Banyak orang bersusah payah belajar agar dapat masuk ke perguruan tinggi terkenal, oleh karena itu sangatlah heran jika sudah diberi kesempatan dapat masuk mengapa kemudian ternyata akan ditinggalkan.
Apa tidak kebangetan itu. 😦
Itulah orang, dianggapnya rumput tetangga selalu dianggap lebih hijau dibanding rumput sendiri. Kalau nggak percaya, coba deh kasus sdri berikut :
Author : sarsiliani (IP: 116.197.134.194 , 116.197.134.194)
Whois : http://ws.arin.net/cgi-bin/whois.pl?queryinput=116.197.134.194
Comment:
pak, saya sebenarnya 4 bulan yang lalu mahasiswa tk. sipil itb, tapi karena saya lulus sekolah kedinasan, makanya saya meninggalkan itb, dan sekarang saya agak menyesal.menurut bapak, apakah peluang berkarir seorang perempuan dan laki2 sama besar di sipil ????
lalu apakah banyak peluang karir / lap kerja di indonesia ???? secara sekarang banyak bgd phk dan pengangguran di indonesia???yang terakhir saya ingin meminta saran bapak,, apakah saya tetap melanjutkan sekolah kedinasan dan menjadi seorang pns??? atau kembali ke itb berkarir dalam tk sipil??? (karena saya secara resmi belum mengundurkan diri dari itb)
saya sangat mengharapkan jwban bapak….
terima kasih banyak…….
Itulah yang saya bilang, kesenangan (kebahagiaan) orang itu adalah bukan karena mendapatkannya, tetapi karena dapat mensyukurinya. Jika tidak, maka meskipun dia punya, tapi tidak mensyukurinya maka dia tidak akan merasakan senang (bahagia). Jadi harta atau materi atau bahkan kesempatan baikpun bukanlah ukuran seseorang berbahagia. Iya khan.
Seperti isi surat dari sdri Sarsiliani di atas, dimana bagi orang lain yang bercita-cita mau masuk jurusan teknik sipil itb, wah itu khan namanya tercapai cita-citanya. Tapi bagi saudara Sarsiliani, karena nggak mantap (tidak bisa mensyukuri / dianggap bukan sesuatu yang istimewa), maka meskipun telah diterima maka akan dilepas pula.
Mantap atau tidak, mensyukuri atau tidak, saya kira itu sangat relatif. Jika karena alasannya nggak suka teknik sipil, dan lebih suka sekolah kedinasan, maka saya tidak bisa memberi komentar apa-apa. Ya itulah jalan yang dipilih oleh saudari Sarsiliani, yang memang berbeda dengan pikiran saya.
Paling-paling komentar yang akan saya sampaikan adalah “salam sukses untuk anda“, karena apapun pilihan hidup yang dipilih, jika itu dapat dihayati dengan baik, disenangi dan dapat disyukuri secara rela, dari dalam lubuk hati yang paling dalam, maka itulah yang terbaik. Pilihan hidup itu dapat dianggap baik jika itu tidak merugikan orang lain dan dapat membuat orang yang memilihnya mandiri, tidak tergantung orang lain. Akan lebih baik lagi jika dapat menjadi tempat gantungan bagi orang lain. Itu ideal. Jadi jangan ragu dengan pendapat orang lain, anggap saja seperti “anjing menggonggong kafilah tetap berlalu“. Nggak berpengaruh. 🙂
Yang membuat saya perlu menulis tanggapan dari surat di atas adalah karena ada pernyataannya sbb:
menurut bapak, apakah peluang berkarir seorang perempuan dan laki2 sama besar di sipil ????
lalu apakah banyak peluang karir / lap kerja di indonesia ???? secara sekarang banyak bgd phk dan pengangguran di indonesia???
Wah, wah, wah, ini kelihatannya saudara Sarsiliani belum tahu, apa itu teknik sipil. Coba baca deh artikelku tentang jurusan teknik sipil di sini.
Membaca komentar di atas maka bisa juga disimpulkan bahwa dia melanjutkan ke sekolah kedinasan bukan karena senang atau semacamnya, tetapi untuk menghilangkan kekuatirannya, karena ada anggapan umum bahwa lulus sekolah kedinasan pasti dapat pekerjaan (karena ikatan dinas khan).
Kelihatannya koq sangat pesimis sekali pikirannya. Saya yakin ini pasti dari keluarga yang kebanyakan berlatar belakang pegawai negeri atau angkatan bersenjata, sehingga merasa bahwa pekerjaan yang stabil adalah yang seperti itu. Atau mungkin, ada juga keluarganya yang berlatar belakang teknik sipil, yang kerja di kontraktor, di lapangan, yang bekerja sesuai dengan proyeknya, sehingga harus muter-muter nusantara, sedangkan keluarganya terpaksa ditinggal di daerah. Jadi takut nggak bisa bersama-sama keluarga. Kalau alasannya adalah takut ngganggur, koq rasanya nggak ada ya, apalagi kalau itb.
