Dapat kiriman pertanyaan via Facebook messenger, ini isinya :
Selamat malam Pak Wir
Saya mahasiswa Teknik Sipil 2014.
Saya kagum dengan pengetahuan bapak dalam bidang sipil terutama bidang struktur, bidang yang juga saya senangi.Jika dibandingkan dengan teman-teman angkatan sipil saya sendiri khususnya yang mengambil struktur, saya termasuk yang di atas rata-rata. Namun setelah membaca tulisan-tulisan Bapak dan diskusi yang terjadi dengan pembaca blog Bapak, saya merasa ilmu struktur saya belum ada apa-apanya. Oleh karena itu saya berencana memperpanjang studi saya yang awalnya target lulus 4 tahun, saya perpanjang menjadi 4,5 tahun. Dengan tujuan setengah (0,5) tahun terakhir saya gunakan untuk banyak-banyak membaca buku atau artikel, ikut lomba, konsultasi gratis dengan dosen, dan ikut proyek dosen. Karena kalau sudah lulus tentunya akan sulit untuk menjalani tujuan-tujuan di atas.
Namun orang tua saya berkata lain, orang tua ingin saya lulus 4 tahun. Tapi saya agak keberatan, karena saya sadar ilmu struktur saya masih cetek, saya benar-benar ingin memperdalam ilmu struktur setidaknya dalam waktu 6 bulan (karena saya agak keberatan kalau disuruh lanjut S2, hehe).
Yang ingin saya tanyakan, menurut bapak sebaiknya saya lulus tepat waktu 4 tahun atau 4,5 tahun ? Terima kasih
Seorang mahasiswa dengan kepercayaan diri tinggi akan kemampuannya dibanding teman-teman seangkatan, tetapi jadi ragu ketika membaca diskusi di lain tempat. Merasa bahwa penyebabnya adalah ilmunya yang kurang.
Karena merasa kurang ilmu, maka ada baiknya menambah waktu studi, nggak mau lulus cepat-cepat agar ada kesempatan berinteraksi dengan dosen dan kegiatan ilmiah (proyek dosen). Hanya sayang, masih keberatan jika disuruh lanjut S2.
Aneh menurut saya. Satu sisi yang bersangkutan ingin tinggi di atas awan untuk bidang keilmuannya, tetapi nggak mau lanjut S2. Maunya hanya di level S1 saja. Ada apa ini ?
Hipotesis I : Jangan-jangan yang bersangkutan hanya merasa nyaman di lingkungan teman-teman angkatannya, yang secara sadar atau tidak sadar sudah mengangkat dirinya dalam status “di atas rata-rata”. Terbukti ketika membaca topik sama di tempat lain, toh belum bisa mengikuti juga.
Dari tulisan yang disampaikan, ada keinginan untuk banyak membaca buku, ikut lomba dan proyek dosen. Keinginan, itu berarti belum dong. Jika tidak pernah ikut lomba, atau ikut proyek dosen, lalu bagaimana yang bersangkutan bisa merasa bahwa dianya di atas rata-rata. Mahasiswa disebut rata-rata adalah mahasiswa yang belajar doang di kelas dan dapat lulus. Apakah di atas rata-rata hanya berdasarkan I.P saja yang 4.0 misalnya.
Untuk mahasiswa yang unggul di I.P maka biasanya pasti sudah diajak atau diminta untuk jadi asisten, untuk membantu dosen mengajarkan materi ke teman-teman. Jika ini diterima, dan dilaksanakan dengan baik, maka itu sebenarnya suatu proses belajar yang baik karena dapat mendalami lagi ilmunya. Bahkan menurut saya, lebih baik dari sekedar ikut proyek dosen. Ini bisa bervariasi mutunya, bisa-bisa hanya sekedar tukang, hanya bertambah trampil cari duit.
Jadi jujur saja, bahwa adanya ketidak-inginan untuk melanjutkan jenjang S2 tetapi tetap ingin lebih lama di S1. Itu ada apa ?
Kalau alasannya karena ada adik kelas yang cantik dan sedang diincar, adapun saat ini belum dapat sehingga perlu waktu interaksi lebih lama di kampus. Saya bisa memaklumi, dan kalau jadi orangtuanya pasti setuju saja. Cari jodoh waktu masih di kampus itu lebih berprospek lebih baik dari ketika nanti kerja, yang cakupan lebih terbatas.
