Tulisan-tulisanku di sini bermacam-macam, tidak hanya berbicara tentang masalah-masalah teknik sipil, tetapi juga yang lain. Banyak diantaranya yang kutulis tentang pendidikan. Bagi saya itu juga penting, karena diyakini itu dapat mengantar seseorang berkembang tinggi mencapai cita-citanya.
Sebagai seorang yang bekerja pada bidang pendidikan lebih dari sepuluh tahun, dan banyak mengamati anak-anak muda, yang dari luar terlihat biasa-biasa, tetapi ternyata dikemudian hari ternyata bisa mandiri, juga pengalaman beberapa kali mengatar mahasiswa-mahasiswanya berhasil merebut prestasi pada perlombaan-perlombaan yang diikuti, menyebabkan kepercayaan diri menjadi ‘guru pendamping’ adalah sesuatu yang menantang untuk dikerjakan.
Apakah itu juga diaplikasikan kepada anak bapak ?
Suatu pertanyaan menarik. Juga menantang untuk dijawab. Ada beberapa fakta yang menunjukkan bahwa, mendidik ‘anak orang’ mungkin terbukti banyak berhasilnya, tetapi mendidik ‘anak sendiri’ kadang-kadang belum tentu bisa. Umumnya ini disebabkan, guru yang dimaksud menggunakan standar ganda: ketika mendidik orang orang lain, mereka bekerja dan bertindak tanpa merasa terbebani sehingga berhasil menerapkan aturan-aturan dengan tegas. Tetapi ketika peraturan-peraturan yang sama diterapkan pada anaknya kandung sendiri, si guru merasa tidak tega. Lha gimana lagi, anak kandung sendiri, apalagi ketika diterapkan ternyata si anak terlihat ‘menderita‘. Jadi nggak tega. Ketidak-tegaan seperti itu yang biasanya menyebabkan hasil akhirnya akan berbeda.
Maksudnya tega itu apa sih pak ?
Ya, tega dalam menerapkan nilai-nilai yang mengarah kepada keunggulan. Nilai-nilai yang dimaksud kalau anda mau tahu, maka ada baiknya anda membaca artikel-artikel saya sebagai berikut :
- Caraku memberi NILAI di UPH – 10 Agustus 2006
- Nilai 100 untuk Tuhan ! – 7 Januari 2007
- suka duka jadi guru – 9 Oktober 2009
Yah seperti itulah. Keberanian untuk mengevaluasi, dan mengatakan tidak (punishment) bagi hal-hal yang memang salah (tidak baik), dan mengatakan ya (appreciation) untuk hal-hal yang benar (baik).
Wah kalau itu mah gampang pak, hanya ngomong !
Betulkan demikian, memang sih, mula-mula hanya dari omongan (sabda) tetapi akhirnya akan menuju tindakan, mula-mula hanya ada pada pikiran tetapi pada akhirnya akan menjadi tindakan yang berupa punishment atau appreciation. Tentang hal itu aku jadi ingat nats berikut:
Berilah kepada hamba ini hati yang penuh pengertian, sehingga hamba dapat memerintah umat-Mu dengan baik dan adil, tahu membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Karena siapakah orang yang mampu bekerja sendiri dalam memikul tanggung jawab yang besar ini?” [1 Raja-raja 3:9]
Nats di atas adalah permintaan Salomo (Nabi Sulaiman) dalam masa awal pemerintahannya. Itu artinya apa. Raja besar yang melegenda seperti Salomo-pun tidak bisa sendirian mendapatkannya, perlu bantuan Tuhan. Jadi menentukan baik dan buruk bukanlah sesuatu yang sederhana, yang biasa-biasa, itulah hikmat yang perlu dicari setiap orang di bumi ini, dan bukan harta !
Kembali ke anak !
Seperti yang selalu aku katakan berulang-ulang, seseorang yang disebut berhasil adalah jika dia bisa mandiri. Kemandirian adalah sangat penting, jadi keberhasilan seseorang jangan dilihat karena mobilnya Jazz, atau Vios, atau bahkan BMW 323. Jika itu ternyata mobil papahnya, maka jelas yang disebut berhasil adalah papahnya. Tentu saja ini dengan catatan, bahwa keberhasilan itu tidak hanya dilihat dari materi yang dipunyainya saja, jika dia tidak punya materi seperti itu, tetapi mandiri dan dapat mensyukuri kehidupan yang diberikan Tuhan kepadanya maka tentu itu akan lebih berbahagia dibanding orang lain yang punya materi tetapi tidak bisa mensyukuri kehidupannya.
