Berapa tahun lalu dalam rangka mencari dosen untuk program S2 maka ketemu kadindat dosen bergelar doktor dari perguruan tinggi Jakarta yang terkenal (saat ini sedang jadi berita hangat). Waktu itu (saya masih S2) merasa heran dengan penjelasan beliau, bahwa tidak ada masalah dengan materi mata kuliah yang akan diajarkan di program S2. Semua sanggup katanya kalau diberikan kesempatan untuk mengajar. Alasannya “Saya khan doktor, jadi wajar dong kalau bisa semua“.
Jujur saja, selain heran ada sedikit rasa sangsi di hatiku, saat itu. Apa betul pernyataan beliau, bahwa S3 atau doktor itu bisa apa saja. Nah dengan berjalannya waktu, dalam perjalanan karirku ternyata Tuhan memberi kesempatan kepadaku untuk meraih gelar S3. Nah setelah mendapatkan gelar doktor tersebut, maka sedikit-sedikit mulai bisa melihat kebenaran dari pernyataan dosen doktor temanku tersebut. Bagaimana tidak, aku yang hidup dari mengajar saja dapat melihat bahwa agar eksis maka perlu mengajar banyak mata kuliah. Apa saja pokoknya bisa dibuatkan surat tugas mengajar dari fakultas dimana jurusan tersebut berada.
Realistis saja, kondisi seperti yang aku jumpai ini juga berlaku bagi banyak dosen yang hidupnya hanya dari mengajar saja. Hanya saja istilah apa saja itu sangat subyektif sifatnya. Tiap-tiap dosen bisa berbeda. Aku beruntung, pengalaman praktisiku sebelumnya adalah di konsultan struktur, itu sangat membantuku apalagi pada saat aku masuk perguruan tinggi dahulu aku baru lulus program S2 ilmu teknik sipil kekhususan struktur. Nah keduanya itu meningkatkan posisi tawarku di universitas bahwa aku ini ahli di bidang struktur. Bukan yang lain-lain.
Nah dengan posisi tawar seperti itu maka yang dimaksud mengajar apa saja, adalah terbatas pada bidang atau yang terkait dengan ilmu struktur. Ini tentu aku bersyukur banget karena bisa mendalami bidang yang memang aku geluti dahulu. Itu pula yang menjadi jawaban bahwa dengan pengalaman lebih 10 tahun di dunia praktisi konstruksi lalu mendapatkan kesempatan masuk ke dunia akademisi lebih dari 10 tahun juga akhirnya ilmu yang aku renungkan dapat terkulminasi menjadi buku struktur baja yang saat ini telah tersebar ke seluruh Indonesia, yang menyebabkan aku juga dipanggil kemana-mana untuk mempromosikan, misalnya ini, ini dan ini. Ingat itu acara tahun 2017 saja lho. Belum tahun-tahun sebelumnya.
Nah itu membantuku untuk membatasai apa yang dimaksud mata kuliah apa saja adalah hanya terbatas pada mata kuliah struktur. Jelas itu memang keahlianku. Itu yang menjelaskan meskipun aku di perguruan tinggi aku bisa mengembangkan diri sesuai yang aku inginkan. Cocok.
Khan harus seperti itu pak Wir, cara dosen mengembangkan diri ?
