaimana mereka bisa bekerja dengan hati. Bagi mereka yang penting, target tercapai, sehingga gaji bulanan jalan terus.
Adanya perintah-perintah dari atas (pusat) yang harus ditaati, dan jika tidak akan dilaporkan dapat menyebabkan kreativitas para guru mandul. Ada juga sih, guru-guru yang memang benar-benar guru yang idealis. Tapi kalau nggak banyak gimana itu.
Untuk itulah, karena ini masalah mayoritas, kita nggak bisa mengeluh. Saya menganjurkan ke anak-anak saya, ya udahlah, ikuti sistem yang ada, jangan melawan arus. Tapi jangan terlalu menggantungkan segala-galanya ke sekolah di sini. Kegiatan ekstra : seperti musik, nari dll, itu penting. Itu yang digambar di kanan, yang sedang nari, itu khan anak saya yang gede, masih kelas satu smp sih, belum sebesar putra/i bapak yang udah mau ke itb.
Jika bapak udah pernah ke luar negeri, mungkin wawasannya akan lebih baik. Pokoknya kita masih harus bekerja keras koq untuk dapat menyamai kualitas pendidikan di luar ’sana’. Di luar banyak beasiswa lho pak, putra/i bapak sebaiknya diarahkan kesana setelah lepas PT di sini.
Saya ke luar negeri hanya tiga bulan aja lho, tapi rasanya waktu yang pendek tersebut merupakan pencerahan bagi saya. Beda lho mas.
SukaSuka
Ping-balik: arah kebijaksanaan berbahasa kita ? « The works of Wiryanto Dewobroto