Pertanyaan di bawah ini sudah diajukan dua kali oleh sdr YW

@zaka , Pak Wir , dan saudara saudara lainnya :

menurut saudara sekalian , apakah skill/kompetensi/ilmu yang kita pelajari saat kuliah itu di pakai pada saat bekerja ???

Dan kompetensi / skill/ilmu apa sih yang di perlukan Waktu bekerja nanti ??

Terima kasih

Pertama kali membacanya, rasanya ini pertanyaannya tidak terlalu serius, selain itu karena jawabannya bisa sangat subyektif, maka sebelumnya aku biarkan saja.  Siapa tahu ada orang lain yang tertarik untuk menanggapinya.

Waktu berlalu, belum juga ada tanggapan dan pertanyaan yang sama diajukan lagi. Kasihan, oleh karena saya tergelitik untuk menanggapinya.

Sebagai seorang analisis (ini khan ciri-ciri introvert), maka pertanyaan di atas perlu dianalisis latar belakang penanyanya: “Mengapa sampai ada pertanyaan seperti di atas“.  Saya yakin semua pembaca tulisan ini adalah seorang yang pernah mengenyam bangku sekolah, sudah bekerja atau berencana untuk bekerja. Sedangkan yang bertanya di atas dapat dipastikan bahwa yang bersangkutan belum bekerja, masih sekolah (mahasiswa). Ini diyakini, karena jika sudah bekerja maka pertanyaan di atas tentu dapat langsung dijawab sendiri. Betul nggak ?

Sebagai seorang mahasiswa yang mengajukan pertanyaan di atas, maka diyakini yang bersangkutan sedang meragukan dengan apa yang dihadapi (dikerjakan). Biasanya ini terjadi jika yang bersangkutan tidak mendapatkan sesuatu yang memuaskan harapannya. Bisa-bisa dimulai dari mendapatkan nilai ujian yang dibawah standar, atau merasa sangat susah menempuh prestasi di sekolahnya. Sangat ngoyo begitu. Ngoyo adalah istilah dalam bahasa jawa yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah berupaya dengan keras (sampai hampir kehabisan tenaga) tetapi hasilnya tidak maksimal.

Karena tidak menikmati masa-masa sekolah (menjadi mahasiswa) dan menggeluti perkuliahan, maka saya yakin ada pertanyaan di hatinya “apakah masa-masa tersebut dapat diakhiri”. Ketika pertanyaan tersebut diajukan, saya yakin dia juga sadar, jika putus sekolah bagaimana nanti kerjanya. Takut jadi pengangguran.

Karena kondisi seperti itulah maka pertanyaan tersebut diajukan.

Ah apa betul pak ?

Lho saya juga pernah sekolah, bahkan sudah tuntas mendapatkan gelar tertinggi yang bisa diberikan oleh sekolah (universitas). Jadi tahu kondisi-kondisi di dalamnya. Pernah juga merasakan kondisi-kondisi yang mungkin jika mengikuti kata hati bisa-bisa putus sekolah waktu itu. Maklum sekolah itu khan tidak sekedar slulup (jw: menenggelamkan badan di air). Meskipun demikian, jika anda dapat memanfaatkan sekolah dengan baik, maka anda  dapat menjadi berbeda dengan sebelumnya, khususnya dalam cara berpikir.

Masa ?

Betul itu. Bersekolah itu tidak sekedar link-and-match dengan tempat kerja. Tetapi bisa lebih dari itu, karena kata link-and-match lebih tepat digunakan sebagai dampak dari sekolah dan bukan tujuan dari sekolah.

Lho koq begitu. Kata pak mentri waktu itu, khan itu tujuan pak. Kalau nggak link-and-match lalu bagaimana. Itu khan tidak efisien, di tutup saja pak, itu khan memboroskan uang negara ! Bapak ini tidak mendukung keuangan negara, apalagi kondisi ekonomi global sedang prihatin.

Saya bukannya tidak setuju dengan link-and-match. Boleh-boleh saja. Kalau bisa, syukurlah. Tetapi kalau nggak bisa maka ya cari pekerjaan yang match, bahkan kalau perlu bikin pekerjaan tersebut. Kemampuan untuk mampu mencari pekerjaan yang match, dan kalau perlu bikin sendiri itulah yang diharapkan oleh seseorang yang telah purna bersekolah.

