Jika nulis blog sambil menyelesaikan disertasi, maka isinya tentu nggak jauh-jauh dari keyword “ilmiah“, “hipotesis“, “fakta” dan juga “profesor“. Betul nggak. Gimana lagi. Pepatah lama mengatakan, tulisan adalah cermin dari apa yang menjadi pikiran penulisnya.
Saat ini di dalam benak kepalaku, sering terlintas kata kunci “profesor“. Selain karena saat ini sedang menulis hasil riset kemarin untuk diketengahkan ke profesor promotorku, prof Sahari Besari, tetapi juga karena beberapa postinganku membahas tentang ke-profesor-an juga. Mulai dari yang meragukan kapasitas seorang profesor karena gelar akademiknya, bahkan tanggapan profesor ahli kayu dari kanada (yang orang indonesia juga, lulusan ITB) tentang perkembangan bidangnya di Indonesia.
Dari membaca-baca ulang komentar teman-teman berkaitan dengan gelar profesor, tersirat harapan bahwa yang paling penting keberadaan profesor adalah adanya karya nyata atau kontribusinya bagi negeri ini. Dua hal tersebut yang selalu menjadi salah satu pertanyaan atau pernyataan tentang perlunya ada seorang yang diberi gelar profesor.
Ide seperti itu jelas akan di AMIN-i banyak pihak, termasuk aku juga, yaitu bahwa yang paling penting adalah karya nyata dan kontribusinya bagi negeri. Tetapi kalau dipikirkan lebih jauh, ke dua hal tersebut khan tidak hanya berlaku bagi seorang dengan gelar profesor khan, tetapi mestinya harus berlaku juga kepada semua warga negara. Kita semua !
Jadi jika warga negara biasa juga diharapkan, maka apalagi seorang profesor.
Kedua hal tersebut tentu merupakan kondisi ideal suatu negeri, suatu kondisi dimana seseorang bisa memberikan sesuatu dari keberadaannya, kata kuncinya “memberi“. Pada umumnya yang ada adalah hanya mampu “meminta“. Dalam hal ini saya yakin, porsi terbesar warga negara di Indonesia, keberadaannya ada tetapi baru pada level “meminta”. Pada posisi tergantung orang lain, belum “mandiri”. Itu semua baru terlihat ketika krisis tahun 1998 kemarin. Jika negeri ini sudah mampu “mandiri” minimal, maka ketika ada gejolak dari luar dapat dipastikan tidak akan banyak pengaruhnya.
Jadi agar negeri ini maju, maka mulailah warga negera ini mampu hidup secara mandiri, minimal mencukupi, atau mensejahterakan diri dan keluarganya. Jadi nggak perlu bisa memberipun maka jika semua warga negara kita mampu hidup mandiri maka Indonesia akan menjadi negeri yang sejahtera.
Jadi permintaan agar seorang (profesor) mampu memberi karya nyata atau kontribusi adalah memang suatu kondisi ideal, atau suatu keistimewaan dari seseorang. Iya khan.
Jika dikaitkan dengan ke-profesoran, maka definisi “karya nyata” atau “kontribusi bagi negara” itu apa sih ?
Apakah profesinya mengajar, sudah dapat disebut sebagai karya nyata atau berkontribusi bagi negara.
Lho iya khan pak ! Mengajar itu sudah dapat dikategorikan sebagai “karya nyata” atau “kontribusi”. Iya khan pak ?
Lho, koq “iya khan pak”-nya banyak. Masih ragu ya ? Memang itu perlu disikapi hati-hati, mengajar dengan baik, membantu orang lain menjadi pintar, adalah suatu tugas mulia. Tetapi untuk mendefinisikan sebagai “karya nyata” atau “kontribusi” tentu perlu dipikirkan dengan baik. Itu dua hal yang berbeda.
Ada satu pertanyaan yang menarik. Adakah seorang profesor (pada umumnya) yang dibayar di perguruan tinggi tidak untuk mengajar ?
Saya kira jarang ya, atau bahkan tidak ada sama sekali. Itu khususnya di perguruan tinggi swasta. Mungkin ada juga di PTN, karena staf pengajarnya sudah berlebih, jadi ketika seorang profesor di tarik ke bagian birokrasi, untuk memimpin kelembagaan maka jatahnya mengajar dibebaskan. Tapi kalau di swasta, meskipun profesor tersebut diangkat jadi rektor tetapi masih mendapat jatah mengajar juga. Jadi secara umum dapat dikatakan bahwa mereka diperlukan karena pengajarannya.
Kalimat di atas mungkin dapat disederhanakan menjadi “profesor” tersebut dibayar karena mengajar, atau karena mereka mengajar, maka mereka dibayar. Itulah profesi mereka, sama seperti orang-orang lain yang bekerja.
