studi banding, lagi-lagi studi banding !


Ketika jaman sekolah dulu, istilah studi tour lebih banyak dikenal dibanding istilah studi banding. Maklum kala itu dilakukannya beramai-ramai, satu sekolah, berangkatnyapun memakai beberapa bis sekaligus. Seru. Tentang istilah “studi tour”, saya  sangat ingat sekali, maklum di badan bis, di sampingnya terikat kuat spanduk besar dengan tulisan “Studi tour SMA  . . . ke  . . . “.

Wah jadi nostalgia nih. 🙂

Studi tour dan studi banding, hampir mirip. Ke duanya mengacu pada kepergian ke suatu tempat lain yang baru, untuk mendapatkan atau melihat sesuatu yang baru pula. Itu diyakini agar mendapat tambahan pengetahuan atau minimum wawasan pikir yang baru, yang diharapkan akan mempengaruhi cara berpikirnya kemudian. Idealnya itu bahkan bisa dijadikan suatu motivasi baru, atau dasar bagi suatu tindakan kreatifitas yang lain.

Ketika sudah bekerja kemudian, untuk suatu hal sama, istilah studi tour tidak digunakan lagi. Kali ini kalau ditanya maka jawabannya adalah melakukan studi banding, bukan studi tour. Bedanya saya kira hanya jumlahnya relatif lebih sedikit, maklum bukan murid tetapi pegawai, dan juga tanpa gembar-gembor, tanpa spanduk “Studi Banding di . . .”. Tapi kalau mau dipikir, maka esensinya sama.

Istilah mendapatkan wawasan berpikir baru atau bahkan motivasi atau tindakan kreatif baru memang sangat abstrak. Maklum obyeknya ada dalam pikiran, jadi seperti apa bentuknya maka diyakini akan berbeda-beda di setiap kepala orang. Subyektif.

Ketika jaman SMA dahulu, studi tour-nya adalah ke Jakarta dan Bandung. Ketika itu, mungkin orang awam akan melihat kami sebagai serombongan anak-anak muda yang terlihatnya jalan-jalan. Maklum, waktu itu acaranya khan hanya pergi kesana kesini, mendatangi berbagai museum juga mengunjungi Taman Mini Indonesia Indah dan sebagainya. Dapatnya apa hayo, ketika pulangnya terdengar kabar ada teman yang “jadian”. Maklum ketika studi tour, ternyata digunakannya sebagai “pendekatan”. Juga jika ditanya teman-teman lain, maka umumnya jawabannya adalah senang bisa jalan-jalan melihat kota besar. 🙂

Jadi studi tour ketika SMA dulu sebenarnya adalah acara jalan-jalan. Jadi ketika istilah studi tour dijadikan istilah lain yang intinya sama, yaitu studi banding dan dilaksanakan oleh anggota DPR maka bisa saja itu berarti jalan-jalan juga dong.

So what gitu lho !

Kalau yang DPR itu khan lain, studi tour atau studi banding atau jalan-jalan sebenarnya bukan masalah yang besar, yang membuat masalah besar adalah biaya yang dihabiskan untuk itu. Itu khan sebenarnya yang menjadi masalah. Tahu sendiri khan, itu khan uang rakyat dari hasil membayar pajak, eh dipakai jalan-jalan, kalau hanya empat atau enam juta per orang untuk studi tour mungkin nggak jadi masalah, ini yang sekarang dipakai anggota DPR itu bisa ratusan bahkan milyaran untuk satu rombongan. Itu khan keterlaluan. Nggak percaya lihat saja ini contohnya. Bahkan yang lebih memalukan lagi adalah bahwa anggota-anggota yang melakukan studi banding itu kelihatan tidak mempersiapkan diri dengan baik. Kelihatan tidak punya kompetensi yang dianggap dapat mewakili rakyat. Untuk kasus yang saat ini sedang disorot oleh banyak media adalah studi banding DPR ke Australia,  ini beritanya. Jangan lewatkan, pelajari dengan baik dan kalau anda kebetulan anggota DPR maka lain kali jangan seperti itu.

He, he, kembali ke studi banding. Istilah itu memang keren, saya yakin yang akan melakukannya pasti tidak mau jika istilah itu diganti dengan “jalan-jalan”. Pasti saya yakin kurang sreg. Kesannya kurang formal, begitukan. Padahal esensinya sama, kita ketika studi tour atau studi banding khan memang hanya jalan-jalan, bukan bekerja (rapat atau urusan bisnis).

Jadi kalau begitu, kalau studi tour itu hanya jalan-jalan, berarti nggak penting dong pak ?

Kenapa nggak penting. Apakah kalau memakai istilah jalan-jalan jadi tidak penting, dibanding kalau memakai istilah studi tour atau studi banding. Tentang studi tourku dulu ketika SMA dari Yogyakarta ke Jakarta, meskipun kesannya hanya jalan-jalan, tetapi bagi diriku yang orang udik (waktu itu) adalah sangat penting sekali. Adanya pengalaman seperti itu (pernah ke kota besar) membuat di benakku timbul motivasi, “nanti kalau lulus sekolah aku akan bekerja di kota Jakarta saja“. Sekarang setelah beberapa puluh tahun kemudian, saat menulis ini aku sudah hidup di Jakarta, aku bukan orang udik lagi. Itu khan hasil adanya motivasi tersebut, hasil acara studi tour yang diselenggarakan sekolah dulu. Kalau sudah seperti itu, coba pikirkan, itu penting atau tidak ?

Judulnya itu lho pak Wir, koq kesannya apa gitu ?

Kenapa, ada yang aneh dengan judul threat ini. Introduction tentang studi banding yang aku kemukakan adalah sesuatu hal yang penting, yang baik. Sedangkan di dunia pendidikan adalah mencoba mengajarkan hal yang baik, jadi jika lagi-lagi ketemu yang baik khan bagus bukan. Jadi karena aku merasa bahwa studi banding atau studi tour atau bahkan jalan-jalan dapat membawa kebaikan maka aku mencoba bersaksi akan hal itu. Ini penting karena kita tahu di luar sana, karena akibat tingkah laku segelintir orang , maka studi banding dikatakan sebagai sesuatu hal yang tidak baik. Nggak benar itu.

Jadi sebaiknya bagaimana pak Wir ?

Begini dik, aku khan dikenal orang sebagai dosen, bahkan pemerintah memberiku Sertifikat Pendidik. Untuk itu bahkan aku dibayar. Itu khan artinya aku jadi dosen ini tidak sekedar mata pencaharian, itu merupakan tugas dan kewajibanku. Untuk itulah aku harus memperkembangkan diri agar aku sekehendak dengan sebutan tersebut, bahkan maunya sih tidak sekedar dosen, tetapi menjadi GURU. Tahu khan, itu lho ‘digugu dan ditiru‘.  Cari sana kamus bahasa Jawa.

Untuk menjadi guru maka kualitas materi atau tepatnya isi harus sepadan. Karena hidupku di dunia pendidikan tinggi, yang artinya tempat belajar formal tertinggi maka dimana lagi aku harus belajar. Dimana hayo ?

