Kegiatan menulis itu ternyata dampaknya luar biasa. Bagaimana tidak, banyak orang yang lebih tahu namaku, tapi kalau ketemu belum tentu kenal. Maklum bukan pejabat publik, bukan siapa-siapa, hanya seorang guru atau istilah kerennya dosen.
Memang sih, anugrah menulis yang aku punya ini rasa-rasanya membuatku lebih pede, bahkan untuk itu aku tidak perlu mencantumkan gelar formal yang dipunyai. Maklum, namaku sudah cukup panjang, jadi kalau ditulis tanpa gelar terkesan lebih mudah dibaca. Untuk tulisan-tulisan yang kubuat, tidak pernah aku cantumkan gelar. Maksudku dari isi tulisan yang kubuat, pembaca sendiri tentunya dapat menilainya, apakah bobotnya memang sepadan atau tidak dengan gelar yang kupunya. Tentang gelar tersebut, umumnya yang memasang adalah teman-teman yang mengundangku.
Pak Wir koq geer sih. Nama di baliho Itu khan ditujukan untuk pesertanya.
Benar juga, adanya gelar yang dicantumkan di atas tentunya lebih ditujukan kepada para peserta, bahwa mereka tidak salah untuk duduk di situ mendengarkan. Maklum, di negeri ini gelar akademik dapat memberi kesan bahwa yang menyandangnya adalah orang yang berbobot. Jadi tidak hanya di dalam ruang, maka di luar ruangpun nama bergelar itu perlu dicantumkan. Lihat saja ini.
Berbobot, apa betul seperti itu, tentu setiap orang punya pendapat sendiri-sendiri. Bisa sama atau tidak, nggak masalah itu. Bagiku, adanya gelar itu hanya menunjukkan bahwa seseorang telah menyelesaikan suatu tahapan pendidikan tertentu. Nggak lebih, nggak kurang. Yang lebih penting dari itu adalah buahnya, hasilnya gitu lho.
Nah kalau dosen itu hasilnya apa pak Wir. Banyak yang teoritis doang.!?
Maksudnya bagaimana. Kalau bukan teoritis, lalu apa. Kalau produk yang diharapkan maka namanya bukan dosen lagi itu, namanya adalah pengusaha. Jadi yang bisa diharapkan dari seorang dosen adalah dapat membuat orang lain “pintar”, baik dari penjelasannya secara langsung maupun melalui buah pikiran melalui tulisan. Itu khan memang teoritis. Tapi jangan salah dengan istilah teoritis yang orang awam menganggapnya adalah lawan dari praktis. Karena yang dimaksud dengan teoritis di sini adalah petunjuk atau rencana yang dapat digunakan agar suatu pekerjaan praktis dapat dilakukan pengulangan. Jadi adanya wacana teoritis tersebut maka suatu rencana dapat terwujud secara praktek.
Pak Wir, dari bicara menulis koq menjelaskan soa lokakarya sih. Pembicara begitu maksudnya ?
He, he, mungkin agak kaget ya, kenapa dari cerita penulis sekarang jadi pembicara. Betul, jangan kaget, ternyata dari menulis itu pula dapat mengantar seseorang jadi pembicara. Memang aneh, banyak orang yang pintar berbicara belum tentu jadi penulis. Tetapi kalau seorang penulis lalu bisa juga berbicara, tentu bukan sesuatu yang aneh. Eit, jangan langsung ditelan saja pernyataan itu, pada waktu sekitar tahun 2003 yaitu ketika bukuku yang pertama terbit maka aku adalah salah satu yang tidak mempercayai pernyataan itu. Maklum, aku itu pada prinsipnya orang introvet, tidak menyukai keramaian, sampai aku lulus S2 di UI. Bayangkan, itu berarti sudah cukup senior (tua), pada kondisi itu untuk berbicara di depan publik masih saja menjadi kendala. Maksudnya, masih menjadi beban. Kalau bisa tidak berbicara maka lebih baik tidak berbicara. Tetapi setelah bertahun-tahun menjadi penulis, maka sekarang statusnya berbeda, ketika disuruh berbicara di depan banyak orang, maka rasanya adalah suatu kehormatan.