Mandiri bagiku tidak hanya untuk diterapkan pada diri sendiri. Itu memang suatu keharusan, mandiri secara finansial, itu penting. Juga mandiri dalam profesi mengajar, alasan itu pulalah yang menyebabkan aku perlu belajar lagi untuk meraih gelar doktor, juga mengapa aku menulis seperti ini. Selain pada diri sendiri, karena aku juga berkeluarga maka sikap mandiri juga aku tularkan kepada segenap anggota keluargaku. Atas dasar kepercayaan yang kuat, aku mendukung istriku bekerja dan mengambil sekolah pascasarjana, dia sekarang adalah seorang yang berpendidikan magister dari universitas negeri terkenal dan manajer di tempatnya bekerja. Punya anak buah lho. Meskipun demikian, aku yang hanya seorang guru ini adalah tetap kepala keluarga, itu ditunjukkan bahwa asap dapur dan lain-lain disekitarnya masih menjadi tanggung jawabku. Gaji penghasilan istriku dia tabung, untuk dirinya sendiri, atau juga untuk jaga-jaga bila keluarga memerlukan. 🙂
Kenapa itu aku lakukan, karena agar aku konsisten dengan prinsip mandiri di atas. Maklum aku juga menerapkan falsafah jawa tentang lanang (bahasa jawa yang artinya lelaki). Lanang adalah akronim dari ala-ala nanging menang. Arti harafiah kasarnya adalah bahwa aku sebagai seorang lelaki, sejelek-jelek apapun (arti dari kata “ala-ala”) tetapi masih harus dapat dihormati dimata istriku (suami menang atas istrinya). Tentang kalimat tersebut, anda jangan berpandangan negatif, memang sih itu bisa berkesan bahwa aku dapat berlaku semena-mena, sesukaku, mungkin itu bisa betul tapi ada batasannya, yaitu bahwa semuanya itu harus didasarkan pada kasih. Tentang hal ini tentu seakan-akan tidak ada bedanya dengan kata-kata orang lain yang sering kudengar yaitu bahwa istri yang sholeh adalah yang tunduk kepada suami. He, he, mungkin mirip, tetapi tidak sama, karena pada prinsipnya kami berdua setara, saling menghormati dan monogami, perkawinan sekali untuk seumur hidup !
Lho koq begitu. Apa konsep LANANG itu penting pak ?
Lho benar itu. Coba bayangkan, jika kamu punya istri, cantik sekali tetapi kamu harus tunduk kepadanya, tidak hanya secara fisik, tetapi juga dikarenakan penghasilanmu kalah besar, atau istrimu itu adalah majikanmu. Jadi bukan kamu yang menguasai istrimu, tetapi kamu yang dikuasai. Apakah dengan kondisi seperti itu kamu sebagai seorang lelaki bisa menujukkan kelaki-lakianmu. Kondisi itu kalau berlangsung terus menerus dan lama, maka hasilnya sudah pasti, yaitu impoten atau ada W.I.L . Maklum punya istri lagi tidak ada dalam kamus kepercayaan yang kudalami. 🙂
Anda jangan tertawa, ini serius. Ini hasil ilmu titen-ku bertahun-tahun, yang selama ini juga sudah terbukti pada pengalaman profesiku. Kalau nggak percaya, lihat saja, waktulah yang akan membuktikan.
Itu semua tadi merupakan gambaran dari sikap mandiri yang kuterapkan pada keluarga, istri dan juga anak-anakku. Jangan salah, pada anakku pula sikap mandiri selalu kuterapkan.
Tentang anakku, maka ada baiknya aku akan sharing tentang pendampingan yang telah kulakukan selama ini. Untuk anak-anak, kemandirian dapat dilihat dari proses dan prestasinya di sekolah. Ini menarik kuceritakan karena jalannya seperti sebuah pendakian. Mula-mula di bawah, dan akhirnya bisa mencapai puncak tertentu. Maklum pada awalnya, anakku ini prestasinya biasa-biasa saja, bahkan pada masa kecilnya dulu, aku lewati dengan suasana prihatin. Perlu diketahui, karena kesehatan anakku itu pula yang menyebabkan ibunya harus memutuskan berhenti kerja. Padahal waktu itu, kondisi kerjanya sudah cukup baik, sudah mendapat mobil dinas dan juga sopir. Jadi semua itu ditinggalkan hanya sekedar untuk dapat mencurahkan diri di rumah mendampingi anakku tadi. Itu terjadi karena ada masa dimana selama hampir tiga tahun terus menerus anakku tadi harus dalam kontrol dokter, ada terapi yang memerlukan ‘perekaman otak’. Waktu itu anakku pernah step, dan kejang-kejang, jadi dokter wanti-wanti, jika itu terjadi lagi bisa-bisa anakku mempunyai menjadi ‘tidak normal’. Untung, eyangnya tahu dokter anak terbaik di Jogyakarta, jadi alasan itu pulalah yang menyebabkan ibunya anak-anak merelakan meninggalkan pekerjaannya.Ini saya kira suatu keputusan yang tidak mudah bagi keluarga muda, tapi untung dari awal sikapku adalah mandiri, istri dapat bekerja adalah suatu option. Bisa iya, syukurlah, jika tidak, ya gimana lagi. 😦
Jadi dengan latar belakang seperti itu maka ketika anakku bisa naik kelaspun tentunya patut disyukuri. Jadi ketika bermobil dengan teman-teman sekantor yang dapat dengan bangga menceritakan prestasi anak-anaknya yang rangking 2 atau bahkan 1, maka akupun hanya dapat mengangguk-angguk saja. Nggak berani merespons dan menceritakan bagaimana anak-anakku, apalagi menjagokannya. Itulah kondisinya waktu dulu, enam atau tujuh tahun yang lalu. O ya aku ingat kata-kata dokter anak yang merawat anakku waktu itu, bahwa treatment anak yang dia lakukan ini , jika berhasil maka umumnya kecerdasan anak dapat meningkat. Waktu itu aku hanya senyum saja, bisa normal saja sudah senang. 🙂
Lho kalau begitu anak bapak tidak bisa mandiri dong ?