Nggak gampang khan. Kalau orang lain, mahasiswa misalnya, jika nggak bisa maka tinggal bertanya kepada yang ngakunya dosen. Seperti aku ini, dari situ diharapkan mendapat jawaban. Tetapi kalau seperti aku, tanyanya ke siapa ? Masalah struktur baja misalnya, jika aku di kampus, kepada siapa aku dapat bertanya. Kamu tahu khan , untuk perguruan tinggi dengan jumlah murid perkelas yang tidak banyak, maka jelas yang namanya dosen baja di kampus hanya seorang. Dosen yang lain pasti mengajarnya bidang lain, jadi belum tentu menguasai materi struktur baja. Jika kondisinya seperti itu lalu kalau aku akan bertanya, kepada siapa itu aku tujukan. Nggak gampang khan..

Paling yang bisa dilakukan adalah ke buku. Itupun jika ada. Jadi bayangkan jika seorang dosen nggak pernah membaca buku. Maka dapat dipastikan bahwa bisa saja yang bersangkutan menjadi tak tahu apa-apa, khususnya perkembangan terbaru. Kalaupun kasusnya seperti itu, maka dapat dipastikan materi yang diajarkan sudah out-of-dated.

Materi out-of-dated jika diberikan untuk bidang pengajaran, maka siapa yang tahu. Mahasiswa khan masih polos, jelas dia nggak ngerti yang diberikan sudah terbaik atau tidak, oleh karena itu tidak akan menjadi permasalahan. Apalagi kalau dosennya pinter cerita, pintar omong di depan kelas, ditambah sendikit pengalaman praktis sebagai bumbu. Lalu akhirnya diberi nilai yang baik. Udah deh pasti jadi dosen favorit.

Jadi jadi dosen favorit, itu tidak ada hubungannya apakah dosennya up-to-dated atau tidak. Itu hanya masalah disenangi atau tidak.

Karena mahasiswa setiap tahun adalah baru, maka pengulangan materi yang sama oleh dosen yang out-of-dated adalah tidak menjadi masalah, yang penting adalah seperti tadi di atas. Itulah mengapa, jika orang tahu maka dosen yang banyak mengajar saja bukan sesuatu yang istimewa. Memang dia dibayar untuk itu, namanya staf pengajar. Jangan sebut dia guru. 😐

Lalu gimana pak Wir.

Ok, penjelasanku ini mungkin subyektif. Tetapi sebenarnya kita para dosen pasti sudah tahu, karena khan ada Tri Dharma Perguruan Tinggi. Itu lho [1] pendidikan dan pengajaran; [2] penelitian dan publikasi; [3] pengabdian kepada masyarakat.

Jadi intinya bahwa dosen tidak hanya mengajar. Agar bisa melaksanakan tridharma yang lain, maka dosen juga harus bisa dan giat belajar. Selalu up-to-dated dengan materi yang dikuasainya. Jika ternyata dalam belajar, sudah tidak ada guru lagi yang bisa membantu, maka dosen harus punya inisiatif belajar dari yang lain. Paling gampang adalah dari buku. Ini yang biasa terjadi.

Jika buku tidak ada, atau untuk masalah yang memang belum ada bukunya.

Lho khan pasti ada bukunya pak Wir, emangnya ada yang belum ada bukunya.

Ada. Jika kamu mau tahu, coba baca buku karanganku. Sudah habis sih di toko buku. Tapi jika kamu dapat membacanya, maka kamu akan tahu bahwa materi yang di sana sebagian besar belum pernah ada yang menulis. Itu hal yang baru.

O ya, jika kamu kesulitan dapat buku tersebut, coba cari makalahku yang kemarin aku presentasikan di Hotel Gran Melia, tanggal 7 April 2011 . Makalahku setebal 49 halaman, materinya juga belum pernah ditulis orang khususnya yang berbahasa Indonesia. Nggak percaya, down load saja di threat ini.

Jika sudah tidak ada guru, atau juga belum ada bukunya, maka seorang dosen yang ingin disebut guru harus bisa belajar dari yang lain, misalnya belajar ke alam. Caranya, lakukanlah dengan metode penelitian ilmiah, penelitian eksperimental misalnya. Hanya sayang, ilmu penelitian belum secara profesional diajarkan di level S1, baru mulai ditekankan di level S2. Yang bagus adalah yang lulusan S3, mereka sudah membuktikan diri mampu melakukan penelitian ilmiah dengan disertasinya. Karena alasan itulah, pada undang-undang tentang dosen maka untuk menjadi dosen maka seorang harus minimal berpendidikan S2.

Belajar dari alam melalui penelitian ilmiah memang tidak gampang. Tetapi kalau itu bisa, wah luar biasa. Cara lain belajar bagi seorang dosen, selain dari buku atau dari alam semesta adalah dari masyarakat profesi. Caranya adalah melalui studi banding. Itulah mengapa aku mendukung studi banding dilakukan bagi seorang dosen.

Bisa memberi contoh studi banding yang baik, pak Wir ?.

Yang baik, gimana ya.  Kata baik adalah relatif, dan setiap orang bisa memberi uraian yang bersifat subyektif. Tetapi untuk itu ada baiknya aku melihat dari sisi efektivitas biaya, waktu dan kualitas pengetahuan yang diperoleh. Bagaimana dengan waktu yang pendek, biaya yang minimal mendapatkan kualitas pengetahuan yang tidak diragukan lagi, yang tidak murahan begitu maksudnya. Kualitas di sini tentunya yang mendukung kompetensi yang melakukan studi banding. Relevan maksudnya. Ini penting jangan seperti saya, yang mengajar bidang civil engineering melakukan studi banding ke tempat karaoke di P. Bali. Nggak nyambung itu. Kecuali tentunya, jika itu di tempat karaoke tersebut dibangun suatu bangunan struktur baja yang unik, yang belum ada di Indonesia sebelumnya. Wah itu baru bagus.

Salah satu kompetensi saya adalah bidang struktur baja, maklum aku khan dosen yang mengajar materi tersebut di UPH. Oleh karena itu, suatu studi banding yang relevan adalah mengunjungi tempat yang berkaitan dengan kompetensi yang dipunyai, yaitu struktur baja. Akan lebih baik lagi jika tempat itu mempunyai keistimewaan. Ini langkah awal yang sangat penting. Tidak gampang, karena ini menyangkut jaringan yang kita punyai, sejauh mana anda mengenal dan dikenal oleh orang lain.

Tentang hal itu maka blog ini ternyata sangat membantu dalam hal mengenal dan dikenal oleh orang lain. Ingat tidak pernyataanku tentang sistem sambungan pada jembatan baja. Aku pernah menyatakan dalam salah satu threat ini, di sini, bahwa sambungan untuk baja secara teoritis yang paling baik adalah sambungan las bahkan untuk jembatan. Tentang hal itu ternyata ada beda pendapat dengan orang lain yang kebetulan praktisi senior dari pemerintahan (Departemen PU), yang menyatakan bahwa untuk jembatan harus pakai baut mutu tinggi dan bukan las. Sambungan las tidak baik, katanya. Nah artikel tentang bagaimana aku berbeda pendapat itu mendapat tanggapan ramai dari pembaca, ada yang mendukungku, tetapi ada juga yang memaklumi pendapat praktisi tersebut.