Sedangkan kalau ingin tetap sekolah S1 sekedar nambah ilmu, maka saya sepakat dengan pendapat orang tuanya, yaitu TIDAK SETUJU. Maklum nambah 1/2 tahun itu juga berarti nambah biaya. Juga ada kesan, lulus lama itu karena kurang pintar, yang pintar pasti cepat lulus. Keputusan orang tuanya untuk TIDAK SETUJU lebih lama studi adalah sangat logis.
Logikanya, jika ingin nambah ilmu, maka langsung saja ambil program S2 di kampus tersebut ( oya, ini kampusnya termasuk kampus papan atas, yang program S2 dan S3-nya dianggap bereputasi di negeri ini). Nah ingin nambah ilmu lagi, maka tetap di kampus dan masuk level pendidikan yang lebih atas, agar ilmunya bertambah. Ini yang disebut logis.
Sebagaimana pernah saya sampaikan quote di buku, bahwa seseorang itu akan menjadi apa dikemudian hari dapat dilihat dari [1] buku-buku yang dia baca, dan [2] berinteraksinya sama siapa. Jadi kalau tetap di level S1, maka tentunya buku-buku yang banyak digunakan maupun orang-orangnya adalah ditujukan untuk level S1. Nggak benar juga, seorang profesor (merasa ilmunya tinggi) lalu mengajar mahasiswa S1 dengan level materi S3. Bisa-bisa banyak yang nggak masuk karena belum ada pondasinya.
Jadi kalau nanti masuk di level pendidikan S2, maka tentu akan ketemu orang-orang yang mau berpikir pada level tersebut. Nah yang baru lulus tadi dari S1, pasti akan terpaksa juga akan berpikir di level S2. Jika bisa menyesuaikan diri, berarti ilmunya meningkat. Kalau stress, maka itu berarti mentalnya belum siap. Lebih baik setelah lulus S1, lalu cari duit lagi. Jika ingin sekaligus menambah ilmu, maka bekerjalah pada bidang pekerjaan yang banyak memerlukan kerja otak, seperti di konsultan rekayasa asing. Itu bahkan lebih baik dari pada ikut proyek dosen.
Jujur saja, dalam era sekarang ini, yaitu adanya dosen profesional, maka yang disebut dosen bereputasi atau dosen berilmu itu bukan dari banyak proyek, tetapi dari banyaknya jurnal ilmiah yang dibuat. Dosen yang banyak proyek itu sebenarnya dosen yang tanggung. Kalau mau cari duit, lansung saja jadi pengusaha. Jangan jadi dosen. Tugas dosen itu ada tiga mengacu pada Tridharma Perguruan Tinggi, yaitu [1] Pendidikan dan pengajaran; [2] Penelitian dan publikasi ilmiah; serta [3] Pengabdian pada masyarakat.
Dosen ikut proyek itu biasanya dikaitkan dengan tugas no.2 dan no.3. Kalau benar-benar dikaitkan (ini konsep link-and-match) maka lihat hasil publikasinya. Jika tidak ada, tetapi mroyek terus. Ini mah sebenarnya cari duit, dosen hanya sekedar status agar dapat proyek. Untuk model seperti itu, pendidikan tinggi di kita, nggak akan maju. Maklum dikerjakan setengah-setengah. Padahal perguruan tinggi adalah salah satu harapan adanya riset & publikasi ilmiah, menjadi pusat keilmuan suatu negara. Ternyata dosennya hanya pada mroyek. 😀

Jika ingin mengambil S2 sebaiknya kerja dulu beberapa tahun atau langsung ambil S2 pak ?
SukaSuka
Menurut saya, sebentar atau lama bekerjanya, sebenarnya nggak terlalu berpengaruh. Sangat relatif sifatnya. Hanya saja jika lama bekerjanya kurang dari 3 bulan, maka rasanya nggak ada yang bisa dibanggakan dengan pengalaman tersebut. Bahkan kesannya itu masa percobaan. Juga ada beberapa yang masa percobaan yang sampai 6 bulan. Kalau bisa bekerja sampai satu tahun, maka tentunya tidak ada asumsi bahwa masa percobaannya gagal.
