Dengan telah lahirnya beberapa buku hasil karyaku maka sah-sah saja jika aku menyebut diriku sebagai penulis. Meskipun beberapa tahun yang lalu, pernah ada seorang teman sejawat senior yang sedikit memberi “kuliah” bagaimana menulis itu, bahwa menulis itu harus begini dan begitu : Nggak seperti ini ! (sambil menunjuk draft tulisan yang aku berikan).
Komentar seperti itu aku terima ketika beliau waktu itu diminta memberikan tanggapan dan testimoni akan draft salah satu bukuku. Nggak tahu kenapa, yang jelas testimoninya juga tidak diberikan. Agak kecewa, tetapi akhirnya ada juga teman sejawat senior yang lain yang mau memberikan testimoni. Teman sejawat yang mendukung namanya tentu abadi tercantum di belakang buku-bukuku, adapun teman yang tidak mendukung ya jelas tetap anonim. 😀
Ha . . ha . . ha . ., itu fakta yang tidak tertulis dibelakang perjalanan buku-bukuku. Tidak semua nya positip seperti yang aku terima, ada juga yang ternyata tidak memberi apresiasi akan buku karanganku tersebut. Tentang ditolak atau diterimanya suatu tulisan adalah suatu hal biasa, itu resiko menjadi seorang penulis. Jadi bagi seorang yang ingin menjadi penulis atau ingin menulis dan dipublikasikan, maka siap-siaplah untuk menerima hal tersebut. Hanya ada satu cara untuk menghadapinya, yaitu jika tulisan anda ditolak maka gunakan event tersebut untuk mawas diri, melihat hal-hal apa yang kurang dari tulisan tersebut. Kritik yang datang terhadap suatu tulisan adalah suatu masukan yang berharga. Cermati setiap alasan atau argumentasi yang digunakannya, dan evaluasi apakah tulisan kita seperti itu. Jujurlah, nggak perlu malu, jika ternyata benar kritik tersebut maka sesuaikanlah prinsip-prinsip yang kita gunakan dalam menulis tersebut. Tetapi jika ternyata kritik yang disampaikan tidak relevan, maka teruskan saja. Jangan patah semangat, selanjutnya tinggal sampaikan saja tulisan kepada orang-orang yang bisa menerima.
Lho pak Wir, kalau begitu kritik apa yang teman senior anda tersebut ?
O itu, apa ya. Sebentar, aku ingat deh. Waktu itu beliau memberi komentar bahwa pada buku-buku teknik maka kesan emosi tidak boleh ada. Harus lugas, begitu katanya.
Jelas pendapat beliau, meskipun aku terima waktu dengan sopan, tidak bisa aku jalankan. Tahu sendiri bukan (bagi yang telah membaca buku karanganku atau tulisan di blog ini), bahwa tulisan-tulisanku tidak lugas, murni informasi, tetapi kebanyakan mengandung emosi, semangat, yang akhirnya menimbulkan motivasi kuat untuk melanjutkan membaca. Betul bukan.
Aku mempunyai pendapat yang mungkin berbeda dari teman seniorku tersebut. Bahwa menulis adalah suatu kerja pribadi, spesifik yang berbeda antara satu dengan yang lainnya meskipun yang dibahas adalah sama. Untuk hal itu, anda boleh periksa. Lihat saja bukuku yang barusan terbit, meskipun di luar sana ada juga buku-buku SAP2000 juga, tetapi buku karanganku tentunya tidak sama dengan mereka. Ada ciri khas dari pribadi penulisnya. Karena alasan itu pula, maka ketika melihat suatu buku yang ditulis rame-rame, secara bersamaan, bukan dalam bentuk kumpulan artikel, maka yang terkesan bahwa penulis buku tersebut tidak percaya diri. Nah jika penulisnya tidak merasa percaya diri akibatnya materi tulisannya hanya sekedar tulisan. Umumnya tidak menarik.
Itulah mengapa, ketika aku tempo hari diundang oleh suatu lembaga penelitian dalam rangka penyusunan materi dalam bentuk buku, maka kesan tentang menulis seperti di atas aku sampaikan. Aku sadar, bahwa pernyataan tentang tidak percaya diri itu jika dirasakan secara emosi pastilah juga akan menyinggung perasaan, tetapi karena aku merasa punya tujuan yang lebih besar, yaitu agar keterlibatanku di sana memberi makna maka “nasehat” itu terpaksa aku sampaikan.