Jadi pak Wir berani berbeda pendapat dengan pakar tersebut ya pak ?

Kamu itu mengomporin. Jangan kamu artikan seperti itu. Ada perbedaan pendapat atau tidak, itu bukan masalah penting, yang penting adalah argumentasi dibelakangnya. Itu sangat penting karena kadang-kadang yang berbeda itu dikarenakan latar belakang pemikirannya ternyata juga berbeda, jadi sebenarnya bukan sesuatu yang dapat dipertentangkan.

Tetapi yang menarik adalah bahwa adanya artikel yang saya tulis tersebut, ternyata dapat memancing orang-orang profesional di bidangnya untuk ikut berdiskusi. Salah satu yang signifikan adalah dari bapak Ir. Hendrik Sudharsono, salah satu direktur di PT. Cigading Habeam Centre, salah satu fabrikator baja ternama di negeri ini. Beliau meng-amini pernyataanku, meskipun pendapatku berbeda dengan praktisi dari Dept. PU tersebut. Mereka punya bukti bahwa apa yang aku sampaikan, yaitu jembatan baja yang disambung dengan las, telah mereka kerjakan. Mereka melakukannya karena kebetulan proyeknya bukan melalui pemerintah, tetapi dari  Jepang langsung, sehingga memang menjadi berbeda. Bahkan untuk itu beliau mengundangku studi banding ke tempatnya untuk melihat fakta itu.

Ini khan seperti pucuk dicinta, ulam tiba. Suatu studi banding yang tepat sasaran, mendukung dari apa yang sedang aku bahas. Tanpa dicari, eh ada yang menawari dan yang mengundangpun petingginya langsung. Narasumber yang sangat tepat untuk menimba ilmu.

Akhirnya pada hari Kamis yang lalu aku memenuhi undangan pak Hendrik Sudharsono ke factory-nya yang berlokasi di Krakatau Industrial Estate Cilegon. Aku berangkat pagi sampai kampus di Lippo Karawaci pukul 6.25, maksudnya mau menjemput prof Harianto (dosen senior di kampusku) yang sebelumnya tertarik juga untuk ikut studi banding ini.  Aku juga heran, Prof koq tertarik tentang baja, beliau khan peminatannya beton (material dan struktur). Eh, keherananku terjawab, ketika menunggu di kampus tersebut, datang sms dari beliau isinya “wir kamu jalan dulu, aku ada acara mendadak pagi ini“.

He, he, terjawab sudah keherananku. 🙂

Factory PT. Cigading Habeam Centre terletak di Jl. Eropa I – Kawasan Industri Krakatau, Cilegon, Banten. Ini ada peta yang diberikan pak Hendrik :

Gambar 1. Lokasi Factory PT. Cigading Habeam Centre, di Cilegon

Lokasinya strategi, jika anda berkendaraan dari arah Jakarta melalui tol Jakarta-Merak, maka keluar di pintu tol Cilegon Barat. Ikuti garis merah peta di atas, masuk Kawasan Industri Krakatau. Jadi relatif gampang dari kampusku di Lippo Karawaci, Tangerang. Tapi karena jalannya sedang dalam perbaikan maka sampai di sana pukul 9.00, atau sekitar dua jam perjalanan. Luas pabriknya sangat besar, sekitar 87330 m2, bahkan kata pak Hendrik, bangunan factory-nya tersebut merupakan bangunan terpanjang di kawasan industri tersebut. Ketika aku melihat di google map, ternyata memang gede juga.

Gambar 2. Bangunan terpanjang di Kawasan Industri Krakatau, Cilegon
(Sumber : Google Map)

Nah di bangunan terpanjang milik PT. CHC, di kawasan industri di Cilegon itulah aku akan melakukan studi banding tentang fabrikasi baja. Nggak main-main khan. Jadi selain didukung oleh buku-buku pustaka tentang struktur baja yang memadai, maka dapat bertemu langsung dengan orang yang sehari-harinya berkutat tentang struktur baja di tempatnya bekerja adalah salah satu langkah penting untuk meningkatkan kompetensinya tentang baja. Itulah maksud dari studi banding yang aku lakukan kemarin.

Ketika datang, ternyata pak Hendrik sudah menyambutnya di halaman. Wah senang sekali bisa ketemu langsung salah satu pimpinan perusahaan baja besar dan yang terkenal di negeri ini.

Pak Wir, apa sih bedanya PT. Krakatau Steel (KS) yang tempo hari mengundang bapak untuk jadi Invited Speaker, dengan PT. Cigading Habeam Centre (CHC) ini ?

Lho belum tahu ya. Jelas berbeda dik, PT. KS adalah produsen baja, posisinya di hulu. Sedangkan PT. CHC adalah pengguna, posisinya di hilir. Jika PT. KS adalah pabrik pembuat tepung terigu, maka PT. CHC adalah pabrik pembuat roti  dari tepung terigu tersebut. Cukup jelas ya.

Jadi untuk menjadi ahli tentang baja, maka ada baiknya mengenal PT. KS dan juga PT. CHC tersebut. Dengan mengenal lebih dekat tentang baja dari kedua pabrik tersebut secara langsung maka jika anda adalah dosen baja, ketika mengajar pada murid-murid pasti akan berbeda. Ini mungkin yang disebut link-and-match antara dunia teori dan dunia nyata, he, he, bukan ding, tetapi antara dunia perguruan tinggi dan dunia industri. Mana yang dibutuhkan atau ditemui di dunia industri, dapat secara khusus diperdalam dengan materi-materi real dari lapangan.

Motivasi itu pula yang menyebabkan aku bersemangat pagi itu ke Cilegon. Yah, maksudnya agar materi kuliahku tentang struktur baja di UPH benar-benar membumi tetapi juga up-to-dated. Jadi sebagai dosen baja aku tidak sekedar mengajar saja, tetapi juga belajar tentang baja. Ini pula yang menyebabkan mengapa materi yang aku ajarkan umumnya berbeda dari semeter-semester sebelumnya. Berubah tapi untuk perbaikan sih. 🙂

Oleh pak Hendrik, aku diajak ke ruang kantor dulu, dikenalkan dengan teman-teman pimpinan di pabrik tersebut, yaitu bapak Ir. Haryanto (kepala pabrik), juga Mr. S. Kanki, ekspatriat Jepang yang sudah lebih dari 20 tahun tinggal di Indonesia, beliau sudah fasih berbahasa Indonesia. Di sana aku mendapat beberapa brosur produk baja dan juga company profile. Sayang brosur produk profil baja welded dapatnya hardcopy, tetapi company profile ada yang berupa file PDF 1.5 Mb, relatif kecil. Jika tertarik, silahkan download di sini.

Seperti diketahui bahwa PT. CHC adalah produsen profil baja buatan, welded profil. Ini tentu berbeda dengan profil baja hot-rolled buatan PT. KS. Karena spesialis membuat profil buatan maka ukuran yang mereka buat tentu yang berbeda yang tidak ditemui pada profil baja hot-rolled. Umumnya profil baja hot-rolled yang ada dipasaran adalah profil WF588x300, nah kalau buatan PT. CHC bisa lebih besar lagi. Dari tabel profilnya tercantum ukuran dari 200×100 sampai 1200×450. Semuanya dibuat dengan menggabung-gabungkan pelat baja (produk KS atau yang lain) dengan sistem las. Karena memang itu pekerjaan utamanya, yaitu menyambung baja dengan las, dan itu telah dilakukannya sejak 1985 maka ketika aku menyatakan bahwa sistem sambungan las secara teori adalah sistem sambungan baja yang terbaik maka mereka mendukungnya.

