Sabtu pagi ini ada kegiatan di kampus UPH, yaitu acara retreat tahunan. Retreat yang diselenggarakan oleh UPH bekerja sama dengan The Mission yang anggotanya adalah pengusaha-pengusaha Kristen di Indonesia. Itu sebabnya pada retreat tersebut bisa diundang pembicara dari mancanegara.
Retreat adalah semacam kegiatan penyegaran rohani, dengan cara menyisihkan waktu sejenak merenung, introspeksi diri dan mendengarkan siraman rohani dari seseorang yang dianggap mumpuni. Harapannya agar pikiran kita bisa lebih jernih lagi (segar) dan mendapatkan kembali makna kehidupan ini. Tahun-tahun awal ketika bekerja di UPH, maka retreat karyawan dilakukan di luar kota, beberapa kali di daerah Puncak, dengan membawa anak dan istri. Mengingat hal ini, tentu sangat menyenangkan sekali. Hanya saja sekarang anggota keluarga di kampus UPH bertambah banyak, sehingga jika itu dilakukan maka tentu biayanya akan sangat besar. Oleh sebab itu, sekarang ini retreatnya berupa seminar mendengarkan semacam kotbah, dengan mendatangkan para motivator rohani dari manca negara. Untuk tahun ini pembicaranya adalah Hugh Whelchel, Executive Director of Institute Faith, Work & Economic, dari Amerika.
Seperti biasa karena ini juga kegiatan wajib di UPH maka aku mempersiapkan diri dengan baik. Lokasi acara adalah di Grand Chapel di Gedung C Kampus UPH, suatu ruang pertemuan tertutup terbesar yang dimiliki UPH. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini pula aku membawa juga camera baruku, Canon G9X Mark II. Adapun kamera lamaku Canon G11 yang ukurannya relatif lebih besar dan kalah teknologi, maka siap-siap untuk dipensiunkan. Jujur saja, aku pernah punya sebentar Sony Cyber-SHOT DSC-HX90V, Compact Camera dengan zoom 30x. Harganya kira-kira sama dengan Canon G9X. Hanya saja camera Sony itu tidak memuaskan jika digunakan pada ruang tertutup. Fokusnya lama, dan hasilnya kadang kalah oleh kamera handphone yang makainya berkesan asal jepret. Jadilah kamera Sony itu kujual lagi (rugi deh) dan gantinya adalah Canon yang akan aku uji coba di acara retreat hari ini.
Maklum mengambil foto di ruang tertutup, tanpa blitz adalah cukup menantang. Kamera pocket murah kelihatannya kalah kemampuannya dengan kamera handphone yang ada saat ini. Untuk kamera handphone biasanya aku memakai Xiomi. Hanya saja untuk detail, untuk cahaya kurang maka hasilnya kadang juga tidak terlalu memuaskan. Oleh sebab itu setelah membaca berbagai review di internet, kamera Canon G9X ini mempunyai spek yang lebih baik dari camera handphone atau kamera poket semacam Sony tersebut. Jadi event retreat ini adalah saat yang tepat untuk mencobanya.
Materi retreat yang dibahas adalah hal sekuler dan non-sekuler. Dalam hal ini dikaitkan dengan makna pekerjaan sehari-hari (Senin-Jumat) dan kegiatan beribadah (Minggu). Dianggapnya itu adalah dua kehidupan terpisah, bekerja adalah kehidupan sekuler dan beribadah adalah kehidupan sacred (non-sekuler).
Kelihatannya sepele, mungkin ada yang tidak peduli soal itu. Tetapi jika hal tersebut dikaitkan dengan makna kehidupan kita, seperti “urip iku mung mampir ngombe” (jawa = hidup itu hanya sekejap, seperti halnya orang bertamu sekedar ingin minum). Maka tentu merasakan, apa yang sebaiknya harus dilakukan. Bagi orang beragama tentu akan mantap menjawabnya adalah banyak-banyaklah beribadah, mendekatkan diri kepada Tuhan. Jangan terjebak pada kegiatan-kegiatan yang tidak penting.
Nah sampai disini, jika tidak mempunyai cara pandang atau mindset yang tepat, bisa-bisa pekerjaan yang sudah ok akan dilepas dan berfokus pada kehidupan beribadah saja. Ini terjadi mindset-nya adalah bahwa bekerja adalah kehidupan sekuler, yang tidak mendukung kehidupan setelah kematian. Seru khan.
Nah acara dimulai dengan dibuka oleh panitia acara. Saat itu aku duduknya di bangku lantai atas, pojok. Cukup jauh dari panggung, dari sana suasana retreat bisa diabadikan dengan Canon-ku tanpa blitz.