Jadi intinya, kalau ingin membuat buku atau tulisan yang bermutu, maka satu langkah yang tepat adalah carilah pakar (untuk bidang yang sesuai) dan mempunyai pengalaman dan mau berkomitmen menulis. Menggabungkan banyak orang, mengundang wakil-wakil dari banyak institusi bukanlah suatu jalan yang terbaik. Itu menurutku. Maklum, bagi orang yang tidak biasa menulis, banyaknya orang-orang yang diundang tersebut kadang memang menimbulkan kepercayaan diri (untuk menulis). Tetapi bagi yang biasa menulis, hal itu bahkan mengganggu. Bahkan jika ternyata nama penulisnya satu rombongan, maka cenderung yang punya kemampuan menulis lebih baik keluar dari rombongan tersebut. Jadi anonim saja, tapi tetap terima amplop honorarium rapatnya. 🙂
Honorarium untuk menulis bukan sesuatu yang utama. Maklum bagi seorang penulis maka ada sesuatu lain yang lebih besar, salah satunya adalah dapat melambungkan nama meningkatkan reputasi diri. Jika nama dan reputasi diri meningkat, maka semuanya menjadi terbuka dan itu jelas nilainya akan lebih besar dari amplop honorarium yang diterima. Itulah mengapa pada penulisan buku ada prinsip royalti, yaitu kesepakatan penerbit dan penulis akan pembagian keuntungan. Penerbit punya posisi tawar karena dia punya modal untuk mengongkosi pencetakan buku dan biaya distribusinya. Adapun posisi tawar penulis adalah mampu memberi harapan kepada penerbit bahwa buku yang ditulisnya adalah laku di pasaran, bisa bikin untung (ini hal penting yang ditunggu penerbit).
Jika posisi tawar penerbit tinggi (punya banyak penulis) maka royalti bagi penulis relatif kecil antara 10% – 20% keuntungan penjualan buku. Tapi jika posisi tawar penulis lebih tinggi maka bisa lebih dari itu. Tak terbatas. Itu berarti yang namanya royalti adalah suatu perjanjian yang personal antara penerbit dan penulis. Ini tentu suatu hal yang ideal, karena menyangkut hak cipta kreatifitas yang bisa berdampak material.
Kembali kepada menulis itu pribadi sifatnya. Jadi pada suatu kasus bisa saja ditemukan bahwa materi yang ditulis tidak sanggup untuk ditulis oleh satu orang. Maklum, ini buku teknik bukan novel. Untuk menulis di bidang teknik, tidak hanya butuh imajinasi saja seperti ketika menulis novel, tetapi perlu kompetensi tertentu. Jadi misalnya, saya menulis buku tentang SAP2000 maka tentunya saya bisa mengoperasikan program tersebut, tidak sekedar bisa bercerita tentang hal itu (SAP2000). Jika kondisinya seperti itu maka seorang Editor akan sangat berperan sebagai pemimpin yang mengarahkan banyak penulis untuk menulis sesuai tema, format dan dead-line.
Editor juga punya kuasa apakah seseorang yang ditunjuk menulis bersama mempunyai kapasitas itu atau tidak, jika tidak tentu berhak untuk menggantikan dengan penulis lain yang layak. Penulis yang banyak dibagi-bagi untuk menulis per bagian sesuai bidang yang dikuasai. Biasanya penulis itu diberi kuasa untuk menulis satu atau dua bab dari buku tersebut. Tentunya bab-bab yang ditulis selaras dengan ide Editor-nya. Jadi penulis dalam hal ini bertanggung jawab penuh pada bab yang ditulisnya saja, bukan pada bab-bab lain, adapun tugas Editor adalah menyelaraskan dengan bab-bab lain.
Karena menulis itu bersifat pribadi, dan juga jika nama penulis dituliskan maka mereka tentu tahu resiko dalam menulis, yaitu reputasinya dipertaruhkan. Maklum suatu buku bisa abadi sifatnya, jika bukunya bagus dan membantu orang-orang lain, maka buku tersebut pastilah disimpan (abadi). Jika ternyata buku tersebut membuat atau memicu pemikiran negatif, maka buku tersebut pastilah dicari untuk dihancurkan (lenyap). 😦
Tulisanku yang lain tentang tulis menulis :
- menjadi PEMBICARA dan PENULIS 1 Juni 2012)
- perlunya berprestasi (19 Maret 2010)
- Insinyur perlu Menulis Publikasi (17 Januari 2009)
- pelatihan penulis Elex (30 November 2008)
- penulis umumnya introvet ? (27 November 2007)
- rasanya jadi SELEB (23 November 2007)
- mengapa MENULIS ? (26 Februari 2007)
- wir si penulis (18 Januari 2007)
Akhirnya, bagi yang belum pernah membaca buku karyaku, maka ada baiknya untuk membeli bukuku yang terbit paling baru, yang saat ini hanya dijual via on-line di http://lumina-press.com
Tinggalkan komentar