Match dengan pekerjaan itu adalah sangat penting, bahkan utama, karena dengan itu maka kita bisa enjoy dalam bekerja. Jika dapat enjoy maka biasanya dapat juga berprestasi. Jika dapat berprestasi maka biasanya reward-nya juga melimpah. Jika reward melimpah maka bisa mensyukuri, karena mensyukuri maka bisa enjoy lagi, dst. Itulah mengapa diketemukan bahwa orang sukses tambah sukses.

Karena link-and-match bukan tujuan maka yang menjadi tujuan suatu pendidikan adalah mendapatkan transformasi cara berpikir. Jadi wilayah yang diolah adalah pikiran. Ingat, yang dimaksud pikiran disini adalah pikiran total, baik pikiran sadar maupun pikiran bawah sadar. Kalau kamu bisa mengolah kedua-duanya wah luar biasa itu. Aku jadi ingat potongan lirik lagunya R. Kelly, yang seperti ini.

I believe I can fly
I believe I can touch the sky
I think about it every night and day
Spread my wings and fly away
I believe I can soar

Ingat, lirik itu kalau hanya mengandalkan pikiran sadar, memang muskil.Tapi buktinya manusia khan bisa terbang khan, itu semua bermula dari pikiran dan pikiran tersebut belum tentu match dengan pekerjaan pada waktu dia belajar dulu.

Jadi kalau hanya sekedar mendapatkan ketrampilan yang tepat dengan bidang yang nanti dianya bekerja, maka itu dapat diatasi hanya dengan mengikuti pelatihan. Melatih skill, misalnya pelatihan mengetik 10 jari buta, jika sudah lulus maka dianya siap jadi juru ketik kelurahan, atau pelatihan fotografi, maka setelah lulus siap jadi asisten sutradara dan lain-lain.

Kalau anda bersekolah di tingkat universitas (S1), maka jelas skill-skill seperti di atas tidak secara eksplisit diberikan. Kalaupun ada maka cukup diberikan dalam bentuk kursus-kursus, misal kursus MS Word atau MS Excel, bahkan sebagian besar cukup belajar sendiri. Oleh karena itu, selain S1 maka dibuka juga program Diploma. Lha disinilah maka diharapkan pemberian skill lebih besar, sehingga ketika lulus maka dapat siap pakai.

Masalahnya adalah, bahwa untuk memberikan ketrampilan itu biasanya diperlukan modal yang lebih besar, karena biasanya untuk ketrampilan perlu praktek, untuk praktek perlu peralatan, bahan material percobaan dan juga tempat. Karena masalah itu, maka meskipun sekolahnya disebut D (diploma) misalnya D2 atau D3 tetapi materi yang diberikan sama seperti S1. Bahkan ada yang bangga, mengatakan kepada awam bahwa materinya advance lho, karena diberikan setingkat S1. Kalau begitu khan nggak klop, ngakunya Diploma tetapi tidak trampil, maka di pekerjaan juga memble. Akhirnya ada kesan jika D3 lebih rendah dari S1. Akhirnya apa sekarang, semua sekolah yang huruf depannya D banyak yang berupaya diubah jadi Sekolah Tinggi, yang diharapkan setara dengan S1. Padahal itu khan nggak bisa dibandingkan, yang satu berorientasi pada ketrampilan dan yang satu lebih pada pola pikir yang disiapkan.

Eh pak Wir, apa ini tidak menyimpang dari pertanyaan yang diajukan di atas. Koq bapak bercerita ke D3 dan S1 ?

Lho ini ada kaitannya. Ini nggak nglantur koq.