Itu yang kelihatannya terlihat dari luar. Mengembangkan bidang yang menjadi minatnya. Kalau di perguruan tinggi besar, dimana dosen direkrut atau dinominasi oleh profesor-nya maka memang demikian adanya. Tetapi kalau di dunia industri pendidikan yang berorientasi bisnis, perguruan tinggi swasta umumnya demikian. Maka dosen akan direkrut oleh HRD, adapun mereka akan merekrut berdasarkan kebutuhan. Mana mata kuliah yang benar-benar membutuhkan. Jadi seorang kadindat dosen yang tidak mempunyai posisi tawar dan perlu pekerjaan dosen (minimal butuh status) maka kadang posisi yang diambil tidak seperti yang diharapkan. Tapi ya gimana lagi, . . . ya sudahlah. 😀
Nah itu yang menjawab ke kita, mengapa begitu banyak dosen (lebih banyak jumlahnya dari negara Singapura atau bahkan jerman), tetapi ternyata dampak kemajuan yang dihasilkan tidak sebanding dengan negara-negara tersebut. Maklum banyak yang berharap jadi dosen itu untuk mengepulkan asap dapur (ini aku termasuk lho 😀 ). Ada juga yang memang pintar, tetapi ternyata bidang yang ditekuni tidak menjadi passion-nya. Ini banyak di perguruan tinggi swasta, adapun di perguruan tinggi negeri karena cukup banyak yang masuk jadi dosen sewaktu yunior karena diberi rekomendasi seniornya, maka mereka bisa bertumbuh sesuai passion-nya. Hasilnya jelas berbeda. Adapun saya adalah sedikit dosen di pts, yang diberi kesempatan untuk bertanggung jawab mengampu mata kuliah yang memang menjadi minat saya. Ada passion di dalam diri saya yang membedakan dengan teman-teman dosen yang lain yang sekedar jadi dosen hanya karena punya gelar tinggi dan IPK bagus.
Apa pentingnya passion pak Wir, dibanding IPK tinggi. Bukankah yang paling penting itu IPK dan gelar Summa Cum Laude ?
Gitu ya. Jujur saja, saya ini IPK waktu S1 (di UGM) hanya 2.58 jauh dari prestasi untuk disebut cum-laude, juga di S2 yah biasa-biasa, meskipun lebih 3.0. Bahkan di program doktor saya diberikan oleh seorang profesor nilai C dua kali. Jadi boro-boro disebut summa cum-laude. Kalau orang nggak punya percaya diri, tentu akan minder mendapatkan nilai seperti itu. Tentang hal ini aku jadi ingat teman doktorku, yang sampai-sampai mengajukan khusus ke bagian akademik untuk menggugurkan mata kulihnya yang ada nilai C. Untuk apa, agar di ijazah dapat ipk full 4.00.
Nah dalam perjalanan waktu, aku mendapatkan pemahaman mengapa aku tidak diberikan ipk full 4.00 seperti temanku itu. Pertama agar aku tidak sombong, bahwa aku ini sudah pintar. Akibatnya aku terus belajar, belajar dan belajar lagi. Ini koq diulang-ulang ya, kaya pak Jokowi, yaitu kerja, kerja dan kerja lagi. Ini mungkin khas sarjana lulusan jogja (UGM). 😀
Kedua aku juga sadar sekarang bahwa kenapa dapat C adalah karena fokus yang menjadi perhatianku berbeda, tidak mesti bisa sama dengan orientasi dosennya. Jadi secara tidak sadar ketika dosen berharap ke kiri ternyata aku lebih suka ke tengah atau kanan, misalnya. Aku cenderung bukan tipe pengikut, aku suka berbeda, lain dari yang lain. Tahu sendiri, kalau tidak sama dengan harapan dosen, tentu nilainya tidak bisa full. Bisa juga ini diartikan lebih kreatif. Iya nggak. 😀
Ah Bapak, bisa saja ngeles !
Ngeles gimana, dengan berjalannya waktu. Jelas pengaruh kedoktoranku lebih berdampak dari teman doktorku yang ipk-nya 4.00 tadi. Buku-bukuku lebih banyak dan diterima dengan baik dari punya teman doktorku tersebut. Akibatnya dianya sangat ngotot sekali mencantumkan gelar doktor di depan namanya disetiap event. Adapun aku, biasa-bisa saja, nggak pateken dengan golor doktor, yang penting namaku di eja benar saja. Aku sudah puas. Ini misalnya poster acara untuk tanggal 18 Oktober 2017 besok di Pontianak.
Gelar doktor bagiku bukan segala-galanya. Aku lebih penting dengan sebutan penulis. Maklum, kalau gelar doktor yang aku gunakan untuk daya tarik, maka jika di forum yang sama ada profesornya maka aku akan kalah pamor. Tetapi kalau penulis yang aku gunakan, maka belum tentu profesor yang ada didekatku punya buku setebal yang aku punya. Iya khan. 😀
Nah dengan latar belakang pemahaman seperti itu maka sepakat khan kalau aku juga kompeten dengan ilmu-ilmu teknik sipil lainnya, tetapi khusus ilmu struktur tentunya. Nah dengan alasan agar aku masih terdaftar sebagai dosen (dan dapat gajian tentunya) maka aku juga mengajar banyak mata kuliah antara lain adalah struktur baja (1, 2, dan 3), struktur kayu, komputer rekayasa struktur, dan pemrograman komputer. Ditambah mata kuliah non-kelas yaitu kerja praktek dan skripsi.