Asumsi bahwa minimum telah bekerja selama satu tahun hanya penting jika kita merasa bangga dengan perusahaan tempat kita bekerja, dan ingin itu menjadi bagian dari kurikulum vitae kita. Tetapi jika rasanya muak (tidak bangga bahkan stress) maka kerja seharipun lalu ambil kesempatan sekolah lagi, nggak masalah itu. Toh kita juga tidak bangga dengan mencantumkan nama perusahaan tersebut pada CV kita (maklum khan katanya muak).
Pengalaman kerja sebelum ambil S2 sangat penting agar kita punya wawasan tentang lingkungan kerja kita nantinya. Kalau kita sudah menyukai atau bahkan bisa mantap dengan tempat kerja, maka tentunya bidang S2 yang diambil adalah yang mendukung kemantaban tersebut. Jadi misalnya, karena IP baik, maka lulus lalu ditawarin menjadi dosen. Misalnya bidang teknik sipil dan dapat diterima di jurusan teknik sipil juga, bidang ilmunya adalah struktur misalnya. Maka sekolah lanjut bagi karir dosen adalah wajib. Jika demikian, maka ambil S2 sesegera mungkin. selama persyaratan yang ada tidak menjadi kendala.
Bisa juga sekolah lanjut sebagai pelarian. Seperti saya misalnya, saya waktu itu ambil sekolah lanjut karena tidak puas dengan kondisi bekerja saat itu. Merasa statik, pengin sesuatu yang berbeda. Waktu itu ada dua pilihan, pindah kantor atau sekolah. Hanya saja ketika pindah kantor, tidak ada peningkatan finansial, maka pilihannya adalah sekolah lagi. Saya ini waktu itu, atau juga saat ini, bukan seorang ambisius yang menentukan rencana jauh-jauh hari sebelumnya. Saya ini hanya mengalir saja, hanya saja jika ada ketidak-puasan saya mencoba mencari alternatif lain yang baru. Maklum, menurut saya itu lebih baik daripada mengeluh-mengeluh. Biasanya kalau orang mengeluh itu tidak ada progress perkembangannya. Maklum, kalau ada masalah. lalau mengeluh, maka rasanya jadi lega. Energinya hilang. Padahal adanya perasaan tidak puas itu juga penting bagi kemajuan karir kita.
Nah, karena saya itu hanya tipe orang mengalir, maka saya ambil S2-nya setelah lebih dari 4 tahun, atau bahkan 5 tahun (sudah tua). Toh juga ok-ok saja, bahkan bisa lanjut ke S3. Tapi tentang itu semua, sekali lagi dari mahasiswa dulu tidak ada terpikirkan dalam benak akan seperti itu jalannya. Ini tentu tidak boleh ditiru karena kesannya kurang ambisius. Mungkin kalau saya ini tipe ambisius, mungkin sudah lama jadi profesor. 😀
SukaDisukai oleh 1 orang
Baik Pak terima kasih atas nasehatnya.
Jadi kesimpulannya ini ya Pak :
“Pengalaman kerja sebelum ambil S2 sangat penting agar kita punya wawasan tentang lingkungan kerja kita nantinya”
SukaSuka
Intinya, sekolah itu cari ilmu, wawasan dan jaringan pertemanan, adapun bekerja adalah cari duit. Selanjutnya agar kita tidak sia-sia dalam berusaha maka bekerjalah bermodalkan ilmu yang didapat tersebut. Karena kalau sekedar bekerja di luar itu, maka sebenarnya ada waktu yang terbuang, atau tidak efektif. Karena bisa saja yang digunakan adalah wawasan dan jaringan pertemanan belaka. Tapi ya seperti itu, tidak efisien.
Hanya saja meskipun tidak efisien, selama itu dapat dinikmati dan tidak disesali maka nggak apa-apa. Itulah kehidupan 1 + 1 tidak mesti 2 tetapi bisa juga 11. Ya khan.