Begini dik. Pertanyaan tentang kaitan ilmu yang dipelajari disekolah apakah sama dengan di tempat kerja, juga ada hubungannya dengan sekolah tempatnya belajar. Jika bentuk sekolah itu lebih menekannya ketrampilan, seperti sekolah kejuruan, maka pertanyaan di atas dapat dengan cepat dijawab bahwa jelas ada kaitannya. Ilmu di sekolah tersebut berguna di tempat kerja. Tetapi jika fokus sekolah lebih kepada transformasi cara berpikir, ini kira-kira universitas pada umumnya maka jelas pertanyaan di atas tidak cepat dapat dijawab. Karena jika tujuannya adalah transformasi cara berpikir, maka sebenarnya yang dia peroleh setelah lulus sekolah itu adalah “ilmu untuk mempelajari sesuatu” (sesuai bidangnya tentu). Maksud saya disini, bahwa setelah lulus maka dia mempunyai kemampuan untuk mudah beradaptasi, menyesuaikan diri dan berguna ditempat kerjanya nanti. Karena berguna itulah maka dia digaji.

Agar dapat diperoleh ilmu untuk mempelajari sesuatu (sesuai bidangnya) maka umumnya yang diberikan adalah filosofinya, dasar-dasarnya, contoh paling sederhana adalah pelajaran matematik. Coba sekarang anda bertanya, dimanakah relevansi matematik dengan bekerja sebagai insinyur di lapangan. Tanyakan langsung ke yang bersangkutan. Saya yakin mereka-mereka itu, pasti udah lupa, apalagi yang sudah bertahun-tahun di lapangan.

Nggak usah jauh-jauh, ada beberapa mata kuliah yang saya pelajari dulu di S1, di UGM saja sekarang sudah lupa. Padahal saya dalam pekerjaannya selama ini tetap berkutat pada bidang ilmunya. Bayangkan, sarjana teknik yang bekerja diperbankan misalnya, maka saya yakin banyak ilmu-ilmu yang dia pelajari langsung waktu sekolah dulu akan terlupa.

Jadi kalau begitu ngapain sekolah pak ?

Lho yang seperti saya katakan tadi yaitu terjadinya transformasi cara berpikir. Jika kamu belum sekolah teknik sipil maka kamu awam dibidang konstruksi, jadi tidak punya pikiran untuk jadi pembangun jembatan, misalnya. Tetapi jika kamu telah lulus dari sekolah sipil, maka kamu punya keberanian untuk terjun di bidang konstruksi, berani melamar pekerjaan jadi engineer, dan diharapkan nanti mampu membangun konstruksi yang sesungguhnya. Jadi dengan bersekolah maka terjadi transformasi dari seorang awam menjadi seorang insinyur.

Ya, kalau dapat pekerjaan  pak. Kalau penganggur, gimana itu.

Itulah, kalau bersekolah itu jangan sekedar gelar atau ijazah saja. Bersekolah itu adalah suatu proses.

Ilmu iku kelakone kanti laku.

Bersekolah itu tidak sekedar belajar, tetapi juga berinteraksi. Tentu saja setelah belajar harus berani di evaluasi apa-apa yang telah dipelajarinya yaitu dengan ujian-ujian. Dengan alasan seperti itulah, maka aku secara tegas mendukung diadakannya UN atau semacamnya, apapun namanya, nggak masalah. Karena dengan ujian-ujian seperti itulah maka kita menjadi besar, jika tidak berani diuji maka dapat dimaklumi jika hanya menjadi wong cilik. Kasihan, wong cilik itu khan berkonotasi menderita, padahal diuji itu jelek-jeleknya khan hanya menderita juga, nggak masalah itu. Jadi daripada menderita terus, lebih baik berani mengambil resiko menderita ( jika gagal ujian), tetapi jika berhasil maka dapatlah bertransformasi jadi wong gede. 😉

Ee, ee koq nglantur, kembali ke . . . masalah .

Berinteraksi di sini, adalah tidak sekedar bergaul, tetapi juga belajar mempengaruhi, maksud saya di sini adalah bagaimana menyakinkan orang lain bahwa apa yang kita kerjakan (usulkan) adalah dapat diterima. Ini sangat penting lho. Gabungan antara prestasi akademik dan juga kemampuan berinteraksi, meyakinkan orang bahwa memang kamu adalah seperti apa yang kamu katakan adalah sangat penting dalam bekerja nanti.