Mungkin seperti itu kondisinya waktu anakku kecil dulu. Tetapi ingat, itu dulu, dimana waktu itu anakku belum mandiri, tidak percaya diri sehingga aku dan istriku memutuskan bahwa anak tersebut perlu treatment khusus. Saya kira itu wajar, itulah tugas orang tua, yaitu mendampingi anak-anaknya.
Treatment khusus yang kumaksud adalah relatif sederhana, yaitu aku memberinya kegiatan di luar sekolah. Mula-mula aku ikutkan les tari bali. Karena koneksi istriku, maka kami sekeluarga tahu ada sanggar tari didekatku. Ya sudah itu saja, aku nggak peduli materi yang diberikan, pokoknya anakku punya kegiatan positip begitu. Awalnya memang sukar, bayangkan saja ketika itu aku nggak tahan melihatnya belajar menari, bisa-bisa tertawa lho. Meskipun demikian aku dan istriku rajin mengantarnya ikut les menari, jka dianya ngambek, aku marahin, mungkin karena takut itu maka dianya jadi terpaksa rajin. Aku sendiri kalau mengantar selalu membawa buku, biasanya setelah pada berlatih aku menunggu ditempat lain, ‘menyingkir’, untuk membaca buku. Untunglah istriku dapat dengan sabar terus mendampinginya. Anakku waktu itu kira-kira kelas tiga SD. Syukurlah, dia tidak bosen-bosen, juga kami, apalagi ketika ikut ujian tari, yaitu bisa ke TMII atau gedung kesenian. Lama-lama akhirnya aku bisa bisa berbangga melihat dia menari. Disinilah bagaimana keluarga kami menanamkan nilai-nilai KETEKUNAN, yang ternyata dikemudian hari sangat berguna. Untunglah, anakku dengan treatmen menari tersebut bisa, meskipun untuk itu perlu didahului dengan “tekanan dari orang tua”. 😦
Selama tahap treatment khusus di atas aku menemukan satu peristiwa yang patut dicatat, kejadiannya kira-kira setelah satu atau dua tahun dia belajar menari. Karena sudah cukup dianggap lama, maka dianya dapat melakukan ujian yang bersifat regional, bersama-sama dengan teman-teman sanggar tari yang lain, tepatnya adalah di TMII, Jakarta. Namanya saja ujian bersama, jadi persertanya sangat banyak, jadi harus sabar menunggu giliran, bayangkan memakai pakaian tari, disiang hari, bukan ditempat ber AC. Tentu itu bukan suatu pekerjaan yang enak. Waktu itu asma-nya agak kumat dan mulai merengek. Istriku menyeka dan memberi obat, tetapi heran mungkin karena kondisinya panas juga dan aku juga mulai cape, maka ketika dianya merengek mau pulang tetapi akunya ngotot, bahkan memarahinya. Aku bilang, kita sudah berlama-lama menunggu, dan tinggal sedikit lagi, mengapa harus pulang. Ayo kuatkan. Eh, ternyata anakku bisa mengatasinya, dengan bersusah payah, berani juga tampil di panggung, dan berhasil lulus ujian tarinya, meskipun sekedarnya. Ini pertama kali aku mengakui bahwa selain KETEKUNAN, ternyata anakku ini juga TANGGUH. Aku mulai mensyukurinya, ingat itu semua hanya dapat tersenyum dalam hati, maklum itu belum ada kaitan sedikitpun dengan namanya PRESTASI. Belum ada yang dapat dibanggakan kepada orang lain. 🙂
Waktu terus berlalu, dia terus berlatih menari. Prestasi sekolahnya juga cukup baik, meskipun waktu itu belum sepuluh besar, tetapi lumayanlah. Tidak ada masalah. Kira-kira kelas empat atau lima ada hal yang menarik dari anakku ini. Kalau tidak salah itu dimasa pesta Natal, pokoknya pesta besar di gereja kami di Gereja Katolik Santo Bartolomeus, Bekasi, dimana pada waktu itu pada perayaan kebaktian gereja pada acara persembahan, panitia mengusulkan bahwa persembahan ke altar didahului oleh tari-tarian anak. Karena istriku aktif di gereja, maka diusulkan bahwa anakku tadi bisa menari. Istriku berhasil membujuk anakku untuk mau menari mengantar persembahan ke altar depan. Waktu itu ada dua orang anak yang menyanggupi diri, salah satunya anakku. Bayangkan anak kelas empat SD. Aku waktu itu masih cuek-cuek saja, takut berharap, bisa-bisa kalau gagal khan memalukan. Tapi istriku tetap ngotot, mau mengikut- sertakan anakku menjadi penarinya. Ya sudah, karena pada dasarnya aku introvert (tidak suka tampil) kuserahkan saja ke istriku.
Pada hari H acara misa dimulai, aku memilih duduk agak jauh. Jadi kalau ada apa-apa dengan tampilan anakku, maka nggak terlalu terlihatlah. Ibunya anak-anak mendampingi anakku dengan panitia acara misa. Waktu acara dimulai, dan ketika acara persembahan dimulai, ketika didalam gereja bergema kaset suara gamelan bali dengan cukup keras, aku sedikit terhenyak. Aku mencoba mengintip dari sudut mataku, takut terlihat kalau aku berusah sekali melihat arah suara tadi. Suara gamelan tetap bertalu, dari jauh aku melihat dua penari bali dari arah pintu belakang gereja berjalan ke arah altar. Paling depan, tampak anakku menari dengan mantap. Tidak ragu-ragu dan akhirnya sampailah ke altar dengan diiringi rombongan anak-anak lain yang membawa persembahan. Tidak terasa, air mataku menetes, terharu. Ternyata anakku punya KEBERANIAN untuk tampil di depan dilihat oleh ratusan umat. Belum tentu aku punya keberanian seperti itu, hebat, anakku punya KEPERCAYAAN DIRI YANG TINGGI. Tentang hal seperti ini aku merasa dia lebih baik dibanding bapaknya. 🙂
Jadi pada masa-masa anakku sekolah di SD, aku sudah berhasil mengidentifikasi bahwa anakku punya KETEKUNAN, KETANGGUHAN, KEBERANIAN dan KEPERCAYAAN DIRI YANG TINGGI. Sejak itu dia sering diminta kalau ada acara-acara yang perlu melibatkan tari-tarian, untuk menyumbang memeriahkan acara tersebut.