Jadi masihkah relevan bahwa “karya nyata” atau “kontribusi bagi negara” adalah hanya cukup dengan mengajar ?
Kalau begitu “karya nyata” atau “kontribusi bagi negara” bagi seorang profesor itu berupa apa ?
Ini adalah penting, karena dapat digunakan untuk mengevaluasi kinerja seorang profesor, memberi bobot keberadaannya dibanding yang lain. Tidak hanya sekedar hanya gelar yang membuat orang menjadi sinis mendengarnya. Tetapi merupakan suatu hak dan kewajibannya sekaligus. I ya khan.
Hal lain yang cukup menarik tentang profil-profil profesor Indonesia, karya nyata dan kontribusinya bagi negara. Apakah seperti ini ?
- Prof Dr. H. Syaukani, MM., Bupati Kutai Kartanegara (KUKAR), yang juga rektor UNIKARTA, dikukuhkan jadi profesor di bidang ekonomi, lihat lebih lengkap di sini.
Karya nyata seorang Profesor = Profesional.
Namanya juga “profesor”, yaitu orang yg menciptakan para profesional.
Karya nyata Profesor bagi negara = melahirkan profesional-profesional yg dapat memajukan bangsa & negara.
Misal, Profesor Tata Negara melahirkan pejabat negara yg profesional.
SukaSuka
Pak Wir,
Kenapa contohnya kok KUKAR, apa karena beliau satu perguruan dengan ini.
SukaSuka
M.mm..m..m.. Kalo yg ini aku setuju…. Gelar profesor gak sembarangan ” Hanya diperoleh jika memberikan kontribusi or karyanyata bagi Negri ini…. nah ini setuju banget 100% :D”
ini bukan masalah Drs. atau bukan, ini masalah kontribusi alias karya nyata bagi Indonesia Tercinta ini… 😀
Jangan Beri Gelar Profesor sembarangan… Hanya akan mencoreng dunia pendidikan & Kualitas Negri ini 😀 hee..heheh… makanya pak Wir doain aku jadi Mentri Pendidikan ya… Just kidding.
SukaSuka
M..m. ..Misal nih Profesor yang patut diancungi Jempol Prof Dr Ir Sedijatmo menemukan pondasi cakar ayam….Prof. Dr. Ir. Ofyar Z. Tamin, MSc…. Buanyek lagi.. .. 😀
Lebih sangat menyedihkan Jika ternyata ada Dosen yang memberika pengetahuannya setengah-setengah…. karena takut mahasiswanya jadi saingannya saat sudah kerja nanti……
itu real loh.. pak…. Yah.. mungkin dia juga dapat ilmunya dengan Susah Payah…. Tapi kalau seperti itu … mending gak usah jadi Dosen aja kali ya… sekali pun otaknya cukup encer heheheh… jadi Curhat 😀
SukaSuka
Saya tidak berharap seperti contoh Professor/Bupati/Tersangka Korupsi di atas.
Itu jelas!
Kenapa?
Karena saya tidak mengetahui karya nyata ataupun kontribusinya bagi negara (selain sangkaan kontribusinya dalam merugikan negara!).
Adakah yang tahu?
Mungkin dapat membantu saya.
Terima Kasih.
SukaSuka
Untuk menjadi Professor sulit.
Ternyata setelah menjadi Professor, tanggung-jawabnya pun malah tambah besar.
SukaSuka
Negara ini punya banyak profesor, tapi kok negara kita ini tidak maju2 sih. Masih jalan ditempat. Mikirin sembako dan harga BBM yang makin melangit. Trus kontribusi para ‘propfessor’ itu konkritnya dimana?
SukaSuka
Gelar profesor ada kaitan dengan kecerdasan dan profesi. Harus diakui banyak orang cerdas. Tetapi karena profesinya, maka kehormatan gelar profesor tidak bisa disandang. Seorang tidak akan pernah menyandang gelar profesor walau sangat pintar. Alasannya karena tidak ada kesempatan atau peluang untuk itu.
Seorang profesor sebagaimana setiap orang yang profesional, akan melakukan pekerjaan dengan tanggung jawab tinggi.
Ketika seorang profesor murni jadi guru saja, kontribusi bisa tinggi. Guru yang baik dan berbobot. Tetapi penghargaan terhadap guru yang rendah, maka profesor menjadi proper sol. Biasa saja dan bahkan direndahkan. Soalnya berapa sih gaji guru??
Sang guru saja dilecehkan, bagaimana muridnya.!!!???
SukaSuka
bukan karya nyata yang diharapkan. Tapi tanggung jawab seorang profesor.
Ini sangat berat.
Di dunia akademis, ucapan/ tulisan seorang profesor merupakan sebuah literatur.
SukaSuka
Mas Wir, mohon ijin nge-link artikel ini di blog alumni ya,…
SukaSuka