Jadi pada satu sisi aku memang bisa mengajar banyak mata kuliah, persis seperti argumentasi kadindat dosen yang doktor alumni universitas terkenal jakarta, yaitu karena aku doktor. Tetapi pada sisi lain, aku juga masih mensepakati bahwa mata kuliah yang banyak itu harus masih dalam koridor keilmuan kita juga. Tanpa itu, maka jelas yang bisa dikerjakan adalah mengajar saja, akan akan sulit untuk ditindak-lanjuti ke level riset-penelitian dan publikasi ilmiah. Ok.
Wajar saja khan mata kuliah yang aku ampu di atas. Itupun sebenarnya masih terbatas, masih banyak lagi mata kuliah dalam rumpun ilmu struktur yang tidak aku ajarkan. Jadi kalaupun aku punya tenaga lebih, maka tentunya aku juga bisa mengajar mata kuliah mekanika teknik, analisa struktur, struktur jembatan, struktur beton, teknik menulis.
Tapi untunglah pihak universitas masih memberiku peluang untuk menyelesaikan juga tridharma perguruan tinggi. Saya diberi kesempatan tidak hanya mengajar saja tetapi juga kesempatan untuk membuat riset-penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Poster pada foto di atas adalah bukti cara ku mengabdi pada masyarakat. Iya khan.
Bagaimanapun juga perguruan tinggi akan dikenal juga dari produk dosen yang dihasilkan. Adapun mata kuliahnya adalah komsumsi mahasiswa yang mendapatkannya dengan mengikuti perkuliahan resmi di perguruan tinggi (harus membayar untuk mendapatkannya). Sedangkan produk keilmuan dosen dapat dinikmati masyarakat dari seminar-seminar atau buku-buku yang dihasilkannya.
Jadi sehebat-hebatnya dosen yang hanya mengajar maka yang akan menikmati hasilnya adalah mahasiswanya saja. Di luar itu, dosen yang bersangkutan tidak dikenal. Ini ada baiknya juga bagi sang dosen, apapun yang diberikan ke mahasiswa tidak ada yang mengevaluasi. Jadi bisa saja mengaku pakar di kampusnya, tetapi di luar bukan apa-apa. Kalaupun ada undangan ke dosen tersebut biasanya karena terimbas oleh nama kampusnya yang beken. Eh koq jadi curhat ya. Nggak baiklah. 😀
Nah jika di gambar di atas aku akan mengajarkan bidang struktur baja, maka kedepannya aku juga akan berminat ke struktur kayu. Semester ini adalah event penting pada mata kuliah kayu yang aku ajarkan. Penting karena aku merubah materi struktur kayu tradisionil ke struktur kayu modern yang berbasis pada literatur kayu terkini di dunia. Mau tahu, lihat saja soal UTS Struktur Kayu yang kemarin lusa baru aku berikan ke anak-anak didikku. Seperti biasa kalau anda pelajari, soal ini adalah hasil kreasiku sendiri. Nggak tahu apakah materinya juga diajarkan juga ditempat lain. Tetapi di UPH ya, dan itu adalah aku yang mempertanggung-jawabkan nanti ke publik.
Ini soal konstruksi kayu modern di Jurusan Teknik Sipil, Universitas Pelita Harapan, Lippo Karawaci, Tangerang.
He, he, he, . . . . . ada pelajaran mengarang (maklum aku khan penulis) dan juga ada hitung-hitungannya (ini khas insinyur). Nah sekarang bandingkan materi di atas dengan soal yang diberikan oleh guru struktur kayu di universitas anda. Masukan anda sangat berharga untuk kemajuan konstruksi kayu Indonesia ke depannya. GBU.