O ya, aku belum mengkaitkan dengan IQ, karena memang kelihatannya IQ anakku adalah biasa-biasa saja, tidak ada yang menonjol. Jadi aku belum bisa membanggakan dia dengan kecerdasan yang dia miliki, tentang hal itu khan banyak orang tua sekarang selalu mengakaitkan dengan IQ. “Anakku IQ-nya 150 lho”, begitu kalimat yang kadang-kadang aku dengar. Kalau aku sih biasa-biasa saja mendengarnya, karena bagiku unsur-unsur yang kusebut di atas kadang-kadang lebih mempengaruhi bagi keberhasilan seseorang.
Anakku dapat masuk SMP tanpa test, meskipun demikian karena SD dan SMP masih dalam satu yayasan maka aku mengganggapnya biasa-biasa saja. Khan memang harus begitu, karena kalau membayarnya tetap sama dengan yang test maka itu bukan suatu keistimewaan. Iya khan. 🙂
Anaku sekolah SD dan SMP di Bekasi, tepatnya di Yayasan Marsudirini, Kemang Pratama, Bekasi. Sekolah tersebut diasuh oleh suster-suster Marsudirini dengan latar belakang iman pendidikan Katolik. Untunglah disini pendidikannya masih sama seperti pendidikan Katolik yang pernah aku kenyam di Yogyakarta. Aku puas. Hanya saja setelah menginjak tahun ke-2 di SMP, mau naik ke kelas 3, aku mulai berpikir. Anakku besok mau jadi apa ya, untuk itu tentunya adalah menentukan bidang studi yang akan dimasuki di perguruan tinggi. Disitulah, dalam tiap-tiap kesempatan bertemu dengan anakku kami sekeluarga mulai menyampaikan mimpi-mimpinya. Akhirnya sampailah pada suatu kesimpulan, bahwa untuk dapat masuk ke perguruan yang baik maka pemilihan SMA perlu dipertimbangkan matang-matang. Jika sebelumnya, didalam benak kami, bahwa yang namanya sekolah adalah yang paling dekat tetapi cukup dipercaya. Ternyata itu tidak cukup. Ada hal lain yang perlu dipertimbangkan.
Langkah pertama kali untuk mengevaluasi apakah suatu sekolah itu patut dipertimbangkan atau tidak adalah dengan melihat buah-buah yang dihasilkannya, yaitu lulusannya.
Kalau begitu melihat NEM-nya ya pak ?
Mungkin ada yang berkata demikian. Tetapi waktu itu bahkan aku tidak memikirkannya. Aku melihat dari para lulusan sekolah tersebut yang diterima di perguruan tinggi negeri. Pertama-tama aku mencari datanya dari internet. Ini yang menarik, meskipun di Jakarta ini jumlah SMAN adalah lebih dari 100 , dan itupun belum termasuk swastanya, tetapi SMA yang berani menampilkan lulusannya yang diterima di perguruan tinggi negeri, ternyata tidak banyak. Akhirnya dapat diketahui baik dari bisik-bisik atau mendengar atau membaca di internet, ternyata SMA-SMA yang alumninya banyak diterima di PTN adalah Penabur 1 Grogol, Ursula Jakarta, Kanisius Menteng, SMAN 8 Bukit Duri, SMAN 81 Kalimalang, SMAN 68 Salemba dan ada beberapa yang lainnya.
Dari situ ketahuna, bahwa untuk masuk SMA swasta adalah didasarkan pada test, duitnya juga lebih mahal. Sedangkan kalau mau murah maka SMAN, tetapi itu didasarkan oleh hasil UN, yaitu Ujian Nasional.
Jadi ujian nasionaal tidak haya dijadikan tolok ukur kelulusan anak-anak SMP tetapi juga dijadikan tolok ukur agar bisa masuk SMAN. Kondisi itu khan berarti keberadaan UN telah dapat dijadikan standar bersama oleh masyarakat pendidik. Sekolah tidak perlu menyelenggarakan test tersendiri-sendiri, dengan nilai UN bahkan dapat dijadikan evaluasi bersama secara on-line, lihat di sini : http://www.siap-psb.com/. Itu khan kondisi yang cukup baik, jadi heran aku masih saja ada tokoh-tokoh pendidik yang menolak UN.
Ternyata sekolah-sekolah yang kuanggap baik (berdasarkan data alumni yang diterima di PTN), mempunyai korelasi dengan nilai UN yang dapat diterima. Gampangannya adalah bahwa sekolah favorit adalah sekolah yang masuknya perlu nilai UN tinggi. Untuk memahaminya ada baiknya melihat daftar peringkat SMA berikut yang didasarkan nilai UN rata-rata tertinggi yang diterima.