Jujur saja, posisi di pojok. Kamera G9X Mark II dapat kubuka tanpa menarik perhatian, menunya juga touchscreen sama mudahnya dengan handphone . Gambar di atas diambil tanpa blitz. Bagian kanan gambarnya lebih terang di layar camera daripada yang sebenarnya. Ini hebatnya teknologi baru Canon. Meskipun teori hanya punya zoom 3x, secara teori ini kalah jauh dengan punya Sonny-ku sebelumnya yang 30x, tetapi ketika aku gunakan untuk menzoom pembicara, saat itu pak Parapak, Rektor UPH membuka acara, ternyata hasilnya luar biasa.

Foto Bapak Rektor UPH saat memberikan kata sambutan, ternyata cukup jelas, meskipun tanpa blitz. Kamera-kameraku sebelumnya tidak mempunyai kemampuan seperti ini. Bahkan detail dari para pimpinan yang duduk, yang terlihat sangat kecil di Gambar 1, ternyata dapat diperoleh dengan mudah. Ini gambarnya.

Wah pokoknya puas deh dengan camera Canon G9X Mark II yang kumiliki ini. Secara teori, ini adalah kamera pocket dengan sensor 1″ yang paling kecil yang ada di pasaran. Jika pada ruang tertutup dengan minimum cahaya saja dapat memuaskan hasilnya, maka tentu untuk foto ruang terbuka tidak perlu diragukan lagi. Harganya dengan kamera G11 yang lama adalah sama, tetapi kinerjanya sangat jauh peningkatannya.
Kita kembali ke retreat ya.
Pembicara mengawali dengan pertanyaan “mengapa bekerja” dengan memberikan illustrasi ketika beliau datang pada suatu acara motivasi besar, yang dihadiri oleh ribuan peserta yang datang dari kalangan bisnis. Motivator bertanya pada hadiri tersebut: “Jika ternyata ada saudara dekat anda yang kaya meninggal dan meninggalkan warisan kepada anda jutaan dollar. Apakah anda besok masuk kerja ?“. Ternyata gemuruh para hadirin menjawab : “TIDAK !“.
Dianggapnya kalau sudah punya duit banyak, mengapa harus bekerja. Mereka berpikir bahwa bekerja itu adalah kewajiban. Senang atau tidak senang, itu perlu dilakukan untuk mencari nafkah. Ternyata hanya sebagian kecil yang menganggap bekerja itu adalah passion, yang merupakan pilihannya sendiri.
Jadi selanjutnya yang dibahas adalah pekerjaan yang menjadi pilihannya sendiri, dan dianggapnya apapun macam pekerjaan tersebut adalah mencukupi (dapat disyukuri). Pada sisi lain, sudah ada kesadaran akan makna kehidupan setelah kematian (dekat dengan Tuhan), yang berarti tidak bisa fokus saja pada kesenangan duniawi tetapi juga yang non-duniawi perlu dipikirkan. Oleh sebab itu permasalahan sekular dan non-sekuler menjadi relevan untuk dipikirkan. Nah dengan demikian pekerjaan apa yang sebaiknya dipilih.
Apakah pekerjaan yang berkaitan dengan keagamaan yang perlu dipilih, misal menjadi misionaris, pendeta. Mungkin bisa juga pekerjaan yang berdekatan dengan misi kemanusiaan, misal jadi dokter, atau perawat dan semacamnya. Pekerjaan-pekerjaan seperti itu bisa dikaitkan dengan petunjuk-petunjuk pada kita suci, seperti menolong orang dan sebagainya. Jadi bagaimana dengan pekerjaan-pekerjaan yang tidak serta merta bisa dikaitkan dengan pesan-pesan ketuhanan. Tentara misalnya, yang kadang dalam tugasnya adalah membunuh musuh. Itu khan seperti menyalahi hukum Tuhan, yang memerintahkan dengan tegas “Jangan Membunuh !”
Bagaimana dengan pekerjaan-pekerjaan umum lainnya yang terkesan sekuler atau terkesan tidak ada kaitannya dengan kehidupan rohani. Nah dalam mencari jawab akan hal itu, pak Hugh Whelchel terkesan dengan ide tulisan-tulisannya Francis Schaeffer dan Abraham Kuyper bahwa penting mengerjakan apapun adalah untuk kemuliaan Tuhan. Dalam prespektif kristiani itu sangat selaras apalagi ada ayat suci yang mendukungnya, yaitu :
Konsep untuk kemuliaan Allah maka tentunya yang diberikan (dihasilkan) adalah sesuatu yang pantas, kalau bisa adalah yang terbaik. Konsep itu juga didukung dalam Alkitab, lihat saja.
Terkait dengan cara berpikir seperti ini maka secara tidak sadarpun itu telah kulaksanakan. Buku-buku karyaku misalnya, aku terbitkan tidak sekedar mengikuti standar mutu yang disyaratkan DIKTI, tetapi lebih dari itu. Aku ingin yang terbaik, minimal seperti karya-karya buku luar (McGrawHill dsb). Jika pembaca belum tahu, apa yang aku maksud, ada baiknya mengintip threat tentang buku-buku karyaku di blog ini. Lihat ini, ini, dan ini.
Selanjutnya untuk menjadikan kedua ayat tersebut dalam mindset kehidupan sehari-hari para kristiani, maka tentunya perlu mendefinisikan “untuk Tuhan itu yang bagaimana“. Ini memang tidak mudah untuk didefinisikan. Umumnya orang hanya mengkaitkan dengan Tuhan yang dikenal oleh kelompoknya. Jadi itu hanya relevan untuk orang yang seagama, atau golongannya sendiri.