Kalau begitu, mana yang lebih baik, sekolah kedinasan atau teknik sipil ITB ?
Wah nggak bisa begitu. Itu sangat kasus per kasus, tergantung sekali dengan kemampuan, atau sifat pribadi orang tersebut. Untuk tahu itu, maka yang bersangkutan akan lebih tahu dibanding orang lain. Jadi harus diselaraskan, antara kemampuan yang ada dengan kemampuan yang diperlukan oleh pendidikannya.
Contoh sederhana :
Sekolah kedinasan pastilah alumninya diarahkan untuk mengisi birokrasi institusi kedinasan tersebut, dimana orang awam dari luar melihatnya bahwa alumninya langsung mendapat pekerjaan. Tetapi karena birokrasi, maka jelaslah alumni yang bersangkutan harus mengikuti birokrasi yang ada, tidak bisa bebas. Ini tipe orang yang suka berorganisasi pastilah dapat diharapkan karirnya akan lebih baik, dibanding orang yang suka bebas, nggak suka diatur.
Universitas (bukan kedinasan), ini tentu berbeda, yang jelas kalau lulus harus cari kerja sendiri. Bebas memilih kerja sesuai yang diingini (tidak ada ikatan dinas khan). Seperti saya, karena tipe orang rumahan, maka jelas tinggal di proyek, jauh dari keluarga adalah suatu yang tidak disenangi. Oleh karena itu, dalam bekerja ya akan memilih yang bisa terus bersama-sama dengan keluarga. Buktinya sejak lebih dari 20 tahun lulus dari ptn, tetap aja tinggalnya tidak berpindah-pindah. Jadi intinya, punya karir di teknik sipil tidak berarti harus sering berpergian meninggalkan keluarga.
Tentang putri di teknik sipil. Bidang konstruksi tidak hanya di lapangan, ada juga yang di kantor, seperti perencanaan. Senior saya di PT Wiratman, ibu Fauziah, adalah putri alumni teknik sipil ITB, bahkan sekarang beliau adalah manajer senior di sana. Bisa juga mengajar, misalnya prof Sofia dari UNTAR, itu juga putri alumni teknik sipil dari ITB, juga ibu Cecilia, rektor UNPAR, itu juga putri alumni teknik sipil UNPAR, dsb. O ya, kemarin baru ketemu kabar dengan ibu Keke W, alumni teknik sipil ITB yang saat ini bekerja di UNESCO di Paris.
Jadi intinya, seorang putri tidak ada masalah mengambil pendidikan teknik sipil. Jika secara intelektual bisa bersaing dengan putra maka karirnya juga tidak terbatas.
Jadi kesimpulan umum yang dapat aku sampaikan adalah bahwa sekolah kedinasan memang memberikan kemudahan untuk mendapat pekerjaan, tepatnya pekerjaan sudah menunggu. Tapi pekerjaan itu ditentukan dari atas, dan alumni tentunya harus mengikuti aturan yang ada. Jika sudah puas dengan hal itu ya udah, beres. Kalau nggak suka, misalnya, wah repot, khan udah ikatan dinas.
Jika di perguruan tinggi, maka setelah lulus harus cari kerjaan sendiri. Jika punya kompetensi, apalagi lulusan ITB, apalagi yang ditakutkan. Kerjaan juga akan gampang aja. Bayangkan, saya aja yang nggak lulusan sekolah tersebut juga tidak ada kesulitan cari pekerjaan, apalagi ptn tersebut. Mestinya akan lebih gampang bukan.
Jadi sebaiknya pilih apa pak ?
Wah, kalau itu, ya seperti di atas jawabannya, yaitu yang bisa menjawab adalah kamu sendiri.
Tetapi ingat, bisa saja anda survive di sekolah kedinasan selama ini, tapi hal yang sama belum tentu lho jika anda melakukannya di jurusan teknik sipil ITB. Emangnya sekolah di teknik sipil gampang. Beberapa dari muridku saja terlihat terseok-seok, perlu kerja keras dan mencurahkan waktu khusus. Jadi semua pilihan ada resikonya.
Kalau aku usulkan adalah ambil bidang yang kamu senangi, sehingga jika melakukannya, atau belajar di situ maka kamu bisa menikmatinya. Jadi pekerjaan berat tidak terasa. 😉
Sekali lagi ini hanya nasehat, kamu yang memilih sendiri dan harus bertanggung jawab sendiri terhadap pilihanmu tersebut. Sekali kamu ambil, tekuni, fokus, jika kamu bisa istimewa di bidang tersebut maka kekuatiran kamu seperti yang di atas, yaitu pengangguran atau tidak ada karir, pasti tidak akan kamu temui.
Moga-moga berguna.







Tinggalkan komentar