Catatan : sumber data saya peroleh dari sini, adapun peringkat aku olah sendiri berdasarkan urutan dari nilai UN rata-rata, lalu rata-rata UN terendah , baru kemudian UN tertinggi.
Jadi jauh hari sebelum anakku mengikuti UN di SMP-nya, aku sudah tahu bahwa nilai UN adalah sangat penting, selain mementukan kelulusan ternyata itu juga merupakan modal mendapatkan sekolah yang baik. Jadi terus terang, aku heran dengan orang-orang yang bahkan berlatar belakang pendidik yang meributkan UN karena dijadikan kriteria kelulusan. Cengeng sekali mereka. 😦
Lho bapak nggak takut anaknya tidak lulus UN.
Yang namanya ujian atau evaluasi memang ada resiko, kalau belum mampu atau dianggap tidak mampu maka resikonya adalah tidak lulus. Saya kira pendapat seperti ini sudah ada sejak lama. Kondisi itu saya tekankan pada anakku, itulah hukum sebab akibat. Oleh karena itu agar dapat lulus perlu kerja keras, jangan mengeluh. Itulah yang disebut laku (jw = berjuang untuk mencapai sesuatu). Orang tuaku dulu punya prinsip, bahwa apa yang mudah diperoleh maka biasanya juga mudah hilangnya, jadi untuk memperoleh sesuatu maka nggak perlu takut yang namanya kesulitan. Itu tantangan.
Aku menyadari bahwa anakku selama ini jarang menunjukkan prestasi di kelas, jelek sih tidak, tetapi rasanya predikat juara di bidang akademis belum pernah diperolehnya. Jadi untuk itu aku harus hati-hati dalam membimbingnya, terlalu ‘kaku’ bisa-bisa dianya ketakutan. Jadi perlu strategi yang tepat.
Wah apa itu pak, bocoran ya ?
Hush, namanya saja guru koq ngomongin bocoran, itu nggak mendidik ! Proses pendampingan yang kuberikan sejak awal kelas 3 SMP atau mungkin sebelumnya untuk anakku ini juga merupakan suatu ujian bagiku. Selama ini pemerintah sudah mengakuiku sebagai seorang pendidik profesional, untuk itu tentu perlu ditanyakan apakah profesional juga mendidik anaknya. Itu yang kira-kira yang terjadi pada pemikiranku.
Kalau si anak sebelumnya sudah dikenal ber IQ tinggi (> 140) juga telah terbukti juara kelas terus , maka proses pendampingan adalah tidak sulit. Tetapi kalau selama ini tidak kelihatan menonjol dibidang akademis, selanjutnya diberi target agar nanti sekolah ditempat hebat. Apa bisa itu dilakukan, bisa-bisa si anak stress karena dibebani target. Saya yakin ini nggak gampang. Kalau mendidik anak orang lain, murid-muridku di sekolah misalnya, maka itu dapat dengan mudah dilakukan melalui proses seleksi, yang memenuhi syarat kita bimbing, yang tidak, ya sudah jangan dikasih target. Bisa lulus saja patut disyukuri. 🙂
Kalau untuk anak kandung sendiri, bagaimana bisa disaring. Orangnya sudah fixed, hanya satu, ya anakku itu. Sukses atau nggak.
Untunglah aku sudah malang melintang di dunia pendidikan, juga di pekerjaan profesional, selama itu pula aku sering menerapkan ngelmu titen. Dari pengalaman-pengalamanku akhirnya aku dapat menyimpulkan bahwa nilai atau juga score bukanlah angka mati yang menunjukkan bahwa orang tersebut pintar atau bodoh. Nilai hanya menunjukkan bahwa orang yang dimaksud mampu mengerjakan soal-soal yang diberikan (pada saat itu), sehingga dengan demikian yang bersangkutan dapat diluluskan atau tidak. Itu tidak menunjukkan secara mutlak apakah seseorang akan sukses atau tidak. Untuk sukses atau tidak maka yang penting adalah faktor-faktor ketekunan, ketangguhan, berani dan percaya diri. O ya, yang tak kalah penting adalah kejujuran, bayangkan bagaimana jika ternyata nilai-nilaiyang dia peroleh ternyata hasil nyontek atau semacamnya begitu. Karena anakku sudah membuktikan sebelumnya, maka aku optimis jika dia diberi impian setinggi langit maka akan dapat diraihnya. Untuk itulah maka ilmu-ilmu pengembangan diri yang sering kubaca ternyata membantu.
Langkah pertama adalah mengungkapkan fakta bahwa kesuksesan orang tua tidak menjamin kesuksesan anak. Orang tua sukses memang sangat membantu kesuksesan anak, tetapi tidak menjamin. Untuk itu aku tunjukkan contoh-contoh nyata, bahwa dalam keluarga suksespun kadang-kadang ada anggota keluarga yang belum mandiri. Kemudian aku ungkapkan menjadi suatu pertanyaan: “mengapa itu dapat terjadi ?.” Dengan proses yang pelan, tetapi pasti akhirnya anakku mempunyai pandangan, bahwa sukses seseorang banyak tergantung pada diri sendiri, orang lain hanya membantu. Langkah awal agar diri sendiri siap adalah mengumpulkan modal, bukan materi yang utama tetapi pendidikan. Jadi selanjutnya tahu bahwa mendapat pendidikan yang baik adalah modal penting untuk sukses. Ingat modal lho, bukan jaminan. Masih ada hal-hal lain di luar pendidikan formal yang diperlukan agar menjadi sukses.