Adapun ilmu, seperti metoda slope deflection di bidang mekanika teknik yang dipelajari di tingkat S1 teknik sipil, bisa-bisa tidak ada di tempat kerja nanti, meskipun kerjanya di konsultan teknik sekalipun. Apalagi jika kerjanya jadi makelar mobil, pasti deh nggak ada itu.

Apakah ini bisa menjawab pertanyaanmu di atas.

Jadi kesimpulannya, bahwa jika anda bersekolah di level pemikiran seperti S1, maka tidak ada masalah apakah ilmu yang kamu pelajari disekolah tersebut tidak lagi dijumpai ditempat kerja. Kalau memang link-and-match maka syukurlah, untuk jangka pendek bisa terpuaskan, tetapi yang penting bahwa dengan kamu selesai S1 maka diharapkan kamu siap berkembang di tempat bekerjamu nanti, bahkan jika tidak puas maka kamu dapat mengembangkan diri ke level yang lebih tinggi misal S2 atau S3.

Karena alasan-alasan untuk mendapatkan kepuasan jangka pendek, maka ditempatku ini juga diberikan ilmu-ilmu yang sepintas berkaitan dengan ketrampilan, seperti misalnya ilmu gambar teknik digabung dengan praktik AutoCAD, juga ilmu mekanika teknik dikaitkan dengan praktik SAP2000, juga presentasi diwajibkan memakai software-software tercanggih yang ada. O ada yang lupa, yaitu kesiapan bahasa asing, bahasa inggris tentunya.

Hal-hal seperti itulah pada tahap awal dapat digunakan sebagai tolok ukur siap kerja.

8 tanggapan untuk “apa sih yang di perlukan waktu bekerja nanti”

  1. ikut prihatin ! « The works of Wiryanto Dewobroto Avatar

    […] about ← apa sih yang di perlukan waktu bekerja nanti […]

    Suka

  2. Y.W. Avatar
    Y.W.

    Terima kasih pak Wir sudah di jawab pertanyaan saya.

    Sungguh panjang ya pak jawabannya, padahal pertanyaan saya hanya beberapa kalimat saja.. Hehehe..

    pada saat semester 1,2,3 , saya merasa bahwa pekerjaan seorang insinyur itu HEBAT sekali karena hitungannya panjang banget ( seperti slope deflection, cross, dll ), tetapi setelah mendengar kata temen saya yang sudah bekerja : katanya waktu kerja di konsultan teknik itu segalanya pakai program ( SAP, SAFE, dan PROKON ).Dan katanya pelajaran seperti CROSS, SLOPE DEFLECTION, TAKABEYA,KANI, STRUKTUR BETON, BAJA, tidak terpakai sama sekali. Maka dari itu saya agak kecewa dengan impian saya sewaktu masih semester 1,2,3, yang mengira pekerjaan seorang insinyur itu sangat Susah dan Kelihatan Wahh.. tapi ternyata terkesan Gampangan , dan hanya ngutak ngatik program saja..Maka dari itu saya “Mengajukan Pertanyaan diatas kepada Saudara dan pak Wir ” .

    itu khan kalau bekerja di konsultan, kalau kerjanya di kontraktor, ternyata malah lebih gampang, kata temen saya : pada saat interview cuma di tanya apakah bisa menghitung Volume beton dan besi ?? Hmm,,,,, maka Timbul lagi rasa kecewa dalam diri saya.. Apakah perlu sekolah sampai S1 hanya untuk menghitung Volume ? Wahhh… Anak SMA aja bisa tuh , asalkan dikasih tau pengertian tentang apa itu beton, sengkang, kolom, pelat , dll .

    Suka

    1. wir Avatar
      wir

      @Y.W

      ternyata terkesan Gampangan

      Syukurlah, ternyata dugaanku di atas salah. Kalau begitu tinggal pembuktian saja bukan.

      Sebagai informasi, pendidikan teknik sipil di Indonesia ini relatif banyak, bahkan untuk bidang teknik yang lain maka teknik sipil ini termasuk ombyokan (bhs jawa: dimana-mana ada). Meskipun demikian, tokoh-tokoh dibidang tersebut yang menonjol seperti Sutami, Sediatmo, Rooseno atau yang masih ada seperti Wiratman relatif masih jarang.