Dari bincang-bincang di meja bersama orang-orang praktisi baja tersebut, dapat diketahui bahwa yang namanya sambungan las itu ternyata tidak sederhana. Bahkan mereka bisa menceritakan tentang las sehari sendiri, . . . “banyak pak kalau bicara tentang las” kata mereka. Aku sendiri dapat memaklumi, meskipun ketika dulu di kantor konsultan ketika membuat spesifikasi tentang sambungan las, ditulisnya cukup dengan dua kata, yaitu  sambungan las “sekuat profil“.

Ternyata untuk mewujudkan itu tidak sederhana seperti yang kita nyatakan. Jadi kasusnya persis seperti kita minta juru masak : “masakannya terserah deh, yang penting enak“.

He, he, omong memang lebih gampang daripada berbuat.

Kembali ke las. Teknik pengelasan tidak gampang, dan sayangnya hal itu tidak dipelajari di jurusan teknik sipil, yang diberikan di mata kuliah struktur baja umumnya hanya bagaimanan menghitung tebal las agar kapasitas nominal sambungna lebih besar dibanding kebutuhannya. Mungkin karena ketidak-tahuannya tentang las tersebutlah yang melatar belakangi mengapa pakar dari pemerintah tersebut merasa apriori dengan sambungan las.

Tapi bagi yang sehari-harinya berkutat dengan las, maka jelas mereka dapat dengan yakin sekali menyatakan seperti yang aku nyatakan, bahwa las secara teori dan juga praktek (kata orang-orang PT. CHC) adalah sistem sambungan yang paling ideal untuk material baja.

Untuk mewujudkan suatu sambungan las yang sekuat profil maka PT. CHC mempunyai berbagai teknologi las, seperti misalnya :

  • Shield Metal Arc Welding (SMAW)
  • Gas Metal Arc Welding (GMAW)
  • Flux Core Arc Welding (FCAW)
  • Submerged Arc Welding (SAW)

Menurut Mr. S. Kanki, ke empat sistem tersebut dipakai sesuai dengan kebutuhan, semuanya jika digunakan dengan tepat dan baik dapat menghasilkan sambungan sekuat profil, tetapi itu diperlukan agar fabrikasi dapat optimal dari sisi waktu, biaya dan mutu. Maklum, ini sudah pabrik bukan proyek. Pabrik khan sifatnya terus-menerus, jadi prosesnya harus optimum, tidak sekedar memenuhi persyaratan proyek pada umumnya, yaitu cost, waktu dan mutu. Setelah berdiskusi lama tentang masalah baja, akhirnya saya diajak untuk berkeliling ke bengkel kerjanya. Selanjutnya sekalian akan diajak bertemu client mereka dari Jepang dan melihat jembatan baja full welded yang akan dibangun di Nias siangnya.

Inilah foto-foto ketika aku berkeliling bersama bapak Hendrik Sudharsono, Mr. Kanki, bapak Haryanto ke pabriknya.

Gambar 3. Ini bukan sekedar workshop, ini pabrik baja lho.

Terus terang waktu yang relatif singkat dan ingin mengetahui semua menyebabkan foto-foto yang kuambil tidak detail. O ya, di foto terlihat ada gelembung-gelembung putih. Itu ternyata kameranya tadi di mobil kena AC, jadi ketika dikeluarkan jadi berembun. Moga-moga nggak mengganggu ya.

Gambar 4. Pengelasan otomatis pembuatan H-Beam khas Cigading

Karena digunakan mesin otomatis seperti di atas, maka untuk pembuatan profil H-Beam yang berukuran besar itu cukup dilakukan oleh satu operator saja. Itu dudukannya bisa diputar-putar lho, menyesuaikan kondisi yang tepat agar las-nya sempurna.

Gambar 5. Sistem pengelasan di pabrik

Jika anda perhatikan, di dekat kaki operator tersebut di siku profil baja, terlihat ada bara api warna merah. Itulah pengelasan yang sedang dilakukan. Perhatikan juga, tidak ada kaca mata khusus seperti yang umum kita melihat dibengkel-bengkel kecil ketika orang bikin pagar besi. Itu menunjukkan bahwa sistem pengelasan yang digunakan berbeda antara yang umum dijumpai diproyek dan yang digunakan di pabrik ini. Pantas pak Hendrik berani menjamin bahwa sistem sambungan las adalah yang terbaik untuk menyambung material baja. Terus terang aku juga baru itu melihat sistem las seperti itu. He, he, adik-adik mahasiswa coba tanya ke dosen baja kamu, apakah juga sudah pernah melihat alat di atas. Kalau belum, kamu tunjukkan saja blog ini. 🙂

Gambar 6. Hasil pengelasan, terlihat mulus dan halus.

Meskipun sepintas pengelasan yang dilakukan apinya tidak besar, tidak terlihat adanya percikan-percikan las seperti yang umum terlihat pada proyek-proyek, tetapi hasilnya bagus sekali. Lihat Gambar 6. Tanpa perlu grinda dan semacamnya, hasil pengelasan sudah halus dan mulus, bahkan seakan-akan seperti satu kesatuan material. Padahal itu sambungan lho.

Dari penjelasan pak Hendrik, maklum beliau sebelum menjabat direktur ternyata punya pengalaman sebagai kepala pabrik (di situ) selama 15 tahun. Jadi pantas saja beliau menjelaskan dengan cermat apa-apa yang ada disitu. Sebagai contoh di ujung balok ada terlihat potongan pelat sebagai tempat tambahan las. Itu diperlukan karena berdasarkan pengalaman ketika pertama kali las diberikan pada sambungan, kondisi apinya belum sempurna. Kalau sepintas saja tidak terlihat ketidak-sempurnaan tersebut. Tetapi karena las tersebut juga dievaluasi dengan x-ray dan semacamnya, maka itu dapat ketahuan. Untuk mengatasinya maka ditambahkan pelat dummy untuk tempat las yang belum sempurna. Jadi ketika semua sambungan sudah selesai dikerjakan, maka pelat dummy tempat las yang tidak sempurna itu dapat dibuang. Pengalaman praktis tetapi efektif seperti ini kelihatannya nggak gampang dibaca di buku-buku. Tapi di blog ini ada lho. 🙂

Gambar 7. Sistem las portable untuk menyambung pelat secara monolit

Pada gambar di atas terlihat pak Hendrik dan pak Haryanto sedang menunjukkan suatu sistem las yang sama dengan sistem las pada Gambar 5 tetapi sifatnya portable. Ini cocok untuk menyambung pelat agar menjadi satu kesatuan yang monolith. Agar pelat dapat monolith, maka untuk suatu ketebalan pelat baja tertentu harus diberikan bevel (coakan). Tentang besarnya bevel yang diperlukan sudah ada standarnya.