Langkah kedua adalah mendefinisikan apa yang disebut sukses. Jadi insinyur sukses, diplomat sukses atau apa lagi. Ternyata anakku melihat bahwa yang bisa disebut sukses adalah menjadi dokter, seperti kakeknya. He, he, jadi dosen atau insinyur sepertinya ini belum dianggap sukses. 🙂
Langkah kedua itu penting yaitu memformulasikan masalah, dari sesuatu yang abstrak (sukses) menjadi sesuatu yang real (dokter). Ini penting, karena kalau kita sudah tahu target, tujuannya, maka kita bisa memilih rute yang akan ditempuh. Jadi dengan mengetahui bahwa sukses itu adalah menjadi dokter maka tentunya untuk itu perlu masuk Fakultas Kedokteran, yang mana kita tahu bahwa tempatnya terbatas, jadi rebutan banyak orang. Intinya adalah bahwa jadi dokter itu tidak gampang, tidak sekedar punya duit, tetapi juga kemampuan akademis yang tinggi. Jadi kalau mau masuk FK maka harus belajar yang rajin dan menghasilkan nilainya yang baik.
Ngomong seperti diatas adalah gampang, saya kira itu dapat dilakukan oleh setiap orang agar anaknya juga mau masuk FK. Tetapi berbeda dengan ngomong, yang melakoni bisa-bisa stress memikirkannya. Aku tahu itu. Jadi untuk mengantisipasinya maka aku harus mempersiapkan mentalnya. Bahwa yang penting adalah menumbuhkan keyakinan bahwa dia bisa, jika dia yakin maka apapun yang diimpikan akan bisa diusahakan.
Ia berkata kepada mereka: “Karena kamu kurang percaya. Sebab Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kamu dapat berkata kepada gunung ini: Pindah dari tempat ini ke sana, –maka gunung ini akan pindah, dan takkan ada yang mustahil bagimu.
[Matius 17:20]
Saya kira itu nats tersebut adalah favorit saya. Waktu awal mengambil S3 dulu, modalku juga hanya itu. Maka ini akan aku terapkan pada anakku. Jadi seperti juga ketika SBY di awal kampanyenya melontarkan kata “bersama kita bisa”, maka dengan cara yang hampir mirip aku memberi sugesti bagi anakku bahwa “kamu bisa nak ! “.
Langkah ketiga adalah menentukan prioritas pertama yang perlu dikerjakan. Karena FK masih lama, sedangkan yang dekat adalah lulus UN dan menentukan SMA, maka kedua hal tersebut yang perlu diprioritaskan. UN dan SMA Favorit adalah dua hal yang saling terkait. Jadi UN-nya harus baik, untuk itu selain anaknya rajin belajar, maka kedua orangtuanya harus rajin juga membantunya memberi dorongnan moril. Strategi yang kami lakukan adalah mengikuti misa jumat pertama setiap bulannya, bayangkan setahun lebih itu kami lakukan. Suasana tersebut menumbuhkan pengertian bahwa kedua orang tua “membantu”. Jadi dianya dapat belajar dengan penuh semangat.
Sekolah favoritnya apa pak ?
O ya lupa, SMA favorit kuperoleh tadi berdasarkan data website di atas, tentu data tersebut tidak kutelan mentah-mentah, aku juga mencari informasi lain, baik dari mulut-ke-mulut atau melihat daftar alumni-alumni yang diterima di PTN. Dengan demikian aku jadi tahu bahwa sekolah-sekolah favorit di Jakarta adalah [1] SMAN 8 Bukit Duri, [2]SMA 81 Kalimalang, [3]SMA 28 Pasar Minggu, [4]SMA 68 Salemba, [4] SMA 70 Bulungan, [5]SMA 61 Pahlawan Proklamasi. Sorry, itu pendapat pribadi ya, karena untuk menentukan hal tersebut saya kaitkan dengan rasa yang saya peroleh ketika mengunjungi bangunan fisik sekolahnya. O ya, itu negeri saja lho yang swasta nggak dimasukkan.
Selanjutnya setelah mengamati alumni-alumni yang diterima khusus di FK maka pilihan sekolahnya mengerucut yaitu SMA 8 dan SMA 81. Jadi di awal-awal kelas 3 SMP anakku sudah mempunyai impian dan menetapkannya. Dengan mengantongi tujuannya itu maka belajarlah dia selama kelas tiga SMP tersebut. Jadi anakku belajar di kelas tiga SMP tidak hanya sekedar dapat lulus lho. Ha, ha mungkin dengan strategi yang kuterapkan pada anakku ini maka aku bukan seorang ‘guru yang baik’, yang mengusahakan agar UN dicabut agar anak tidak stress. Adapun yang aku lakukan adalah sebaliknya, yaitu hadapi tantangan UN itu. 🙂
Wah lama banget pak prosesnya, hampir dua tahun ya pak dari sekarang.
Lho ya memang begitu, itulah yang namanya persiapan. Pada prinsipnya untuk mendapatkan sesuatu itu maka perlu persiapan yang baik dan matang. Karena UN dianggap berat, dan agar diterima disekolah baik perlu hasil UN yang baik, maka target awal adalah meraih hal itu. Score UN yang baik.
Jadi begitulah, untung anakku tidak cengeng, kita hadapi itu.