Jika awal bulan kemarin di undang ke Malang, maka hari kemarin (23 Oktober 2014) adalah kehormatan juga mendapat undangan dari teman-teman di Semarang, tepatnya di Universitas Negeri Semarang atau UNNES. Ada dua acara menarik yang mereka selenggarakan, Acara pagi hari adalah Lokakarya Mata Kuliah Analisa Struktur yang mengundang dosen-dosen yang memegang mata kuliah tersebut, saya bersama Dr. Ir. Sri Tudjono (dari UNDIP) didapuk menjadi nara sumber. Ini brosur yang mereka buat.
Terus terang warna brosur di atas menarik sekali, eye catching. Kelihatannya karena brosur itulah maka acaranya banyak yang datang. Lihat aja ini suasananya.
Menurut panitia, kapasitas ruang adalah sekitar 150 orang. Cukup banyak yang datang, ada pak Hardi Wibowo dari UNDIP (Semarang), juga Dr. Sumirin dari Unissula (Semarang) beberapa aku lupa namanya, tetapi yang jelas dari Universitas Pandanaran (Semarang), Untag (Semarang), dosen dari Surakarta bahkan dosen dari Unsoed (Purwokerta). Maklum aku sempat berbincang-bincang dengan mereka. Yang jelas banyak dari mereka adalah murid-murid Dr.Ir. Sri Tudjono yang kebetulan diajak bersama dengan saya sebagai narasumber pada acara lokakarya tersebut.
Nah kalau sudah ngomong begini, maka introvet-nya jadi hilang. Ini adalah dampak dari menulis. Dulu sebelum suka menulis, maka rasanya nggak kebayang berani tampil seperti foto di atas. Benar lho, bagi yang masih pemalu tampil, maka mulailah belajar menulis.Jika kemampuannya menulis sudah sampai pada tahap diapresiasi, maka yakin deh introvet-nya hilang. 😀
Apalagi ketika istirahat, jadi ramai seperti ini lho.
Kegiatan di UNNES relatif padat. Pagi hari ada Lokakarya, siangnya mereka juga tertarik untuk mendengar sedikit paparanku tentang materi buku yang aku tulis, yaitu metode terbaru AISC (2010), yaitu Direct Analysis Method. Ini brosur untuk acara siang hari, setelah makan siang.
Nah acaranya banyak diikuti mahasiswa. Menariknya, tidak hanya dari UNNES atau mahasiswa dari kota Semarang, ada juga dari kota lain setahuku adalah dari Magelang (Univesitas Tidar) juga ada yang dari Sukabumi. Ini kata panitianya lho. Wah menarik juga brosur di atas, banyak yang datang.
Menarik khan jadi penulis itu. Ini plakat yang aku peroleh dari kegiatan di Semarang kemarin.
Jadi selama bulan Oktober 2014 ini, aku telah berbicara atau mengajar tentang struktur baja di dua tempat, yaitu di S2, Magister Teknik Sipil, Universitas Petra, Surabaya dan di S1 Jurusan Teknik Sipil, Unnes, Semarang. Dari dua kegiatan tersebut salah satu kesimpulan yang aku peroleh bahwa tulisan tentang buku Struktur Baja memang diperlukan.
Jadi kesimpulannya saat ini adalah Kerja, Kerja dan Kerja agar bukunya cepat diselesaikan. Mohon doanya ya. Semoga itu semua akan membawa kebaikan bersama.
O ya, ini adalah buah pemikiran yang aku tuliskan dan aku sampaikan kepada para ahli analisa struktur di kota Semarang kemarin. Judulnya : “Pemanfaatan software Structural Analysis Program (SAP) sebagai media pembelajaran dalam mata kuliah Analisis Struktur“, PDF (2MB). Tertarik download aja di sini.
Tinggalkan komentar