Gambar 8. Standar awal pengerjaan pengelasan web untuk profil H-Beam

Takikan untuk tempat las, atau sering disebut bevel sangat penting untuk las jenis penetrasi penuh. Untuk produk baja selevel PT. CHC jelas untuk membuat bevel tidak bisa dengan gerinda, selain berbahaya bagi pekerjanya, prosesnya lambat dan tidak presisi, untuk itu mereka memakai alat khusus, yaitu Plate Beveling And Scalloping Machine (ada 1 unit), sayang saya tidak sempat melihatnya, tetapi yang sempat dilihat adalah yang kecil, tipe portable-nya yang sebenarnya juga bisa berfungsi sebagai pemotong, disebutnya portable gas cutting machine sebagai berikut.

Gambar 9. Pembuatan bevel pada tepi potongan profil tipe portable.

Selanjutnya saya diajak untuk melihat mesin pemotong yang dapat memotong profil baja dalam jumlah banyak dan presisi.

Gambar 10. Mesin pemotong profil baja dalam jumlah banyak.

Gambar 11. Detail gergaji pemotong profil baja sedang bekerja

Adanya proses pemotongan di atas juga menunjukkan bahwa profil baja yang datang dari pabrik adalah tidak sama panjangnya. Padahal untuk struktur baja, faktor presisi adalah penting, oleh karena itu dengan adanya mesin pemotong besar seperti di atas dapat menjadi tumpukan profil baja yang dipotong akan presisi pula. Jelas fabrikasi baja yang kecil pasti tidak akan punya mesin ini.

Gambar 12. Mesin potong pelat datar.

Ternyata memotong pelat datar dan profil baja itu lain. Karena datar maka sistem potongnya tidak perlu pakai gergaji, tetapi sistem geser sebagai terlihat pada Gambar 11. Karena geser, maka prosesnya sangat cepat. Hanya saja karena memakai sistem geser maka hasilnya pada tepi potongan ada yang rusak. Jika itu tidak menjadi masalah maka mesin di atas dapat digunakan.

Gambar 13. Pak Hendrik, meson potong pelat dan pelat hasil pemotongan

Dari berbagai alat potong yang dipunyai PT. CHC maka pak Hendrik memperlihatkan kepada saya alat potong canggih yang dipunyainya, yaitu CNC Plasma Cutting Machine. Ini untuk memotong pelat dengan bentuk yang rumit. Prosesnya relatif sederhana karena ada interface pengendalian via komputer. Jadi file CAD dapat diterjemahkan ke mesin pemotong tersebut.

Gambar 14. Pak Hendrik dan mesin pemotong plasma otomatik.

Karena mampu memotong berdasarkan data komputer (CNC = computer numerical control) maka menurut pak Hendrik, mesin tersebut di atas juga menerima order pemotongan baja untuk pembuatan kapal besi.

Gambar 15 Pemotong plasma in-action.

Setelah dipotong, dibuat bevel untuk bagian yang dilas, maka pengeboran untuk lubang baut adalah sangat penting. Untuk itu digunakan mesin drilling. Dari brosur mereka mempunyai mesin drilling gusset khusus, tetapi tidak sempat dilihat, hanya sempat melihat mesin drilling portable type magnet.

Gambar 16. Magnet Drilling Machine (portable)

Setelah pelat baja dipotong-potong, di bevel maupun dilubangi, untuk dapat dirangkai maka perlu ditata sesuai dengan gambar kerja (shop-drawing). Agar jangan sampai membuat bingung, tahu sendiri khan ini pabrik khan bisa melayani beberapa proyek sekaligus jadi penataan potongan-potongan tersebut perlu diatur dengan baik, perlu diberi kode yang jelas. Jika tidak, maka proses nantinya khan seperti bikin puzzle, bisa membingungkan. Untuk itulah di sana dibuatkan tempat untuk penataan potongan pelat.

Gambar 17.  Penataan ulang pelat-pelat sebelum perakitan elemen struktur

Dengan alokasi tempat yang khusus, tentunya akan berbeda untuk tiap proyek, atau bahkan untuk tiap kode gambar yang berbeda maka proses selanjutnya menyusun potongan-potongan tersebut menjadi komponen besar. Untuk melakukan itu perlu tukang dengan keahlian khusus, yaitu bisa membaca gambar, mengevaluasi apakah potongan yang akan dipasang sesuai drawing.

Gambar 18. Pelat stiffner sedang diukur untuk dipasangkan pada balok

Tukang di atas tanggung jawabnya adalah menempatkan pelat stiffner sesuai gambar rencana, mengukur posisi lubang apakah sudah sesuai. Ini penting, bayangkan saja lubang bergeser 1 inchi, maka baut nggak bisa dipasang. Harus dibongkar. Jadi kalau pekerjaan orang salah, maka kekacauan akan timbul di belakang hari. Untuk menempatkan maka digunakan last tack weld, las sementara hanya sekedar agar posisi pelat tidak berubah.

Gambar 19. Penempatan pelat stiffiner secara teliti untuk akhirnya di las final

Dengan proses seperti itu, akhirnya dapat dibuat komponen struktur dengan ukuran tertentu, yang ditentukan oleh kapasitas alat angkut dan crane yang nanti akan digunakan untuk mengangkutnya ke proyek. Contoh komponen yang terlihat sudah jadi dirakit dari pelat-pelat itu adalah gambar berikut.

Gambar 20. Komponen struktur baja rakitan dari pelat-pelat baja dengan las

Komponen struktur baja di atas secara kekuatan struktur sudah jadi, tetapi itu tidak bisa langsung dibawa ke proyek lapangan. Mengapa hayo ?

Betul, perlu diberi perlindungan terhadap karat. Bagaimana caranya. Ada banyak cara, bisa diberi cat (coating), bisa juga di galvanish. Untuk proses galvanish, PT. CHC tidak bisa mengerjakannya, harus dibawa kepihak lain. Ini tentu perlu waktu. Sedangkan untuk cat, atau coating maka di factory PT. CHC sudah bisa melakukannya. Mari kita lihat prosesnya.

Gambar 21. Bagian pengecatan

Jangan bayangkan cara pengecatan baja seperti cara tukang kita kalau sedang mengecat pagar rumah. Memang sih sistem mirip, hilangkan karat (kalau ada) tetapi cara jelas tidak kerok sana, kerok sini. Jika itu digunakan wah nggak kebayang kualitas struktur baja kita kayak apa. Bisa-bisa seperti pagar rumah kita (jika dari besi) yang tiap beberapa tahun harus dicat ulang. Strukturnya jelas tidak awet.

Proses penghilangan karat, merupakan prosedur standar yang perlu dilakukan sebelum dilakukan pengecatan. Seberapa bersih itu bisa ditentukan pakai standar yang ada, begitu penjelasan pak Hendrik. Untuk itu digunakan mesin SHOTBLAST, alat khusus yang dapat menembakkan biji besi atau pasir khusus ke profil baja dengan tekanan tinggi sedemikian sehingga permukaan baja profil dijamin bebas karat dan kotoran-kotoran yang melekat. Pada gambar 21 di atas, mesin shotblast terlihat paling ujung warna hijau, jadi proses dimulai dari ujung lalu ke depan. Itu terlihat di foto tersebut pak Hendrik berjalan cepat menuju mesin shotblast. Mari kita ikuti beliau.