Wah pak bagaimana hasilnya ?
Baiklah kita persingkat saja ya. Intinya hasil UN anakku relatif baik, diatas rata-rata, bahkan namanya disebutkan waktu pengumuman nilai UN di sekolahnya. Aku terkesan, bahkan aku menuliskannya di blog ini, lihat : dagdigdug-nya menunggu UN – 21 Juni 2009.
Tentang lulus sekolah adalah jelaslah. Pasti !
Langkah kedua adalah mencari sekolah, ini saya rasakan paling tegang, lebih tegang daripada waktu UN dahulu, bahkan menurutku UN sih nggak ada apa-apanya. Jadi sekali lagi aku juga heran, mengapa orang pada ribut-ribut soal UN itu. Ini artikelnya ketika itu : cari sekolah sma – 28 Juni 2009 .
Ternyata hasilnya tidak memuaskan, anakku yang sekolah di Bekasi ketika akan masuk sekolah di Jakarta ternyata kena batasan atau quota bahwa hanya 5% saja yang di luar Jakarta yang boleh masuk. Waktu gelombang pertama aku tetap optimis, tetapi ternyata tidak masuk. Maklum di komputer pilihan memang disediakan lima pilihan sekolah, tetapi aku hanya mengisi dua sekolah saja, pilihan [1] SMA 8 dan pilihan [2] SMA 81. Tidak lebih tidak kurang.
Lho koq berani sekali pak ?
O iya, aku lupa, ketika mendaftar tersebut sebenarnya anakku sudah diterima di SMA satu yayasan dengan SMP-nya, bahkan tanpa test lagi. Jadi aku pede-pede saja hanya memilih dua.
Eh di gelombang pertama gagal. Waktu itu aku masih berani karena berdasarkan pengalaman tahun lalu, quoto hanya berlaku untuk gelombang I, sedang gelombang ke-II tidak diterapkan, maka aku ayem-ayem saja.
Akhirnya gelombang ke-II dimulai. Ternyata mendapat informasi baru yang tidak sama dengan informasi tahun lalu, bahwa mulai tahun ini ternyata quota ditetapkan baik untuk gelombang I dan gelombang II. Jadi ketika gelombang II kursi yang tersedia kurang dari 20 maka batasan 5% menjadi tidak ada. Jadi kedua SMA yang diharap-harapkan tersebut sudah tidak ada kursi lagi yang bisa diperebutkan. Bayangkan panik sekali waktu itu. Nggak tahu nggak kenapa waktu itu ada pemikiran bahwa pokoknya sekolah aja di Jakarta, karena kalau di Jakarta nanti dapat mutasi dengan mudah di semester ke-2. Info tersebut cukup baru, karena tidak ada alternatif lain maka perlu memilih sekolah SMA yang lain. Ini masalahnya, ya sudah apa yang ada di benak dituliskan saja. Waktu itu di gelombang ke-2 yang menjadi pilihan [1] dan [2] adalah tetap yaitu 8 dan 81, meskipun sudah disadari bahwa sudah tidak ada kursi. Waktu itu aku tetap menuliskannya dengan harapan bahwa suatu saat nanti itu dapat dicapai. Adapun pilihan ke [3] SMA 68 , pilihan [4] SMA70 dan terakhir atau pilihan [5] adalah SMA 6. Terus terang sebelumnya aku tidak berpikiran sampai kesitu, tetapi itu aku lakukan dengan asumsi bahwa itu untuk sementara saja, selanjutnya karena lokasinya cukup strategi sehingga meskipun lokasinya jauh, tetapi transportasinya ke rumah relatif mudah, maklum lokasinya di dekat terminal Blok M.
Ternyata kursi yang tersedia tinggal satu, yaitu di SMA 6. Jadi anakku adalah satu-satunya orang dari luar Jakarta yang masuk ke SMA 6 pada gelombang ke-2-nya. Daftar keterimanya masih ada koq, nih saya ambil dari website di atas tadi.
Jadi meskipun tetap dapat diterima SMA di Jakarta, tetapi karena bukan impiannya sejak semula, maka aku melihat dianya bersedih juga. Seakan-akan semua perjuangan yang telah dia lakukan adalah sia-sia. Nah disini juga tugas orang tua untuk mendampingi, khususnya ketika si anak merasa sia-sia. Selanjutnya aku mencoba memilih kata-kata hebat untuk memberi anakku semangat. Tahap ini penting sekali, sekali merasa semua tindakkannya sia-sia maka bisa-bisa hilang semangat untuk selanjutnya.
“Nak itu mungkin jalan Tuhan yang diberikan kepadamu, jangan cemas, papa dan mama masih mendampingimu. Seperti tempo hari yang kita dengar tentang adanya mutasi di semester 2. Jadi masih ada harapan nak.”, demikian hibur aku sebagai orang tuanya. Ternyata anakku bisa menerimanya, bahkan ketika sudah masuk ke sekolah baru tersebut, dia dapat dengan cepat menemukan teman-teman barunya dengan akrab. Meskipun sekolahnya jauh, ternyata masih juga dapat rajin belajar. Apa alasannya, katanya agar bisa ikut test dan diterima saat nanti mutasi di semester 2. Bayangkan, meskipun menemukan kondisi yang mungkin orang lain melihatnya sebagai kegagalan, ternyata dia tetap konsisten dengan mimpi-mimpinya. Inilah satu bukti bahwa IQ bukan jaminan untuk sukses, kemampuan untuk menerima kegagalan dan mampu mempertahankan motivasi sehingga dapat menganggap bahwa “kegagalan adalah suatu sukses yang tertunda” adalah hal penting untuk meraih kesuksesan.