      Dengan demikian masalahnya dari kamu hanya orang yang menjadi pembanding (benchmarking) yang kamu pilih. Kelihatannya kurang berbobot. 🙂

      Kalau hanya sekedar membangun rumah tinggal dua lantai, maka rasanya nggak perlu masuk universitas seperti itu, aku punya saudara yang ibu rumah tangga doang, meskipun demikian beliau sudah terbukti jago dalam mengorganisir tukang hingga dapat jadi membuat rumah tingkat, lebih dari satu lagi.

      Suka

  3. Ramdani Tohir Avatar
    Ramdani Tohir

    “Hmm,,,,, maka Timbul lagi rasa kecewa dalam diri saya.. Apakah perlu sekolah sampai S1 hanya untuk menghitung Volume ? Wahhh… Anak SMA aja bisa tuh , asalkan dikasih tau pengertian tentang apa itu beton, sengkang, kolom, pelat , dll .”

    Saya tergelitik membaca pendapat bung Y.W.

    Ada benarnya, asalkan diberitahu pengertiannya tentang “ilmu sipil”, yang dapat memberitahu adalah profesional seperti Pak Wir, yang dapat membuka wawasan secara benar, sesuai “arti sesungguhnya apa itu beton dan kawan-kawannya”. Medianya adalah ruang yang disebut Lembaga Pendidikan. Bisa juga melalui orang seperti saya, praktisi “beton, pelat, sengkang, kolom, dkk”, hanya saja medianya lewat dunia maya, secara langsung tapi bukan di kelas.

    Prosesnya sama : belajar, diajarin, mengajari suatu “skill”. Cuma bedanya sangat sangat terasa dan bisa dirasakan :

    1. Jika yang belajar dan mengajari membahas masalah “beton dkk secara mendasar, konseptual” diharapkan dapat membuat orang yang belajar dapat mengerti “beton dkk” serta mampu menerapkan”beton dkk” dengan benar. Lho, koq menerapkan dengan benar ? Ya…, kalo tidak mengerti konsep akan terjadi bahaya akibat salah disain, pemborosan resource yang besar dan merugikan masyarakat.

    2. Jika yang belajar dan mengajari, membahas masalah beton dkk, cuma sebatas kasus yang sedang dihadapi, dalam wacana berbagi pengalaman tentang suatu bangunan yang sering ataupun typical dalam pengerjaannya, maka biasanya hasil dari pembelajaran adalah “pengertian mengenai suatu teknik, yang akan berguna jika ada sesuatu yang mirip-mirip pernah dibahas, sehingga memberikan keyakinan mampu menyelesaikan. Jika lain ya belajar lagi mengenai kasus yang serupa.

    Dari kedua hal tadi, sesungguhnya pilihan belajar itu sendiri jadi “kambing hitam” jika kita mendapati fakta “salah belajar”.

    “Aku belajar di PT, tapi disuruh hitung volume besi, anak SMA yang baru lulus, dikasih tau 2 jam saja langsung bisa” (wah…. kecewa !! Nggak ada tantangan. Nggak keren)

    Eit… Nanti dulu Dik. Kalo engineer yang diberi tugas untuk hitung volume besi, dia akan mampu membuat efisiensi, mereduksi kemungkinan salah potong bahkan mampu menganalisis jika ada detail yang “tidak lazim” , apa betul memang seperti itu atau terdapat kekeliruan. Ya… kalo anak SMA yang belum belajar “menemukan masalah itu”, ya tdk dapat mendeteksi. Lha itu kan ilmunya diajarkan di PT. Jadi sebenarnya tidak salah belajar, cuma belum menyadari kapasitas yang dimiliki lebih dari sekadar yang diperkirakan.

    Aku ingin berbagi sedikit pengalaman ketika mulai bekerja, baru lulus SMA, belajar jadi surveyor. Beberapa bulan bisa mengambil data dan membuat profil. Itu saja yang kutahu. Setelah melanjutkan ke jenjang Diploma, lulus dan kemudian bekerja, masih menekuni hal yang sama (jadi surveyor), aku dapat membuat profil sekalian mengolah untuk apa dan apa saja yang diperlukan data lain yang perlu ditampilkan sesuai order.