Adapun Mr. Hugh Whelchel mendefinisikan minimum ada empat unsur yang tidak boleh dilupakan untuk memenuhi kriteria telah dipersembahkan kepada Tuhan, yaitu Church (orang-orang di gereja), Family (keluarga), Community (masyarakat dan negara) dan Vocation (bidang pekerjaan yang menjadi pilihannya itu sendiri).
Gambar pembiara (Mr. Hugh Whelchel) terlihat terlalu kecil ya gambarnya. Oleh sebab itu ada baiknya saya zoom dan ini hasilnya meskipun tanpa blitz.

Konsep dapat mengintegrasikan antara pekerjaan dan beribadah dalam masyarakat kristen (pembaca Alkitab) itulah yang mengilhami masyarakat Eropah pada abad pencerahan (awal kebangkitan Eropa), misalnya Copernicus, Galileo, Newton, Bacon, Boyle, Michelangelo, Leonardo Da Vinci, dan lainnya.
Meskipun ada di dalam mindset orang Kristen untuk berbuat terbaik (unggul), tetapi itu jangan ditakutkan. Jangan bayangkan jika suatu daerah unggul karena orang-orang itu, lalu ingin merdeka, melepaskan diri. Itu tidak ada dalam konsep kristiani. Lihat saja ayat yang menjadi dasarnya.
Lalu kata Yesus kepada mereka: “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah !” . Mereka sangat heran mendengar Dia.
[Markus 12:17]
Maklum mindset unggul bagi mereka (orang-orang kristiani) adalah agar mereka bisa menjadi berkat. Jadi hampir atau jarang terdengar ada konsep orang-orang kristiani ingin memberontak atau bikin revolusi untuk bikin negara sendiri berdasarkan agama. Nggak ada itu dalam mindset mereka. Kalaupun ada terdengar bahwa sekte kristen Jehova nggak mau menghormat bendera, maka itu sebenarnya bukan kristen. Namanya memang seperti itu, tetapi mereka tidak menganggap Yesus Tuhannya. Jadi beda dengan orang-orang kristen pada umumnya.
Jika diperhatikan, ayat-ayat yang disampaikan di atas terjadinya di lingkungan masyarakat Yahudi (Israel) pada masa itu. Itu juga berarti apa yang disampaikan di atas juga menjadi mindset orang-orang Yahudi (Israel). Tidak heran juga mereka menjadi bangsa yang unggul di dunia ini.
Walah-walah pak Wir memuji orang Israel ya. Mereka itu penjajah Palestina lho Pak !
Ya ya. Bangsa Israel (Yahudi) sudah sejak kecilku dikenalkan sebagai bangsa terpilih, tetapi juga bangsa terkutuk. Terpilih karena diyakini Yesus Kristus sebagai Tuhan orang Kristen lahir di masyarakat Yahudi. Berarti bangsa ini menjadi perhatian (pilihan) Tuhan dibanding bangsa lain. Terkutuk karena Yesus Kristus mati oleh bangsa Yahudi juga. Tapi inipun (terkutuk) masih menjadi interprestasi saja, maklum karena adanya kematian-Nya itulah maka agama Kristen dapat berkembang dengan maju.
Tapi kenapa ya pak Wir, bangsa Israel itu sampai sekarang koq ya masih eksis. Tahu sendiri juga khan, bangsa tersebut pernah jadi budak di Mesir, juga budak di Babilon. Jadi pengungsi terlunta-lunta, kayak pengungsi Rohingya itu lho. Terusir dari negerinya, bahkan dulu ketika jaman Hitler juga dibunuh secara massal. Pokoknya terhina gitu lho, tetapi koq sampai sekarang bisa disebut menjajah Palestina. Apa yang terbalik-balik itu pak !?