Gambar 22. Profil hasil proses shotblasting

Profil baja pada gambar 22 di atas itu belum diberi cat lho. Itu baru keluar dari proses pembersihan karat / kotoran dengan memakai mesin shotblasting. Profil baja yang dulunya berwarna kemerah-merahan menjadi seakan-akan putih bersih, seperti bukan warna baja. Itulah warna baja sesungguhnya jika belum teroksidasi. Menurut pak Hendrik, kondisi seperti itu harus segera dicat, jika itu dibiarkan lebih dari 3 jam tanpa pengecatan maka proses oksidasi sudah mulai. Jelek hasilnya. Itu saja kondisinya sudah tertutup, bebas dari cuaca. Jadi dapat dibayangkan pada suatu proyek baja yang ternyata pengecatannya dilakukan di lapangan, maka jelaslah beberapa tahun kemudian pasti karat. Proses pembersihan karat sebelum dicat pasti tidak sempurna dibanding proses di atas. Ini saya yakin kalau bukan orang baja pasti tidak akan tahu, maklum proses pengecatan tidak masuk pada mata kuliah baja pada umumnya.

Tempat pak Wir, diberi tahu nggak kondisi itu.

Aku khan bilang, pada umumnya. Sedangkan untuk mata kuliahku khan jelas berbeda. Jangan dibandingkan dong mata kuliah yang kuberikan dengan di tempat lain. He, he, . . .

Gambar 23. Automatic H-beam Shot Blast line

Biji besi yang digunakan pada mesin di atas ternyata mengimpor langsung dari Jerman. Pasir besi dari Indonesia katanya bisa juga digunakan, tetapi jika itu yang dipakai maka hanya sekali pakai. Beda dengan bji besi dari Jerman, karena buatan maka itu juga terbebas dari unsur-unsur alam yang dapat menimbulkan oksidasi baja, juga dapat dipakai beberapa kali.

Gambar 24. Bahan shot-blast (bji besi) impor dari Jerman

Setelah melalui proses shot-blast di atas, dan tentunya tergantung kualitas yang disyaratkan. Siapa yang mensyaratkan, ya jelas owner engineer. Nah owner engineer ini akan mengacu ke standar tertentu. Standarnya bukan AISC lagi lho, tetapi dalam hal ini adalah SSPC. Pernah dengar ?

SSPC adalah singkatan dari Steel Structures Painting Council, didirikan tahun 1950 di Amerika, tahun 1977 namanya berubah menjadi The Society for Protective Coatings  untuk tujuaan yang lebih luas. Ini alamat web-nya. Bayangkan saja, di luar sana, untuk mengecat saja ada asosiasinya. Di sini bagaimana ? Asosiasi di sini umumnya lebih fokus pada bagi-bagi proyek, tapi dari segi ilmiah masih jarang. Asosiasi yang seperti itu, yang saya tahu adalah HAKI (Himpunan Ahli Konstruksi Indonesia).  O ya, tanggal 26-27 Juli 2011 ada seminar ilmiah HAKI lho, jangan lupa datang ya, aku mencoba memasukkan judul makalah tentang struktur baja, moga-moga jadi dan dapat diberi kesempatan untuk mempresentasikan di acara tersebut. Kita ketemu di forum tersebut ya.

Gambar 25. Tahapan pengecatan dengan teknik spray

Ternyata mengecat struktur baja tidak asal semprot, ketebalan cat yang diaplikasikan perlu diukur. Kamu tahu mengukurnya, pakai alat khusus lho, digital. Jadi nggak bisa dibohongin, ini gambar seorang sedang mengukur ketebalan cat yang sudah kering.

Gambar 26. Pengukuran ketebalan cat setelah kondisi kering

Dengan memakai alat tersebut maka tiap titik dapat dievaluasi ketebalan cat yang telah diaplikasikan. Untuk ketebalan tersebut tentu tergantung dari ketrampilan tukang cat, dan disinilah tingkat ketrampilannya ditentukan.

Gambar 27. Pembacaan ketebalan cat / coating dalam mikron

Alat ukur ketebalan di atas hanya berguna untuk kondisi cat yang kering. Untuk proses pengawasan oleh mandor cat, kadang diperlukan juga pengukuran ketebalan cat ketika kondisi cat masih basah. Artinya tukang catnya belum pergi, sehingga ketika kurang lansung dapat diberi tahu dan diperbaiki. Untuk itu ada alatnya khusus, ini alat ukur ketebalan cat ketika basah.

Gambar 28. Alat ukur cat pada kondisi basah

Coba bayangkan, kunjungan sebentar di fabrikasi baja ternyata banyak hal yang dapat diungkapkan. Untuk cerita tentang ilmu las sendiri bisa berbuku-buku banyakanya, bayangkan saja sampai ada asosiasi khusus membahas tentang las. Itu lho AWS (American Welding Society), jika ingin tahu banyak mampir saja ke web-nya di sini. Untuk cat ke SSPC yang aku ceritakan di atas.

Jadi benar seperti apa yang aku nyatakan pada makalah presentasiku di Gran Melia tanggal 7 April 2011 yang lalu, bahwa kesuksesan proyek baja dapat dilihat dari bagaimana kondisi fabrikator atau workshop yang membuat komponen struktur baja tersebut. Adanya tahapan-tahapan proses yang jelas ini tentu akan menghasilkan produk baja yang meskipun penampakan luar setelah dicat sama, tetapi unjuk kerjanya dikemudian hari pasti akan berbeda. Ingat agar bangunan struktur baja memuaskan maka tidak hanya segi kekuatan (stress) tetapi juga keandalaan terhadap kondisi lingkungannya. Aku ingat sekali menulis tentang karat, yaitu diam tetapi berbahaya ibarat kanker. Senyap tetapi mematikan.

Akhirnya tidak terasa, waktu berlalu begitu cepat, tamu pak Hendrik dari Jepang telah datang. Kebetulan karena saya hanya sendirian, maka beliau mengajak saya juga sekalian menemui tamu Jepang tersebut.  Ini juga untuk mengetahui bagaimana proses pengecheckkan terakhir barang (struktur baja) pesanan sebelum di bawa ke proyek. Proyek yang dimaksud adalah proyek jembatan hibah pemerintah Jepang untuk korban tsunami di P. Nias. Karena lokasinya jauh (P. Nias) dan untuk menghindari kesulitan pemasangan nanti di lapangan maka dilakukan proses Trial Assembly, yaitu merakit terlebih dahulu komponen-komponen baja menjadi struktur utuh di pabrik sebelum dilakukan pengiriman. Ini data proyek yang akan dilihat.

Gambar 29. Data proyek jembatan rancangan orang Jepang

Sistem jembatan yang dirancang oleh orang Jepang ini unik. Jika biasanya tumpuannya pakai karet elastomer, yaitu menjadi tumpuan sendi dan rol, maka di jembatan ini hal itu tidak ada. Tidak pakai tumpuan elastomer.

Aneh khan. Ini dimaksudkan karena sistem tumpuannya akan dibuat menyatu dengan abutment atau pondasi betonnya. Jadi jembatan ini full integrated dengan konstruksi beton pondasinya. Tujuannya jelas, agar jembatan ini tahan terhadap tsunami. Rasa-rasa ini merupakan jembatan pertama di Indonesia yang dirancang seperti itu, dan mungkin juga bagi Jepang.