Waktu terus berjalan, SMAN 6 dengan kepemimpinan kepala sekolah ibu KD ternyata bagus sekali. Beberapa kali aku mengikuti pertemuan siswa dapat ‘melihat’ bahwa visi dan misi kepala sekolah tersebut dapat dihandalkan. Syukurlah, meskipun kalau melihat berita-berita di luar tentang sekolah tersebut yang sering dijumpai tawuran, maka jika itu betul, itu pasti adalah ulah oknum semata.
. . . .
. . . . waktu berjalan, satu semester akhirnya selesai sudah . . .
. . . .
Akhirnya ternyata yang disebut mutasi antar SMA di Jakarta adalah memang ada, dan itu resmi, hanya beritanya harus kita cari secara aktif, jika tidak bisa-bisa ketinggalan karena maklum, pengumumannya baru ditempel dua atau tiga hari menjelang test. Bayangkan itu, untung ibunya anak-anak tidak segan-segan untuk keluar masuk SMA jauh hari sebelumnya.
SMA mana pak yang akan ikut mutasi ?
Ya masih konsisten dengan pilihan sebelumnya. Masih ingat nggak, kalau tidak ada koq saya tulis di depan. 🙂
Ternyata peminat mutasi cukup banyak. Adapun mutasi tersebut ada karena sekolah-sekolah tersebut mengadakan program aksel. Itu lho program siswa berbakat yang hanya menempuh kelas selama dua tahun. Jadi ada tempat kosong, nah tempat kosong itulah yang diperebutkan. Jadi di SMA 8 ada 18 tempat kosong dan diperebutkan oleh sekitar 44 anak calon mutasi, sedangkan di SMA 81 ada 20 tempat kosong dan diperbutkan oleh sekitar 35 anak calon mutasi.
He, he, ternyata mengikuti mimpi untuk dapat bersekolah favorit ternyata tidak gampang juga. Jika di semester lalu untuk masuk sekolah hanya mengandalkan UN maka pada saat mutasi ini diperlukan kerja keras karena ada test segala.
. . .
Ternyata Tuhan saat ini berpihak, berdasarkan test, anakku diterima di kedua SMA tersebut, di SMA 8 anakku lulus di urutan ke-4 dari 18 tempat, sedangkan di SMA 81 namanya nangkring di urutan paling atas. Ternyata diterima kedua-duanya tersebut ada untungnya, apalagi peringkatnya di atas, yaitu dapat digunakan untuk modal ber-negosiasi menentukan besarnya sumbangan uang gedung, dengan kondisi tersebut maka istriku dapat bekerja sempurna melakukan negoisasi, karena dapat mengandalkan prinsip nothing to loose. He, he, he . . . . .
Memang sih, biaya uang gedungnya lebih besar dibanding cara on-line standar, tetapi yang jelas tidak sebesar rumor-rumor yang aku dengar sebelumnya. Puji Tuhan, pokoknya aku melihatnya relatif wajar, apalagi kalau dibandingkan dengan sekolah swasta favorit. Masa sih ada sekolah gratis. Jer basuki mawa bea. 😦
Akhirnya impian anakku selama lebih dari 3 semester ini terkabul. Puji Tuhan.
Demikian sedikit sharing bagaimana orang tua mendampingi anak untuk mendapatkan sekolah favoritnya, semoga berguna bagi orang tua lain yang anaknya mempunyai impian juga. Tuhan memberkati.
boleh bertukar link, kita sesama akademisi sobat :), klo boleh nanti linknya ku pasang di blog ku. thank be4
SukaSuka
Ping-balik: Naskah akademik tulisan tangan | The works of Wiryanto Dewobroto
Menarik artikelnya, walaupun cukup panjang tapi banyak informasi …
terima kasih banyak
SukaSuka
Pak aku deg-2an. tunggu LULUS dan hasil UN juga. Mau masuk sma 8 th 2014
doain aku
SukaSuka
Semoga dik. Itu sekolah yang baik, minimal dapat memberikan lingkungan pergaulan yang penuh kompetisi. Bagaimanapun juga bukti yang bicara, teman-teman anakku yang lulus dari situ sebagian besar masuk di jurusan dan perguruan tinggi favorit. Anakku demikian juga, saat ini telah menjadi salah satu mahasiswi di jurusan yang memang menjadi impiannya sejak lama. Semoga adik Tiara demikian juga, mimpi-mimpinya dapat diraih. Tuhan memberkati.
SukaSuka
Pak…maaf baru bales. Makasih doanya. Sy udah masuk 8 di MIA.
hadeeh sempet stress bett, abis 8 makin sangar aja passing grade.
temen sekolah smp juara kelas teruuss ….. rata2 9,500 udah kelempar dari 8.online. Gak taunya jalur umum IPA rata2 9,602. n paling kecil itu 9,500..
Yg Luar kota atau Non DKI lebih sulit lagi pak. paling kecil rata2 : 9,59 di online ppdb 2014
yg enak tuh jalur Lokal (zonasi) yg KK deket2 Bukit Duri (tebet) pak, paling kecil 9,200 (rata2 9,250) bisa masuk 8. Tapi ya tetep tinggi juga sih kt org2.
SukaSuka