Ada yang tidak biasa dengan hari minggu kemarin. Pagi hari setelah pulang dari misa di Gereja Sanbarto, Bekasi, kebetulan karena esoknya ada ujian praktek sekolah anakku, maka aku hanya santai-santai di rumah saja. Ini kondisi yang tidak biasa bagiku, maklum hampir minggu-minggu sebelumnya, jika kondisi itu terjadi pasti aku sudah duduk asyik di komputer, menulis. Hari minggu kemarin tidak kulakukan karena proses editing-layout buku telah selesai. Alhamdulillah.
Aku jadi ingat diskusi dengan pihak penerbit utama, yaitu LUMINA Press, yang saat ini dapat bekerja sama dengan Penerbit Jurusan Teknik Sipil UPH, tempatku mengajar. Ini khan seperti simbiosis mutualisma. Diskusi yang menarik adalah pemilihan percetakan yang akan digunakan untuk bukuku.
Jika latar belakangnya adalah bisnis murni, maka yang menjadi pilihan adalah percetakan yang dapat menawarkan harga cetak yang paling rendah. Sehingga dengan harga yang sudah dipatok di awal, yaitu Rp 240 ribu, maka diharapkan untung yang sebesar-besarnya. Tetapi nyatanya tidak seperti itu. Meskipun sudah ada dua penawaran yang masuk, pihak LUMINA Press punya pendapat lain. Begini pak Wir, katanya : Percetakan yang pertama memberi syarat bahwa data cetak harus berupa file PDF yang dibuat dengan program layout khusus, yaitu InDesign. Adapun percetakan yang lain cukup file PDF, tanpa ada persyaratan khusus. Kelihatannya sepele, tetapi ini menjadi perhatian penerbit.
Setelah aku perhatikan secara khusus, memang ternyata ada perbedaan antara pdf yang dihasilkan dengan program InDesign dan dari program MSWord. PDF yang dihasilkan dari InDesign memang mempunyai ketentuan khusus yang memang dipetuntukan untuk percetakan. Coba perhatikan, ini contohnya.
Jadi hanya karena alasan itulah maka LUMINA Press menentukan siapa pencetak bukuku. “Dari data yang perlu disiapkan saja sudah ketahuan pak, siapa pencetak yang biasa bekerja profesional”, begitu penjelasan dari bos LUMINA Press. Padahal kalau dari segi penawaran, maka percetakan yang mensyaratkan pakai InDesign itu mematok harga lebih mahal.
Apa sih yang melatar-belakangi kamu memilih percetakan yang seperti itu. Suatu saat aku bertanya pada pihak penerbit LUMINA Press. Jawabnya : “kita harus menjaga mutu pak Wir“. Aku mengangguk, itu suatu alasan yang masuk akal maklum harga buku yang dipatok oleh LUMINA Press memang relatif mahal daripada buku-buku kebanyakan. Untuk itu tempo hari aku pernah survey ke toko buku. Memang ada buku yang tebal juga, lebih dari 600 halaman (bukuku sekitar 760 halaman), tapi semuanya itu di bawah Rp 200 ribu. Kertasnya sih HVS atau juga book paper yang agak kuning tersebut.
“Jadi kita harus berbeda, yaitu dalam hal mutu” : demikian penjelasan boss Lumina Press kepadaku. Untuk mutu katanya, yang pertama adalah siapa penulisnya. Jadi untuk buku-buku yang diterbitkan, baru bukunya pak Wir, belum ada yang lain. Ge . .er mode ON. 😀
Yang kedua, adalah percetakan yang dapat menjamin mutu fisik buku tersebut. Jadi bekerja sama dengan percetakan terbesar dan terkenal di negeri ini adalah suatu keharusan. Maklum, hasil kerjanya khan belum ada, jadi reputasi yang menjadi patokannya. Begitu penjelasannya.
Yang ketiga adalah spesifikasi materi buku tersebut. Dalam hal ini adalah kertas yang digunakan dan sampulnya. Bagian ini memang menggoda, maklum ada harga ada rupa. Jika ingin mendapatkan keuntungan yang sebanyak-banyaknya, maka pakai kertas “book-paper” yang bisa dijumpai pada buku-buku yang ada, tentu adalah yang paling menguntungkan dari segi finansial, karena paling murah. Jadi dengan harga yang sudah dipatok Rp 240 ribu dan ternyata sudah banyak yang pra-order maka ini paling baik. Itu tentu dari segi bisnis. Kembali lagi ke soal mutu. Pihak LUMINA Press menjelaskan kepadaku. Kita harus memberi kepercayaan juga kepada para sponsor pak Wir. Buku pertama kita khan pakai kertas bukan yang biasa, jadi buku kita berikutnya mutu kertasnya tidak boleh kurang dari yang sudah ada, bahkan harus lebih baik lagi. Aku manggut-manggut mengiyakan. Maklum kalau soal buku dan bisnisnya, maka bos Lumina Press ini lebih tahu. Aku tentu juga akan senang karena kualitas bukuku akan lebih baik lagi dalam soal fisik.
“Tidak hanya kertas, juga sampul buku ini harus istimewa“. Sekali lagi bos LUMINA Press menyadarkan aku yang terlihat melamun. Lho mau sampul yang kayak apa lagi, aku sedikit bingung. “Untuk harga yang kita tawarkan itu, maka saya akan pilih buku hardcover pakai linen“, LUMINA Press memberi penjelasan kepadaku.
Wo . . . sampul linen. Menarik juga. Maklum sampai hari ini, sangat jarang aku menjumpai buku bersampul linen. Saya pikir, buku bersampul linen adalah buku-buku kuno. Nyatanya nggak seperti itu, pihak percetakan yang dihubungi oleh LUMINA Press tadi ternyata memberi pilihan. Saat ini buku bersampul linen memang jarang dijumpai karena harga jualnya bisa sangat mahal. Pilihan ini menjadi alternatif untuk pencetakan bukuku tersebut karena adanya dukungan dari para sponsor. Itu yang menyebabkan pilihan buku bersampul linen itu masuk akal.
Wah kalau rencana ini sukses, maka ini mungkin satu-satunya buku struktur baja berbahasa Indonesia yang bersampul linen. Jadi tidak hanya isinya maka tampilan fisik benar-benar dipilih agar bermutu. Ini tentu versi penerbit, yang tentunya penulisnya iya-iya saja.
Hanya memang, buku hardcover dari segi berat akan lebih berat dari buku softcover. Jika ini terjadi maka benar juga adanya jika saya ini nanti akan dikenal oleh orang banyak sebagai penulis buku-buku berbobot. 😀
Tinggalkan komentar