SukaSuka
Oh ya Pak mau tanya, bagi seorang konsultan, apakah perlu benar2 menguasai Metode Elemen Hingga (MEH), atau cukup sekedar memahami dasar-dasar logika metodenya dan cara membaca output dari software ? Karena saya sedang mengambil mata kuliahnya, dan bagi saya ini adalah mata kuliah tersulit yang pernah saya ambil 😀
SukaSuka
Itu nggak usah dipikirkan, selama sekolah pastikan saja bisa lulus dengan nilai terbaik. Anda sekolah di perguruan tinggi umum, bukan vokasi, maka sebenarnya di sana tidak menyiapkan anda langsung dapat bekreja, tetapi menyiapkan anda agar cepat belajar dan menguasai sesuatu yang baru dengan baik. Jadi kemampuan terbaik dari lulusan sekolah (universitas) adalah kemampuan dapat belajar secara cepat.
Jadi pernyataan kamu di atas nggak perlu diungkapkan, karena bisa saja materi yang diajarkan di universitas, tidak mesti akan persis dengan yang kita temui ditempat kerja nantinya. Nanti kalau sudah bekerja, siap-siaplah untuk belajar lagi menyesuaikan dengan kebutuhan real yang diminta perusahaan. Kalau sekolah, maka sekali lagi pastikan lulus dengan nilai terbaik. Itu saja. O ya juga menjalin kerja sama yang baik dengan dosennya, siapa tahu akan berguna nanti.
SukaDisukai oleh 1 orang
Baik Pak, mantap
SukaSuka
Pa Wir…gimana cara hitung splicing kolom baja dgn metode aisc 2010…dibuku pa wir tidak ada ya hitungan splicing kolom?
Terima kasih
Andi
SukaSuka
Salam hormat Pak Wir, Alhamdulillah saya bisa bertemu bapak melalui situs blog ini, terimakasih sudah banyak berkarya dan banyak menginspirasi pak, terimakasih juga sudah berbagi file2 terkait seminar HAKI Agustus kemarin, semoga banyak manfaatnya.
SukaDisukai oleh 1 orang
Selamat malam pak wir. saya mahasiswa teknik sipil yg sedang mengerjakan tugas akhir, saya sangat tertarik dengan desain bagunan tahan gempa, dan saya penggemar blok bapak. masalahnya adalah saya tinggal dan kuliah di pontianak, dan gedung yg menjadi studikasus TA saya dibangun di pontianak, daerah dengan zona gempa paling rendah seIndonesia. judul TA saya “Perhitungan Struktur Tahan Gempa Gedung Parkir di Pontianak”, yang membuat saya kesal adalah judul saya jelas Struktur Tahan Gempa, tapi isinya tidak ada menyangkut analisa gempa, hanya sedikit mengenai input respons spektrum, dan cek periode bangunan. iya saya tau itu karena di pontianak pasti menggunakan Sistem rangka pemikul momen biasa yang memang tidak ada persyaratan khusus untuk desainnya. saya kira itu yang membuat lulusan teknik sipil di pontianak sangat terbatas pengetahuanaya tentang desain bangunan tahan gempa. mungkin bagi mereka itu tidak masalah, toh di pontianak tidak ada gempa jadi tidak perlu lah terlalu paham menggenai desain gempa. tapi saya simpulkan di sisi lain bahwa lulusan mahasisa teknik sipil, di pontianak, bidang struktur kususnya belum bisa bersaing dengan lulusan sipil dari univ lain di luar kalimantan. karena menurut saya persaingan dan lapangan kerja tidak hanya di kalimantan bagi yg tinggal di kalimantan. bisa saja lulusan univ di kalimantan bekerja di daerah dengan zona gempa tinggi seperti di sulawesi atau sumatra. dan ketika itu terjadi mereka hanya memiliki bekal yg minim dalam hal desain bagunan tahan gempa. ya itu karena selalu terikat dengan kondisi wilayah dengan zona gempa rendah. saya sering membaca dan mempelajari buku2 desain tahan gempa, peraturan SNI gempa dan jurnal2 mengenai desain bangunan tahan gempa. dan saya coba isneg2 menambahkan bebarapa pengecekan seperti analisa strong column weak beam dlam TA saya. setelah dosen saya tau, saya di ketawain. “itu nggk perlu, lah orang itu loh SRPMB, untuk apa analisa seperti itu nggk perlu,,,dlll”. jadi bagaimana menurut bapak? iya mungkin saya salah karena saya melebih-lebihkan. bagaimana menjelaskan kepada dosen saya kalo saya ingin lebih paham desain gempa walaupun menggunakan SRPMB.
SukaSuka