Itulah yang menarik dari bangsa Israel. Tidak hanya saat sekarang, dari jaman perjanjian lama (lebih dari 2000 tahun yang lalu), bangsa Israel itu sudah penuh dengan penderitaan (jadi ingat nasib pengungsi Rohingya). Bahkan itu masih berlanjut ketika jaman perang dunia ke-II, yaitu yang di Jerman di bawah Hitler. Sudah ditekan sebegitu rupa, tetapi nggak hancur-hancur bahkan bisa berproduksi dengan gencar.
Ketua MUI: Boikot Semua Produk Israel! – Selasa, 25 Jul 2017
Bisa nggak anda membayangkan bahwa suatu bangsa yang terlunta-lunta seperti Israel itu ternyata saat ini telah menjadi penghasil produk yang mendunia. Bagaimana tidak, Indonesia yang tidak menjalin hubungan diplomatik saja, ternyata negaranya menjadi objek pemasaran produk milik negera Israel tersebut. Itu bisa terjadi karena ada keunggulannya, karena kalau tidak maka tentu tidak bisa bersaing dengan produk negera lain yang lebih dekat.
Konsep berpikir (mindset) untuk menjadi berkat, ternyata sudah sejak lama dimiliki bangsa Yahudi. Tidak hanya kepada negara Israel saja, tetapi juga kepada negara lainnya dimana orang Yahudi itu tinggal. Ini tidak dalam konteks, untuk mencari kekayaan pribadi saja tetapi juga untuk beribadah.
Cara berpikir orang Yahudi (Israel) seperti di atas, dapat dilacak ketika dulu mereka dalam pembuangan (lebih dari dua ribu tahun yang lalu). Itu tercatat pada alkitab sebagai pesan Nabi Yeremia pada orang Yahudi dipembuangan.

Bisa dibayangkan, yang namanya pengungsi pastilah penuh penderitaan, lemah atau tertindas, sehingga perlu dibantu. Tetapi pesan nabi Yeremia tidaklah seperti yang dibayangkan. Meskipun orang Israel adalah pengungsi (pada waktu itu) tetapi mereka diminta tetap harus mengusahakan kesejahteraan kepada negara tempat mereka mengungsi. Ini jelas berbeda dari pengungsi yang kita temui berita-beritanya di koran, yang bisanya merongrong bantuan dari negara yang disinggahinya.
Adanya cara pikir seperti itulah maka dapat dipahami bahwa orang-orang Yahudi dapat menjadi andalan kemajuan bagi negara non-Yahudi yang ditempatinya. Atau dengan kata lain, karena orang Yahudi (Israel) tidak bermental pengemis, tetapi mandiri dan berupaya tidak menjadi beban bahkan mengusahakan kesejahteraan bagi negara yang disinggahinya, maka mereka bahkan diterima dan dilindungi. Itu pula alasannya, mengapa Yahudi di Amerika bisa tetap diterima dan dilindungi. Mereka banyak mengusahakan kemajuan negara tersebut, ingatlah nama-nama berikut Einsten, George Soros, Filipus Lehman, Jules Bache, Samuel Sachs, dan Marcus Goldma.
Padahal pada sisi yang lain, kita tentunya tahu bahwa sangat banyak orang yang mendoakan buruk bagi kesejahteraan negara Israel atau orang-orang Yahudi. Tetapi nyatanya sampai sekarang mereka masih ok-ok saja. Bangsa Israel atau Yahudi, kalau tidak salah adalah satu-satunya bangsa di dunia yang disebut dalam tiga kitab suci di dunia ini, yaitu Alkitab, Taurat dan Al Quran, dan masih ada sampai saat ini.

Link yang menarik :