    Karena rasa ingin maju, jenjang pendidikan kulanjutkan dan setelah itu masih berkutat pada lingkup yang sama dengan tambahan “penglihatan teknik” yang lebih tajam. Data-data yang dibuat seperti saat jenjang Diploma, sekarang lebih kelihatan peruntukannya, sehingga dapat menjadi bahan untuk membuat keputusan teknik.

    Kesimpulannya : semakin tinggi jenjang pendidikanku, semakin tajam dan matang dalam membuat keputusan teknik.

    Kembali kepada Dik Y.W, jika menganggap tidak usah belajar tinggi kalo cuma untuk pekerjaan kecil, ada benarnya, jika memang menginginkan cuma pekerjaan kecil. Mengambil hikmah dari pengalamanku, kalo kita mau mengambil pekerjaan besar, tentulah modal kita harus besar. Nggak tau lagi kalo ada anak lulusan SMA fresh diminta mengerjakan tugas engineer, wah belum ketemu tuh.

    Ya sudahlah dik Y.W, pendapat yang mengecilkan arti perjuanganmu itu jangan dirisaukan, karena kami yang merintis karir dari bawah mengerti sekali bagaimana proses menjadi matang itu.

    Sorry, Pak Wir. Jadi kebanyakan ndongeng.

    Suka

  4. Y.W. Avatar
    Y.W.

    Terima kasih atas masukkannya semua.

    @Pak Wiryanto : Untuk menjadi Tokoh Tokoh hebat seperti PAk Rooseno, Pak Wiratman dan pak Wiryanto, dll rasanya seperti bermimpi bagi saya. Makanya Saya tidak pernah berpikir untuk bisa seperti Tokoh Tokoh hebat tersebut.

    sekian deh dari saya..

    Suka

  5. Thomas Yanuar Avatar
    Thomas Yanuar

    Untuk mas Y.W,
    Pendapat rekanmu yang bekerja di konsultan… “Dan katanya pelajaran seperti CROSS, SLOPE DEFLECTION, TAKABEYA,KANI, STRUKTUR BETON, BAJA, tidak terpakai sama sekali.”, itu salah besar dan pendapat yang menyesatkan.

    Saya tidak dapat membayangkan seorang konsultan sipil/struktur jika ditanya kemudian tidak dapat menerangkan prinsip keilmuan dan dasar perencanaan suatu struktur yang dikerjakan/direncanakan.
    Untuk dapat mengerti pemakaian program perhitungan dan menganalisa hasilnya (SAP, SAFE, STAAD, STRUDDLE, SACS, ETABS dll) harus terlebih dahulu mengerti prinsip-prinsip dasar perencanaan struktur. Program perhitungan adalah hanya alat bantu untuk mempersingkat waktu perhitungan dan meminimalisasi kesalahan numerikal.

    Back to topic, tentu saja kompetensi/skill/ilmu yang dipelajari semasa kuliah sangat berkaitan dengan pekerjaan yang ditekuni sepanjang sesuai bidang yang dipahami sewaktu kuliah. Kalau kuliah diteknik sipil kemudian jadi sales MLM obat ya tidak bakal ada kaitannya.

    Suka

  6. Mario Avatar
    Mario

    Saya setuju dengan semua jawaban diatas. memang benar kata pak Wir.
    Naluri teknik itu harus tumbuh dlam diri kita baru kita bisa mengaplikasikan pada program sehingga tidak terjadi salah input.

    Suka

Tinggalkan komentar

I’m Wiryanto Dewobroto

Seseorang yang mendalami ilmu teknik sipil, khususnya rekayasa struktur. Aktif sebagai guru besar sejak 2019 dari salah satu perguruan tinggi swasta di Tangerang. Juga aktif sebagai pakar di PUPR khususnya di Komite Keselamatan Konstruksi sejak 2018. Hobby menulis semenjak awal studi S3. Ada beberapa buku yang telah diterbitkan dan bisa diperoleh di http://lumina-press.com