Gambar 30. Trial Assembly jembatan untuk P. Nias

Jembatan tersebut ukurannya 3 x 50 m, continuous beam welded. Karena alasan pengangkutan dan pengelasan harus sesedikit mungkin di lapangan karena perlu kontrol pengawasan yang ketat maka  segmen jembatan tersebut dibagi dalam segmen-segmen kecil yang nantinya disambung memakai baut mutu tinggi. Panjang segmen kira-kira 12 m atau lebih kecil, tergantung kapasitas alat angkut dan jalan yang dilaluinya.

Omong-omong tentang proses pengangkutan segmen jembatan ke lapangan, ternyata dari diskusi kontraktornya dapat diketahui bahwa itu memerlukan pengawalan polisi. Karena jika tidak maka dijarah orang di daerah yang akan dibangun tersebut. Yah betul, dijarah bila tidak dikawal. Kebangetan juga ya orang kita itu.

Gambar 31. Sambungan baut antar segmen.

Terlihat sekali banyaknya jumlah baut di bagian badan (web), sedangkan pada flange yang memikul kopen momen ternyata lubang baut relatif sedikit. Apa itu artinya.

Artinya baut yang dipasang untuk flange sedikit, bahkan kalau hanya mengandalkan baut, pasti tidak akan cukup untuk mencapai kondisi kuat nominal balok tersebut. Aku perkirakan, bahwa untuk sambungan flange (sayap) maka dapat dipastkan akan digunakan pengelasan di lapangan. Bisa tetapi perlu kontrol pengawasan yang ketat.

Kecuali sambungan ada yang menarik juga, yaitu sistem pertemuan lantai beton dengan jembatan baja tersebut. Karena tidak ada shear stud, tetapi hanya dipasang tulangan maka jelas jembatan tersebut adalah jembatan biasa (bukan kompositi).

Gambar 32. Detail bagian atas jembatan

Untuk menyatukan sistem jemabatan itu dengan sistem pondasi beton maka pada bagian tumpuan disediakan detail khusus. Nantinya di detail tersebut diberikan tulangan-tulangan pengunci. Ini detail yang dimaksud.


Gambar 33. Detail tumpuan yang embedded  dengan pekerjaan pondasi.

Akhirnya kita sempat berfoto bersama dengan beberapa tamu dari Jepang, dan juga tentu saja dengan pak Hendrik dan teman-teman.

Gambar 34. Berfoto bersama anggota CHC dan kontraktor jepang.

Terlihat bediri nomer dua dari kiri adalah Mr. S. Kanki (Technical Advisor), lalu aku, sedangkan disebelahku (No. 4 dari kiri) adalah bapak Hendrik Sudharsono (Direktur PT. CHC). Berdiri no 6 dari kiri adalah Mr. Sho Takeda (Resident Engineer dari Katahira & Engineers International, konsultan perencana jembatan baja tersebut. Disebelahnya, pakai jas hitam adalah bapak Yanyan Agustian Ph.D, ekspat dari Takenaka yang S1-nya dari Bandung. Maklum beliau mengambil S2 dan S3 di Jepang dan telah bekerja di sana sebelumnya. Disampingnya adalah bapak Haryanto, kepala pabrik.

Nah rasa-rasanya saya telah bercerita cukup panjang tentang studi banding yang baik. Bayangkan saja, dengan biaya hanya ongkos beli bensin dan tol, dan dalam waktu yang singkat, nggak sampai berhari-hari ternyata dapat diperoleh pengalaman empiris yang patut untuk diceritakan kepada anda. Itulah kegiatan saya selaku dosen di UPH.

Semoga berguna.

.

Artikel yang aku buat terkait dengan yang namanya studi banding.

25 pemikiran pada “studi banding, lagi-lagi studi banding !

  1. Sanny Khow

    Pak,

    Mesti dosen seperti pak Wir ini yang dapat fasilitas orang orang dewan. Kantor bagus, rumah dinas, mobil dinas, uang saku dll karena hasilnya kelihatan dan bisa di share ke banyak orang.

    BTW selain SMAW, GMAW, FCAW, SAW, Pernah dengar electroslag welding? Jaman dulu type welding ini lumayan populer, tapi sejak tahun 70-an di banned sama FHWA karena ternyata electroslag welding ini produces large grain sizes. Akibatnya type weld ini toughness nya rendah (khususnya di daerah HAZ). sedangkan kita tahu bahwa toughness steel itu yang menyebabkan steel itu jadi ductile, tdk brittle.

    Kenapa type weld ini sangat populer dulu, karena weld ini banyak kelebihanya:
    bisa weld thick plates dengan cepat, preparasi joint yg sederhana, metal disposition yg tinggi, low distortion, low slag consumption.

    Sekarang di proyek saya diperbolehkan under strict specifications. karena type weld ini kita perlu untuk vertical position dan high metal deposition rates.

    Suka

  2. Kalo saya melihatnya begini Pak Wir, kenapa istilah “studi tour” diganti dengan “studi banding”? Ini adalah bahasa politik dan kepura-puraan. Coba jika dipakai istilah “study tour” maka orang akan menafsirkan itu adalah jalan-jalan, rekreasi atau berwisata sebab istilah “tour” lebih mengarah ke situ. Padahalkan biayanya dari uang rakyat, “perjalanan dinas” katanya.

    Studi tour lebih cocok dipakai oleh anak sekolah, atau mahasiswa sebab mereka pakai uang sendiri. Mereka bebas mau jalan-jalan, rekreasi, mau lihat yg baru, pemikiran baru. pokoke bebas. La wong duit-duit mereka sendiri.

    Nah yg jadi gonjang-ganjing akhir-akhir ini kan tentang “studi banding” neh. Saya sie tdk mau berprasangka kepada siapapun dalam hal ini meski ramai dibicarakan di berbagai media. Tp istilah studi banding bagi saya hanya untuk memperhalus bahasa saja. Apa yg mau dibandingkan, apa yg ingin dipelajari dari kegiatan studi banding, apa nilai positifnya setelah kembali dari studi banding? Wallahuallambissawab…….

    Suka

  3. Sanny Khow

    Type abutment di atas di kenal sebagai ‘diaphragm abutment’

    keuntungan diaphragm abutment sangat efektif untuk absorb seismic loads, karena waktu ada gempa, diaphragmnya langsung engage soil di belakangnya yang berfungsi sebagai damping. Kalau abutment yang biasa, karena tidak monolithic jadi harus engage dulu back wall dan engage tanah behind the backwall.
    Tentu juga seperti yang kita belajar dari blog pak Wir, ternyata diaphragm abutment ini adalah solusi yang baik buat tsunami! karena monolithic.

    adapun kerugian dari type abutment ini adalah damage di sisi pavement karena water intrusion antara abutment dan approach slabnya. kalau abutment type biasa, airnya turun antara end diaphragm bridge dan backwall karena ada gap disitu. Untuk mengatasi ini bisa di buat approach slab yang dari reinforced concrete.

    limitation dari type abutment ini adalah
    kalau movement bridge kita lebih dari 25mm, maka type abutment ini tidak bisa di pakai karena bisa mengkakibatkan cracked concrete. Biasanya kalau reinforced concrete bridge panjang maximal hanya 120 meter. kalau steel saya ngak tahu? mungkin ada yang tahu?

    Suka

  4. Sanny Khow

    Ini saya kutip dari AISC

    6.7.1. When is paint permitted on the faying surfaces of bolted connections?
    In snug-tight and fully tensioned bearing connections, paint is unconditionally permitted on the faying surfaces. In slip-critical connections, however, if paint is present, it must be a qualified paint. A qualified paint is one that has been tested in accordance with the 2004 RCSC Specification Appendix A and offers a defined slip-coefficient. Other paints that do not offer a defined slip-coefficient are not permitted on the faying surfaces of slip-critical connections, even when due to inadvertent over-spray.

    Pingin tahu aja, CHC bisa bikin qualified paint buat slip critical connections?
    terima kasih.

    Suka

    1. wir

      pak Sanny,
      Saya baru meng updated makalah di atas, khususnya tentang bagaimana mereka mempunyai sarana untuk melakukan pengecatan sesuai prosedur SSPC. Baik berupa kesiapan mereka untuk menghasilkan permukaan baja yang memenuhi SSPC Standard, karena mereka punya beberapa mesin shot-blast (yang difoto hanya satu). Juga bagaimana mereka mengontrol ketebalan cat yang diaplikasikan. Tentang cat memang pakai produk luar.

      Mungkin pak Hendrik kalau membaca ini bisa memberi tambahan. He, he pak Hendrik belum banyak cerita tentang ini, iya khan pak. Kapan-kapan kalau ada kasus menarik, saya diundang lagi ya pak Hendrik. Biar masyarakat tambah pinter dan karena ternyata sudah ada yang menguasai teknologi itu.

      Suka

  5. Sanny Khow

    SSPC acuan untuk painting application.

    Untuk slip critical paint yang seperti di facebook foto itu adalah inorganic zinc primer setelah faying surfaces-nya di blast cleaned. ketebalan inorganic zinc primer untuk slip critical connections minimum 25 micrometer dan maximum 125 micrometer ( ini untuk Class B coating, kalau Class A beda lagi)

    Inorganic zinc coating primer ini harus ditest terhadap
    1. adhesion – minimumnya adhesion ke baja adalah 4 MPa. Testnya adalah pull test. http://www.astm.org/Standards/D4541.htm
    2. chlorides. Ini buat test terhadap soluble salts. karena proyek ini dekat pantai, jadi harus di test terhadap kadar garam karena air laut itu sangat corrosive.
    3. hardness. paintingnya harus memperlihatkan permukaan yang solid, keras dan seperti polished metal kalau di scraped pakai uang logam.

    Suka

  6. Wah… Panjang sekali Artikelnya.. namun Menarik.
    Jadi Ingat jaman dulu Study Tour. Sekarang yang sedang Trend adalah Study Banding! *membandingkan Mall *membandingkan Oleh2 dan hadiah yang di bawa dan membandingkan Makanan dan Hotelnya.. namanya juga study mBanDinG… he3x

    Suka

  7. MUHAMMAD GHOMARI

    Pak wir,
    menarik pembahasan mengenai perilaku DPR (red. perilaku baja hehe) yang pak wir jabarkan. mengenai welding and coating pernah juga saya pelajari di kuliah yg saya dapat. walaupun hanya kulitnya saja.dan tulisan pak wir cukup melengkapinya.menurut saya tulisan bapak juga membuktikan banyak hal :
    1. Peristiwa pak wir dan pak haryanto membuktikan bahwa setiap orang ada peminatannya masing-masing. seperti pak haryanto kalau peminatannya memang tentng struktur baja tentu akan bersemangat sekali seperti pak wir untuk studi banding ke PT CHC.tetapi ternyata tidak terlalu juga.
    2. kemungkinan juga halnya dengan anggota DPR, mungkin saja peminatan anggota DPR bukan pada rapat kerja, atau pembuatan UU dan regulasi. akan tetapi, mungkin saja peminatan nya pada studi banding dan jalan-jalan. dengan begitu mungkin kinerja mereka akan tersampaikan atau berada pada jalur yang tepat.(mungkin perlu dibuat tim ahli bidang studi banding … 😦

    Pak wir, saya ingat wejangan yang selalu dosen saya katakan, yang selalu saya coba untuk jalankan.”Hidup itu supaya selalu memberi manfaat,kalau belum bisa memberi manfaat paling tidak jangan menjadi penghambat”. menurut yang saya dengar dan baca, DPR ini kinerja belum bisa beri manfaat koq sudah maksa gitu minta ini minta itu.jadi penghambat kemajuan bangsa.cba anggaran sebesar itu djadikan dana riset wah mungkin dampaknya akan luar biasa.
    itu mungkin pak wir tanggapan saya, maaf kalau terlalu lancang.terima kasih.

    Suka

  8. studi banding sebenernya kagak perlu jika mindset kita bekerja dengan baik,karena belajar sesuatu dari pengalaman kita & orang lain guna mencapai hidup yang lebih baik so lihatlah kebawah bukan keatas jika tidak ingin tersandung jatuh 🙂

    Suka

  9. study banding adalah wajah kita semua yang merangsang dengan kemapanan. yang selalu sarapan dengan banyak alibi yang bikin pilu nurani. study banding adalah wajah kita semua.
    wajah aling asli yang kita miliki. satu-satunya wajah yang tak bisa kita sembunyikan ketika tuhan menuntut jawaban atas apa yang telah kita lakukan.

    Suka

  10. iseng-iseng blogwalking, nyasar ke sini, perasaan kenal, eh taunya ada foto diri juga disitu..he..he..
    terima kasih Pak Wir…
    sukses selalu
    kapan-kapan semoga bisa ketemu lagi
    salam

    Suka

    1. wir

      Hallo pak Agustian,
      Senang anda dapat menemukan tulisan ini dan membacanya. Ternyata anda mempunyai blog juga, wah sama-sama blogger ya.
      Benar, semoga suatu saat kita dapat bertemu kembali. Tuhan memberkati.

      Suka

  11. Ping-balik: studi banding, lagi-lagi studi banding ! « ayundabangkit

  12. Ping-balik: studi banding, lagi-lagi studi banding ! | Sufa Parquet Wood Flooring - Parquet Lantai Kayu Terbaik

  13. Ping-balik: studi banding, lagi-lagi studi banding ! | Wood Flooring - Parquet Lantai Kayu Terbaik

  14. Tks . atas sharenya, sangat membantu untuk melihat kemampuan usaha, yg ada di Jakarta Indonesia (era 2011), Selintas wacana saya adalah, bahwa masalah presisi pemotongan size/ pelubangan h beam, kita masih sangat rendah, sering ditemukan di lapangan, deviasi presisi 2 mm sd 2 cm, waah, sehingga jurus akrobat dan sulap akhirnya digunakan. Hal ini tentu saja mempertaruhkan/ mengorbankan kekuatan struktur sesuai rancangan semula.

    Back ground saya bukan tehnik, dan share bro, menambah wawasan saya, atas topik diatas. Tks

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s